Kamu orangnya
Aku memilih pergi meninggalkan rumah mantan suamiku. Setelah kejadian itu aku bisa menyimpulkan. Kemana kaki ini harus melangkah. Dengan taksi yang aku tumpangi, aku pergi ke kantor pak Devan. Di sana aku bisa mulai menyelidiki masalah yang aku hadapi.
Tibalah aku di sebuah bangunan berlantai dua puluh. Bangunan yang dulu tempat diriku mengais rezeki. Hingga akhirnya masalah demi masalah muncul dari sini. Segera aku menuju ke ruangan direktur utama perusahaan ini. Dimana pak Devan berada.
Setelah tiba, aku pun mengetuk pintu terlebih dulu. Setelah kudengar sahutan dari dalam. Aku pun segera masuk. Pria yang sedang duduk di kursi kebesarannya itu terkejut melihat kedatanganku. Seulas senyum terpancar dari bibir manisnya. Kemudian ia meminta ku untuk duduk. Tepat di seberang ia duduk.
"Wik, aku senang kamu datang kesini." Aku tak lantas menanggapi ucapan pria itu. Dan memilih untuk langsung pada pokok permasalahannya.
"Pak Devan, kalau boleh saya tahu. Siapa yang mengirim pesan pada Bapak agar datang ke cafe itu." Ia sedikit berfikir setelah itu memberikan ponselnya padaku.
"Bukankah ini nomor ponselmu?" tanyanya dan aku pun mengamatinya. Benar. Nomor itu adalah nomor ponselku. Tapi sungguh aku tidak pernah mengirim pesan padanya.
"Karena itu aku datang ke cafe itu Wik. Aku pikir kamu benar mau membatalkan rencana rujuk kamu dengan mantan suamimu." Dia mengambil lagi ponselnya dan meletakkannya di meja.
"Tapi saya nggak pernah mengirim pesan itu pada Bapak. Sungguh." Ia justru tersenyum menanggapi ucapan ku.
"Aku tahu itu Wik. Ada yang menjebak kita. Tapi.... terlepas dari itu semua. Aku sangat mengharapkan kamu memilihku untuk jadi suamimu." Perlahan ia raih tanganku. Dan menatapku lekat, tatapan penuh pengharapan. Aku bisa melihat dengan jelas ketulusannya.
"Maaf Pak saya nggak bisa. Saya harus terus selidiki siapa yang menjebak kita." Segera ku tarik tangan ini yang mulai di pegang olehnya. Sedikit kekecewaan dari wajah beliau. Tapi cinta tak bisa di paksakan 'kan?
"Aku akan bantu Wik. Kamu nggak usah khawatir. Aku sudah meminta beberapa anak buah ku untuk menyelidiki di cafe itu."
"Terimakasih Pak."
Sedikit harapan yang ku punya. Setidaknya masih ada orang yang peduli dengan masalah ku. Aku pun pamit pulang.
Aku kembali ke rumah nenek. Rumah yang penuh kenangan indah bersama beliau. Pikiranku pun berkelana mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Dimana mas Guna mengucapkan tak ingin pisah lagi denganku. Di sanalah aku masih punya sedikit pengharapan kembali dengannya. Tapi aku juga takut kalau harapan ku akan pupus terlihat mas Guna semakin membeciku setelah melihat diriku sekamar dengan pak Devan.
Ku rebahkan tubuh yang penat ini di kasur. Pikiranku masih kacau. Hingga tak terasa kantuk mulai menyerang, dan aku pun terlelap.
Tak terasa waktu sudah senja. Entah berapa lama aku terlelap, hingga ku rasa badan ini sakit semua. Aku pun membersihkan diri. Setelah itu mengisi perut yang sejak dari semalam belum masuk makanan apapun.
Kusiapkan wajan untuk menggoreng telur. Tiba-tiba kudengar ada bunyi yang memekakkan telingaku.
Pyar... Segera ku lihat apa yang terjadi. Sungguh aku terperangah saat mengetahui kaca jendela ruang tamu hancur berantakan di lantai.
"Astaghfirullah, siapa yang tega melemparnya." Aku pun berinisiatif untuk mengambil sapu dan tong sampah. Tapi pandanganku tercekat pada sebuah kertas yang diremas dan kalau dilihat dari isinya. Kertas itu membungkus sesuatu. Ku dekati, dan kuambil kertas itu. Dan benar saja, ada batu di dalamnya. Berarti memang ada seseorang yang sengaja melemparnya ke kaca rumah kami.
Kubuka dengan sempurna kertas itu. Ada sebuah tulisan tangan di dalamnya.
