Bab 4
Teriakan yang penuh dengan celaan, seperti bilah-bilah pisau tajam yang menghujam tubuh Devan.
Seketika, tubuhnya penuh luka.
Namun, Devan sudah terbiasa dengan semua ini.
Terbiasa dengan penghinaan, terbiasa dengan kesalahpahaman, terbiasa dengan ketidakpedulian.
Dia juga sudah terbiasa dengan kepura-puraan Marco.
Di kehidupan sebelumnya, berapa kali dia kalah karena trik Marco yang seperti ini?
Menghadapi cercaan dari orang banyak, Devan hanya tersenyum dingin.
"Kalau ada dia di Keluarga Atmaja ini, nggak akan ada aku. Kalau ada aku, nggak ada dia."
"Kalau begitu ... biarkan anak angkat ini pergi dari Keluarga Atmaja!"
Devan malah berbalik menyerang, menunjuk Marco sambil menampilkan senyuman mengejek.
Kamu ingin pergi, 'kan?
Kalau begitu, pergilah!
"Kamu, kamu bilang apa?"
Tubuh Marco kaku, tertahan oleh ucapan Devan.
Seperti ada duri yang tersangkut di tenggorokannya.
Ini tidak seharusnya terjadi!
Menurut kepribadian Devan yang dulu, dia seharusnya berlutut mengakui kesalahannya, menangis memohon untuk bisa tetap tinggal!
Bagaimana mungkin sekarang Devan justru menyuruhnya pergi?
Bukan hanya Marco yang kaget.
Orang-orang di sekeliling mereka juga terdiam, merasa bingung.
Sejak kapan Devan berani mengucapkan hal seperti ini?
"Apa kamu pikir sekarang kamu yang berkuasa di Keluarga Atmaja?"
Fredi berbicara dengan suara rendah.
Matanya yang penuh amarah tampak memerah.
"Jangan bicara sembarangan! Marco nggak melakukan kesalahan, kenapa dia harus pergi?"
Liana menatap Devan dengan kebencian yang dalam sambil memeluk lengan Marco.
Dia sama sekali tidak peduli bahwa lengan tersebut bergerak-gerak di dada besar miliknya.
Seakan menikmati kenyamanan di dalamnya.
"Kami memperlakukanmu dengan tulus, berharap agar kamu tetap tinggal."
"Tapi kamu malah menggigit tangan yang memberimu makan, seperti di cerita dalam dongeng."
"Marco adalah orang yang polos, tapi bukan berarti dia bisa kamu perlakukan seenaknya! Aku nggak akan membiarkan dia pergi!"
Desi berkata dengan nada tinggi serta dingin.
Dia menggenggam tangan Marco erat-erat.
Jari-jarinya yang ramping hampir sepenuhnya menutupi tangan Marco.
Rasa lembut dan nyaman ini, sepertinya hanya Marco yang bisa menikmatinya.
"Selama aku ada di sini, kamu nggak bisa pergi!"
"Kalau ada yang memaksamu, aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk melindungimu!"
"Ingat, kamu adalah orang Keluarga Atmaja. Kamu akan selalu menjadi bagian dari Keluarga Atmaja!"
Sonia berkata dengan penuh keyakinan, suaranya pun tegas.
Dalam sekejap, semua orang menyatakan sikap mereka.
Mata Marco dipenuhi air mata. Dia merasa tersentuh sambil terisak.
Namun, matanya dengan sengaja melirik ke arah Devan.
Dia seolah ingin mengejek.
Sekarang, apakah kamu masih bisa membuatku pergi?
"Hehe!"
Devan tersenyum mengejek dengan sudut bibirnya terangkat sedikit.
Dia tidak terkejut.
Adegan seperti ini sudah bisa dia tebak sejak awal.
Dia hanya ingin memastikan sebelum pergi.
Siapa tahu, mungkin saja ada satu kemungkinan kecil terjadi.
Namun, kenyataannya Keluarga Atmaja tidak pernah berubah.
Masih Keluarga Atmaja yang dingin dan tak berperasaan!
Keluarga yang tidak akan pernah bisa dia masuki.
"Ini pilihan kalian, 'kan?"
"Kalau kalian nggak mau membiarkannya pergi, itu artinya aku yang harus pergi."
"Baiklah, aku akan pergi sekarang. Kita nggak berutang apa pun satu sama lain."
Devan berkata dengan tenang, lalu berbalik untuk pergi.
"Beraninya kamu!"
Fredi berujar dengan marah.
"Kenapa? Kamu nggak mengizinkanku pergi, tapi ingin dia yang pergi?"
Devan menunjuk ke arah Marco dengan santai, memberikan isyarat.
"Omong kosong! Kapan aku pernah bilang begitu?"
Fredi membentak dengan marah.
"Aku sudah bilang, kalau di rumah ini ada dia, nggak akan ada aku. Aku akan pergi sekarang."
"Mulai hari ini, kita nggak ada hubungan lagi."
"Bagaimanapun juga, kita nggak punya banyak ikatan emosional. Kalau aku pergi, kalian juga nggak akan merasa sedih."
Devan berbalik pergi dari ruang tamu, berjalan menuju kamarnya.
Selama proses itu, tidak ada satu pun yang mencoba menghentikannya.
Semua orang di Keluarga Atmaja hanya saling pandang, merasa kebingungan.
Mereka berpikir, Devan pasti tidak berani benar-benar pergi!
