Memulainya
"Dewi! Apa-apaan kamu!" Seorang pemuda dengan setelan jas berwarna biru muda dengan tatanan rambut yang rapi berteriak memanggil namaku.
Dengan wajah yang memerah, dan mengeratkan rahangnya pria itu berjalan mendekati kami. Seketika tanganku merenggang, hingga Siska berhasil lolos dan langsung menghambur ke pelukan mantan suamiku itu.
"Mas aku bisa jelasin semuanya," sahutku mulai mendekatinya.
"Tolong aku Guna, mantan istrimu mau melukai ku," rintih Siska seolah tak bersalah. Wanita itu terus saja bergelayut di tubuh kekar mantan suamiku.
Sesak hati ini melihat wanita lain memeluk tubuhnya. Tapi aku bisa apa? Aku tidak punya hak untuk melarangnya. Apalagi Mas Guna tidak menolaknya. Ia justru membelai punggung wanita itu. Sebagai wujud simpatinya.
"Apa yang kamu lakukan Dewi. Kenapa kamu menjadi wanita bar-bar yang melukai orang lain?" gertaknya dengan lantang.
"Mas, tolong dengarkan aku kali ini saja. Siska orang yang udah menjebak ku dengan pak Devan," ucapku jujur. Seketika pria yang dihadapanku ini melirik wanita yang berada di dalam dekapannya. Dengan cepat wanita itu menepis perkataan ku.
"Bohong Guna. Itu semua tidak benar. Untuk apa aku melakukan itu. Untungnya apa untukku," kilahnya dengan wajah memelas. "Mantan istrimu itu cemburu karena kita pernah dekat. Dan menganggap aku yang mempengaruhi kamu," sambungnya dengan penuh kepalsuan.
Plak...
Satu tamparan mendarat dipipiku. Rasa panas bekas tamparannya seketika membuat air mataku menetes. Ku pegangi pipi ini yang sudah memerah. Dengan mata penuh kebencian ia pun berujar, "cukup Wik. Kamu tidak perlu mencari pembelaan. Mulai detik ini, aku tidak perduli lagi denganmu."
Ia langsung menarik tangan Siska dan membawanya pergi dari tempat itu. Aku hanya bisa memandangi punggung mereka seraya terisak. Sedetik kemudian Siska pun menoleh ke arahku. Ia sungging kan senyum kemenangan padaku.
Aku kembali gagal memperjuangkan hubunganku dengan mas Guna. Aku kembali dengan menelan pil kekecewaan.
Satu bulan telah berlalu. Aku masih sama seperti yang lalu. Masih mengharapkan keajaiban datang agar hubunganku dengan mas Guna bisa membaik.
Di rumah mendiang Nenek aku tinggal sendirian. Harus menghidupi hidupku sendiri. Makin hari uang tabunganku makin menipis. Aku tidak boleh tinggal diam. Aku harus mencari pekerjaan, agar bisa bertahan hidup.
Aku mulai mengirim surat lamaran pekerjaan di berbagai perusahaan. Berharap salah satunya ada yang mau menerimaku. Sejujurnya aku tak terlalu khawatir dengan masalah itu. Kemampuanku yang tidak bisa diragukan lagi dalam bekerja ditambah banyak prestasi yang ku raih dari tempat lama membuatku mudah mencari pekerjaan. Dan benar saja, pagi itu aku mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang berkompeten di kota, tempat tinggalku.
Tepat pukul delapan pagi, aku sudah bersiap dengan pakaian kerjaku. Ada yang sedikit membuat mood ku sangat buruk. Beberapa pakaian lama ku hampir tidak kuat saat aku pakai. Hanya tinggal beberapa yang bisa aku kenakan. Salah satunya yang aku pakai saat ini.
Ku perhatikan dari depan cermin tubuh ini. Entah kenapa tubuhku sedikit lebih berisi. Dan nafsu makan ku pun mulai tak bisa ku kontrol. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Harusnya dengan masalah yang aku hadapi saat ini, sedikit membuat berat tubuhku berkurang. Tapi justru sebaliknya.
Sudahlah, aku tak mau pusing dengan masalah ini. Segera ku beranjak pergi ke tempat kerja yang baru. Tak memakan waktu yang lama. Aku sudah sampai di sebuah gedung pencakar langit. Gedung yang dinding terbuat dari material kaca, menambah kesan mewah pada gedung itu.
Sebuah harapan besar ku gantungkan di tempat ini. Semoga aku bisa di terima bekerja di tempat ini. Dengan 'bismillah' aku melangkahkan kaki untuk masuk kedalam. Baru saja sampai di lobi perusahaan ini, aku sudah membuat ulah. Karena tidak hati-hati aku menabrak seorang office girl yang sedang membawa kain pel. Sehingga gadis itu jatuh menabrak seorang pria yang baru saja keluar dari gedung itu.