'Jangan pernah kembali dengan Guna'
Pikiranku pun mulai menerka-nerka. Kejadian demi kejadian yang aku alami. Dan aku yakin orang itu adalah Siska, adik dari pak Devan. Belum sepenuhnya aku tersadar. Seseorang yang memakai jaket berwarna hitam dengan setelan jeans dengan warna yang sama. Keluar dari arah samping rumah. Segera aku kejar orang itu, namun langkahku kalah cepat dengan sosok itu. Hingga dia berhasil keluar dari pagar rumah kami. Dan satu teman lainnya lagi, sudah siap membawa orang itu dengan motor yang ia bawa.
"Ya Tuhan, siapa mereka."
*****************
Satu minggu pun berlalu. Semenjak kejadian itu, aku sering mendapat teror yang isinya sama. Ancaman agar aku tidak kembali dengan mantan suamiku itu.
Hari ini aku memberanikan diri untuk menemui Siska. Orang yang aku curigai. Berbekal dari nomor handphone yang kudapat dari teman sekantor ku dulu. Aku berhasil membuat janji dengan wanita itu.
Disebuah cafe yang letaknya tak jauh dari kantornya aku berada saat ini. Sudah hampir dua puluh menit aku menunggunya disini. Tapi wanita itu belum menampilkan batang hidungnya. Hampir saja aku mau meninggalkan tempat itu. Seorang wanita cantik dengan rambut tergerai datang dari arah luar. wanita itu segera menghampiriku, kemudian menyapa.
"Hey, apa kabar?" Dengan santainya ia mengulurkan tangannya. Aku pun membalasnya.
"Silahkan duduk," ujarku mempersilahkan dia.
"Terimakasih. Emmm... Bukannya kamu istri.. eh bukan.. mantan istrinya Mas Guna ya? Ada perlu apa kamu ingin bertemu dengan saya?" tanyanya lagi dengan enteng.
"Udah deh kamu gak usah sok polos gak tahu apa-apa. Kamu 'kan yang jebak saya dan pak Devan?" Wanita itu hanya tersenyum mengejek menanggapi ucapan ku. Aku semakin yakin kalau dialah pelakunya.
"Gak usah asal nuduh gitu ya? Lagian apa juga untungnya buat saya jebak kamu dengan kakak saya?" Dia mulai berkelit, tak mau mengakuinya. Ya tentu saja, mana mungkinkah maling mau ngaku.
"Emangnya kamu punya bukti? Kalau saya pelakunya? Nggak 'kan?"
Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya. Bukti? Aku memang belum punya. Tapi aku yakin dialah pelakunya.
"Ya mungkin saya memang gak punya bukti. Tapi bukankah kamu yang mengambil gambar saat pertemuanku dengan kakamu? Terus foto itu kamu kirim ke mas Guna."
"Ya ampun kamu itu aneh. Buat apa juga saya nglakuin itu semua. Kurang kerjaan amat deh. Udah deh... Buang-buang waktu tau." Ia pun beranjak dari duduknya dan mau pergi dari sini. Tapi aku menjegalnya dengan menarik tasnya hingga terjatuh kelantai.
"Brengsek kamu!" Wanita itu mendorongku hingga ku tersungkur tepat di depan tasnya yang sudah berserakan.
Kemudian pandanganku berpusat pada benda berbahan kain berwarna hitam, dan jam tangan yang tak asing bagiku.
Ya aku mengingatnya, benda-benda itu di gunakan oleh orang yang menerorku beberapa hari ini. Karena aku pernah berhasil memergoki pelakunya.
Segera ku ambil dua benda itu. Ternyata benda yang berwana hitam itu adalah masker.
"Ini apa buktinya? Buktinya benda ini ada di tas kamu!" Aku terus mendesaknya untuk mengakuinya.
"Itu...memang milikku. Emangnya kenapa? Semua orang punya benda itu?" Dia berkelit.
"Benda ini adakah milik pelaku yang meneror saya. Sudahlah... Kamu sudah tertangkap basah. Sekarang kamu harus jelaskan pada mas Guna, kalau kamu yang menjebak saya." Ku plintir tangannya kebelakang. Dia mengerang kesakitan. Tapi aku tak perduli. Penjahat seperti dia tidak pantas untuk di beri ampun.
Aku dorong tubuhnya agar ia bisa berjalan. Kami pun menjadi pusat perhatian pengunjung cafe itu. Beberapa orang berbisik mengatai kami. Aku tidak perduli. Tujuanku satu, membawa wanita itu ke tempat mas Guna. Namun saat aku akan melangkahkan kaki keluar, sebuah teriakan dari orang yang ku kenal menyekat langkah kami.