Foto itu
Aku memilih untuk menjauh dari mereka. Sepertinya mereka masih sangat kecewa padaku. Ku telusuri lorong demi lorong rumah sangit dengan kepedihan meratapi nasib ini. Aku tak pernah menyangka kisah cintaku yang dulunya indah bersama mantan suamiku. Kini harus berakhir mengenaskan seperti ini.
Tiga puluh menit berlalu. Ku lihat dari kejauhan jenazah nenek sudah siap di bawa pulang. Ingin rasanya aku mendekat, melihat untuk yang terakhir kalinya wajah wanita yang selama ini menjadi penguatku. Tapi aku takut, akan memancing keributan.
Jenazah nenek baru saja keluar dari kamar jenazah. Dengan di bantu oleh beberapa perawat, mereka mendoronya keluar. Setelah itu mobil jenazah dari arah lain pun mendekat. Tak memakan waktu yang lama, kini jenazah nenek sudah di masukkan kedalam mobil. Diikuti oleh ibu yang terus tersedu, menangisi kepergian mertuanya. Nenek adalah sosok yang penyayang. Tak heran kepergiannya menyisakan kepedihan pada semua orang. Terlebih ibu. Ibu adalah menantu kesayangan nenek. Karena beliaulah yang dekat dengannya. Dan selalu ada saat di butuhkan oleh nenek.
Sementara bapak, dia naik mobilnya sendiri. Sosok yang aku kenal penyanyang, lembut dalam tuturnya. Seketika berubah menjadi sosok yang kasar dan tempramental. Bukan tak ada alasan bapak berbuat itu padaku. Karena dia paling benci dikhianati. Mantan istrinya yang dulu mengkhianatinya. Bahkan sampai punya anak dari selingkuhannya. Menorehkan luka yang teramat dalam padanya. Karena itu dia sangat mengutuk pengkhianatan. Tanpa mau mendengar penjelasan ku. Jika sesungguhnya aku bukanlah seorang pengkhianat. Aku di jebak.
Aku pun mengikuti mobil mereka. Hingga tiba di sebuah rumah mewah berpagar keliling. Sudah banyak orang yang datang untuk melayat. Sepertinya berita duka ini sudah tersebar. Aku tak berani untuk turun. Ingin aku turun dan masuk kedalam. Tapi bagaimana kalau bapak mengusirku lagu. Aku memilih menunggu di dalam taksi yang aku tumpangi.
Ada yang menarik pandangan ku saat sebuah mobil Avanza berwarna putih memasuki kompleks perumahan kami. Aku sangat kenal betul. Siapa pemilik mobil tersebut. Mobil itu terparkir tepat di depan taksi yang aku tumpangi. Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya turun dari mobil itu. Kemudian diikuti oleh seorang pria di kursi pengemudi. Seketika hati ini menjadi sesak saat melihat pria itu. Bibirnya yang berwarna merah, hidungnya yang mancung dan ada beberapa tahi lalat di sekitar wajahnya yang membuat ku sulit berpaling darinya.
Mereka masuk kedalam. Yang ku tangkap dari ekspresi wajah pria itu masih sama. Amarah itu masih ada. Walau begitu ia masih mau datang melayat dan mendoakan almarhumah. Aku tidak tahu apa alasannya pria itu datang? Bukankah dia sendiri yang bilang sudah tak mau mengenalku lagi. Atau mungkin atas bujukan dari ibunya. Sehingga dia tetap pergi meski masih marah denganku. Tapi sayangnya aku tidak bisa bertatap muka langsung dengannya.
Prosesi pemakaman almarhumah berjalan dengan lancar. Dari mulai jenazah di mandikan dan di makamkan di liang lahat. Satu persatu pelayat mulai meninggalkan tempat. Tak berhenti air mata ini melepas kepergian sosok yang ku sayang. Di tambah aku tak bisa melihat dengan jelas, wajah almarhumah untuk terakhir kalinya. Aku sudah tak kuat lagi. Aku ingin memberi penghormatan terakhir untuk beliau. Aku memaksakan diri untuk keluar dari mobil dan menuju ke makam beliau. Aku sudah tak perduli apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku berjalan semakin mendekat dari makam almarhumah. Begitu sampai disana, aku langsung meraung di atas pusarannya.
"Nek, maafin dewi nek. Maafin."
"Dewi sudah buat nenek kecewa."
Sesaat setelah aku mengucapkan kalimat itu. Tubuhku di tarik dari belakang oleh seseorang. Hingga aku sedikit terpental ke belakang.