"Shiffft......" desis pria itu menggosok-gosok jasnya yang basah.
"Maaf Pak saya tidak sengaja," ujar office girl tadi dengan wajah ketakutan.
Tak mau melimpahkan kesalahanku pada orang lain. Aku pun mendekati mereka untuk meminta maaf.
Raut wajah pria itu sungguh sukar di tebak. Selain tertutup kaca mata hitam. Juga wajahnya yang terlihat dingin membuat ku sedikit merinding dan takut akan murkanya.
"Maaf Pak, saya yang salah," lirihku, menunduk. Jantung ini rasanya mau copot. Belum pernah ada di situasi seperti ini.
"Lain kali hati-hati," ujarnya dengan wibawanya.
Sedikit tercengang dengan ucapannya. Ternyata masih ada orang sebaik dia. Perlahan aku angkat wajah ini agar bisa melihat wajahnya.
"Lanjutkan kerjaan kalian," sambungnya, kemudian pergi meninggalkan kami.
Semua orang yang melihat kejadian tadi pun membubarkan diri. Entah kenapa dengan diriku ini. Baru pertama melihat pria tadi. Secara tak sadar aku mengagumi sosok itu. Kalau dilihat dari penampilannya. Dia bukan orang sembarangan. Meski begitu, tak serta-merta ia meremehkan bawahannya. Nilai plus untuk kaum wanita. Ah sudahlah..! Aku harus fokus tujuanku ke tempat ini.
Sesuai petunjuk dari cleaning servis tadi. Aku pun sampai di ruangan HRD. Segera ku temui pemimpinnya. Kami pun berbincang. Hingga beliau memberi kesepakatan bahwa aku diterima di perusahaan ini.
Senang, sudah pasti. Dengan begitu aku bisa sedikit melupakan masalah yang sempat membuat diriku putus asa. Dan mulai besok aku sudah mulai beraktivitas, berkutat dengan pekerjaan baruku. Semangat Dewi.
Ah, rasanya sudah tak sabar menunggu hari esok tiba. Aku mulai meninggalkan gedung itu. Belum juga sampai di rumah. Mobil mendadak mati. Ku coba started berulang kali. Tapi tetap tak nyala juga. Ku cek bensin, masih penuh. Tapi kenapa tiba-tiba mogok begini. Mobil ini memang jarang aku pakai, pasca kejadian yang merenggut nyawa nenek. Apa mungkin ada trouble yang serius dari mobil ini. Aku pun turun untuk mengeceknya. Tapi apalah daya, aku benar-benar awam tentang mesin. Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar, seraya meminta bantuan pada siapa saja yang bisa dimintai tolong.
Hingga sebuah mobil Alphard berwarna hitam berhenti di belakang mobilku. Aku hafal betul, milik siapa mobil itu. Keluarlah dari dalam sosok yang cool namun tetap dengan wibawanya. Berjalan mendekati ku.
"Wik, apa yang terjadi?" tanyanya setelah kami berdekatan.
"Mogok Pak. Dewi gak tau apa penyebabnya." Ia pun tersenyum tipis menanggapinya.
"Ya udah, biar aku antar kamu pulang. Nanti biar orang suruhan ku yang membawa mobilmu ke bengkel."
Awalnya aku ragu untuk menerima tawaran beliau. Tapi aku tak punya pilihan lain. Selain harus menerimanya. Di jam segini akan sulit mencari taksi ataupun kendaraan lainnya. Akhirnya aku pun ikut dengan beliau. Mobil kami tinggalkan.
Di dalam mobil aku merasa sedikit tak nyaman dengan lirikan-lirikan dari pak Devan. Apalagi dia pernah akan melecehkan aku, waktu itu. Pikiranku terus terusik dengan kejadian itu. Hingga ia pun mengajakku bicara.
"Wik, apa kamu tidak mau mempertimbangkan keinginan ku?" tanyanya penuh harap.
Sedikit yang membuatku kagum pada sosoknya. Meski ia begitu mengharapkan aku menjadi miliknya. Tapi tak pernah memaksaku untuk mau menerima nya. Dan juga tak mau melakukan segala cara agar tercapai keinginannya.
"Maaf Pak. Saya tidak punya perasaan apapun pada Bapak."
"Apa kamu tak ingin mencobanya untuk bisa mencintaiku." Hening diantara kami larut dalam pemikiran masing-masing.
"Aku tak mau memaksa. Jika kamu memang tidak mau." Ia pun tersenyum getir. Sambil terus fokus dengan kemudinya.
Sampailah kami di rumah. Saat aku turun dari mobil aku begitu terkejut saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu. Sosok itu memandang ke arah kami.
To be continued