Tindakan impulsif sesaat seperti ini sering terjadi pada usia muda yang penuh gejolak.
"Ayah, Ibu, Kak Devan nggak akan benar-benar pergi, 'kan? Aku makin merasa bersalah!"
Marco berkata dengan suara pelan, bibirnya cemberut, berpura-pura sedih.
"Merasa bersalah untuk apa? Biarkan saja dia pergi. Dalam beberapa hari, setelah dia kehabisan makanan dan minuman, pasti dia akan kembali!"
Fredi berkata dengan penuh keyakinan.
Semua orang langsung tersadar, mengangguk setuju.
Benar juga.
Setelah meninggalkan Keluarga Atmaja, dari mana Devan akan mendapatkan penghasilan?
Bagaimana mungkin dia bisa hidup dengan baik?
"Apa yang dia lakukan di kamar? Jangan-jangan dia sedang mengemasi barang-barangnya, membawa uang simpanan."
"Ayah, Ibu, Kakak, kalau Kak Devan membawa banyak uang, dia mungkin akan lebih lama di luar!"
"Kalau begitu, jika sesuatu terjadi padanya di luar sana, aku akan merasa lebih bersalah. Semua ini karena aku ...."
Marco berkata dengan penuh kecemasan, pura-pura merasa bersalah.
Namun, di balik kata-katanya, dia sengaja menekankan bahwa Devan mungkin membawa banyak uang.
Jelas sekali.
Marco tidak akan membiarkan orang luar membawa uang Keluarga Atmaja!
"Benar juga, Devan sudah lama tinggal di Keluarga Atmaja. Siapa yang tahu apakah dia telah melakukan sesuatu di belakang kita untuk mengambil uang keluarga?"
"Kalau dia membawa 2 miliar, itu cukup untuk bertahan hidup beberapa tahun!"
"Orang ini, sepertinya semuanya sudah direncanakan. Dia memang sudah lama menunggu kesempatan untuk pergi!"
Liana menggertakkan giginya dengan penuh kebencian.
"Keluarga Atmaja memang kehilangan beberapa barang belakangan ini. Apa semuanya sudah dia sembunyikan?"
Desi menyipitkan matanya sambil merenung.
"Orang ini benar-benar membawa banyak kebiasaan buruk masuk ke sini."
"Perhiasan berhargaku hilang beberapa. Aku rasa itu ada di tangannya!"
"Nilainya sudah melebihi miliaran, cukup untuk membuatnya hidup nyaman sepanjang sisa hidupnya!"
Sonia menambahkan dengan nada cemas.
Namun, kecemasannya bukan karena Devan yang mungkin tidak akan kembali.
Melainkan karena perhiasan yang mungkin telah dicuri.
"Haih, bagaimana ini? Kalau dia benar-benar pergi, aku mungkin nggak akan melihat Kak Devan untuk waktu yang lama!"
Marco mengusap air mata dengan penuh kesedihan.
Namun, kegembiraan yang tersembunyi di matanya hampir meluap.
Segalanya berjalan sesuai rencana.
Semua orang telah masuk ke dalam permainannya!
Sekarang, lihat saja bagaimana kamu akan pergi!
Devan, Keluarga Atmaja ini bukan tempat yang bisa kamu tinggalkan begitu saja!
Jika ingin pergi, kamu harus membayar harganya!
"Krek."
Pintu kamar terbuka. Devan melangkah keluar setelah membereskan barang-barangnya.
Dia sedikit terkejut melihat orang-orang berdiri di depan pintu.
Ada apa ini?
Apakah mereka benar-benar ingin menahannya di sini?
Ini cukup tak terduga.
"Buka koper dan tasmu, aku mau memeriksanya!"
Fredi berkata dengan suara dingin.
"Memeriksanya?"
Devan mengerutkan alisnya, tampak tidak senang.
"Kalau kamu ingin pergi, pergilah dengan bersih."
"Apa maksudnya membawa barang milik Keluarga Atmaja?"
Desi berujar dengan nada angkuh.
"Heh!"
"Jadi ini masalahnya!"
Devan hanya bisa tersenyum pahit, lalu membuka kopernya.
Koper usang itu hanya berisi dua baju ganti dan satu celana jeans yang sudah agak pudar.
Sedangkan di dalam tas punggungnya, hanya ada beberapa buku pelajaran.
Inilah yang dia bawa ketika pertama kali datang ke Keluarga Atmaja.
Selain itu, tidak ada apa pun lagi.
"Cuma barang-barang ini? Lalu di mana barang-barang yang kamu curi? Di mana perhiasannya?"
Fredi membentak dengan nada dingin.
"Ya, kamu menyembunyikannya di mana? Apakah semuanya kamu sembunyikan di tubuhmu?"
Liana terus mencari-cari, tetapi tidak menemukan apa-apa.
Koper dan tasnya sangat sederhana hingga terasa tidak masuk akal.
"Semua ini adalah barang-barang yang aku bawa saat pertama kali datang ke Keluarga Atmaja."
"Selain itu, semua barang lainnya ada di kamar, aku nggak membawa apa pun dari sini!"
"Mengenai perhiasan yang kalian sebutkan, aku nggak pernah melihatnya, apa lagi mengambilnya."
"Kalau kalian ingin menuduhku, silakan lapor ke polisi sekarang. Aku menunggu pernyataan yang jelas."
Devan berkata tanpa ekspresi, sambil mengeluarkan ponselnya untuk mulai menelepon polisi.