"Pergi kamu dari sini Wik... Pergi... Bapak gak mau liat wajah kamu lagi," teriaknya lantang menikam hati.
"Pak Dewi mohon Pak. Izinkan Dewi disini sebentar. Dewi ingin bicara dengan nenek Pak," rintih ku memelas.
"Nenek meninggal gara-gara kamu Wik. Apa kamu gak sadar, hah." Wajah bapak semakin memerah. Dan diantara orang yang masih tersisa disana tak ada satupun yang memperdulikan aku. Hingga bapak menyeretku untuk pergi dari tempat itu.
Detik berikutnya, wanita yang berdiri di samping mas Guna berteriak, "cukup pak Handoko. Kasihan Dewi. Jangan perlakukan dia seperti itu." Wanita itupun mendekati ku. Perlahan membantuku berdiri dan langsung merengkuh tubuhku dalam pelukannya.
"Dia memang pantas di perlakukan seperti itu Buk. Dia sudah mencoreng nama baik keluarga. Saya malu punya anak seperti dia," sarkas bapak masih dengan amarahnya.
"Lebih baik kamu ikut dengan ibu Nak. Kita pulang ke rumah ya?" ujar bu Selfi padaku.
"Ibu!!? Untuk apa lagi kita bawa perempuan ini. Dia sudah mengkhianati Guna." Kini giliran mantan suamiku yang bersuara. "Bahkan dia tidak mempergunakan dengan baik kesempatan yang Guna berikan." Pria itu bahkan tak mau memandang wajahku.
"Nggak, Guna. Ibu akan tetap bawa Dewi pulang," ujar bu Selfi pada putranya.
"Maaf pak, saya bawa Dewi. Kasihan dia diperlakukan seperti oleh Bapak." Sekarang giliran kepada bapak bu Selfi bersuara. Tak ada bantahan dari bapak. Beliau hanya diam dengan wajah yang masih memerah.
Pada akhirnya aku di bawa pulang ke rumah mantan suamiku. Rumah yang belum sempat aku tinggali. Karena kejadian malam itu, aku langsung di usir oleh Mas Guna.
Aku duduk di ruang tamu dengan ditemani bu Selfi. Sementara mas Guna, pergi lagi setelah mengantar kami pulang. Aku berharap dia tidak pergi, agar aku bisa menceritakan semuanya padanya. Mungkin aku masih harus bersabar lagi.
Tak berapa lama, ART di rumah itu datang dengan membawa secangkir teh hangat. Ibu memberikannya padaku.
"Ini di minum dulu sayang teh nya." Aku menyambut secangkir teh yang masih mengepul asapnya. Ku sesap sedikit demi sedikit cairan itu. Sedikit membuat perasaanku tenang.
"Sekarang ceritakan ada ibu. Kenapa kamu sampai bisa bermalam dengan mantan bos kamu di cafe itu?" Aku memandang sekilas wajah ibu. Setelah itu tatapan ku beralih pada cangkir yang aku pegang.
Aku menceritakan semuanya pada beliau, saat mendapat pesan dari nomor baru. Dan pergi ke cafe itu. Beliau tampak berpikir hingga akhirnya mengambil kesimpulan.
"Ada yang jebak kamu sayang. Tapi siapa?" Aku pun menggeleng. "Kamu yang sabar ya, sayang."
"Tapi coba kamu ingat-ingat lagi. Ada kejadian aneh yang kamu rasain akhir-akhir ini nggak. Mungkin dengan itu kamu bisa mencari jalan keluarnya?" Pertanyaan ibu membuatku sejenak mengingatnya. Sesaat kemudian aku teringat kejadian di cafe siang itu bersama pak Devan. Siska, adiknya sempat mempergok-i kami. Tapi apa mungkin dia.
Belum sempat aku bersuara, Mas Guna datang dengan amarahnya yang meledak-ledak sambil memberikan handphonenya padaku.
"Ini apa Dewi!!!! Kamu sempet ketemu si brengsek itu 'kan!!! Munafik kamu." Aku tercengang melihat layar ponselnya yang berisi fotoku bersama pak Devan seperti orang yang sedang berciuman. Padahal aku tidak pernah melakukan adegan itu.
"Mas, kamu dapat darimana foto itu?" Kemudian aku bertanya.
"Kamu tidak perlu tahu darimana aku dapat!!? Sekarang apa kamu bisa jelaskan semuanya padaku!!!"
"Mas, aku memang bertemu dengan pak Devan. Tapi...." Belum sempat aku melanjutkan kalimatku mas Guna memotongnya.
"Dasar wanita murahan kamu!!!! Pergi.... Pergi dari rumahku..."