Bab 3
"Nggak akan kembali?"
Mata Fredi sedikit menyipit, menatap Devan dengan ekspresi terkejut.
Pikirannya tidak bisa langsung mencerna. Dia secara refleks bertanya, "Kamu mau pergi ke mana?"
"Setelah meninggalkan Keluarga Atmaja, ke mana pun aku pergi bukan urusan kalian lagi."
Devan menjawab dengan tenang.
"Wush!"
Begitu kata-kata itu terucap, semua mata langsung tertuju padanya.
Seluruh Keluarga Atmaja membelalakkan mata mereka, tampak sangat tidak percaya.
Rasanya mereka sudah salah dengar.
"Apa kamu tahu apa yang sudah kamu katakan?"
Suara Fredi menjadi makin dingin, tubuhnya sedikit gemetar.
Amarahnya meluap dalam sekejap, matanya perlahan memerah.
Seluruh ruangan menjadi hening, begitu hening hingga suara jarum jatuh pun bisa terdengar.
"Devan, jangan bertindak gegabah!"
"Karena kamu sudah melakukan kesalahan, kamu cukup meminta maaf dan memperbaikinya. Bagaimana mungkin kamu menggunakan kata-kata seperti ini untuk menyakiti keluargamu?"
"Ayahmu juga melakukannya demi kebaikanmu. Bagaimana mungkin kamu tega melukai hatinya?"
"Cepat minta maaf padanya. Kita semua adalah keluarga, dia akan memaafkanmu!"
Dengan sikap tinggi hati, Sonia mulai menceramahi dari sudut pandang moral.
Setiap perkataannya berisi tentang keluarga, tentang hubungan darah.
Namun, kata-kata itu terasa seperti jarum tajam yang menusuk hati Devan.
"Keluarga? Ironis sekali!"
"Kapan kalian pernah memperlakukanku sebagai keluarga?"
Devan tertawa dingin, matanya penuh dengan sindiran.
Tidak ada yang tahu dengan lebih baik betapa berat hidupnya selama ini!
Tempat ini hanyalah sebuah rumah untuk berteduh.
Tanpa sedikit pun rasa hangat seperti rumah.
Atau lebih tepatnya, ini sama sekali bukan rumah baginya.
"Kamu benar-benar nggak tahu terima kasih! Kalau kami nggak menganggapmu sebagai keluarga, kenapa kami membawamu pulang?"
"Semua makanan dan minuman yang kamu nikmati di Keluarga Atmaja, semuanya dari kami!"
"Sekarang kamu berani mengatakan kalau kami nggak menganggapmu sebagai keluarga. Bagaimana kamu bisa berkata begitu?"
Liana langsung marah, memaki Devan dengan suara dingin.
Tatapan merendahkan di matanya tampak makin intens.
"Kalau kamu merasa malu karena kami mengetahui perbuatan menyimpangmu, lalu itu alasan kamu ingin pergi, kamu nggak perlu melakukannya."
"Kamu memang berasal dari keluarga yang buruk, membawa sifat buruk itu bukan hal yang mengejutkan."
"Asalkan kamu mau berubah, Keluarga Atmaja masih bisa menerimamu."
Desi berkata dengan nada ringan, seolah-olah dia hanya memberikan nasihat biasa.
Namun, ini lebih terdengar seperti orang yang berada di posisi tinggi sedang menilai bawahannya.
Sejak menjadi CEO sementara Keluarga Atmaja, Desi telah tumbuh makin matang.
Baik dari cara berpikir maupun sifatnya, dia mendapat banyak pujian.
Banyak orang mengatakan bahwa putri sulung Keluarga Atmaja seperti burung phoenix yang membentangkan sayapnya.
Pada saat ini.
Keluarga Atmaja hanya bersikap acuh tak acuh. Mereka hanya ingin Devan segera mengakui kesalahannya, lalu meminta maaf.
Ini sudah merupakan kelonggaran besar bagi mereka.
Bagaimanapun juga ....
Dalam pikiran mereka, tidak mungkin Devan benar-benar akan pergi.
Keluarga Atmaja memiliki kekayaan besar, kekuasaan yang luas, serta harta yang melimpah.
Dengan latar belakang keluarga seperti itu, apa alasan Devan untuk meninggalkan rumah?
Banyak orang berjuang keras hanya untuk bisa masuk, bahkan menjadi pelayan pun mereka rela.
"Kalian mungkin sudah salah paham."
Devan tertawa pahit, lalu berkata dengan tenang, "Aku hanya memberi tahu kalian, bukan berunding!"
Apa?
Raut wajah semua orang langsung berubah.
Keterkejutan mereka segera tergantikan oleh kemarahan.
Bukan untuk berunding?
Menurut Devan, siapa dirinya? Berani-beraninya dia berbicara seperti itu kepada mereka!
Hanya Marco yang menunjukkan sedikit kegembiraan di matanya.
Perasaannya pun makin gembira.
"Kak Devan, jangan marah. Aku tahu semua ini karena aku."
"Aku nggak seharusnya menemukanmu mengintip Kak Liana mandi. Aku juga nggak seharusnya menemukanmu mencuri pakaian dalamnya!"
"Mungkin aku nggak seharusnya ada di sini. Aku akan pergi sekarang, nggak akan melakukan kesalahan lagi."
Setelah berkata demikian, Marco berdiri, bersiap untuk pergi.
Namun, pada detik berikutnya.
Seluruh Keluarga Atmaja langsung bangkit berdiri.
Reaksi mereka terhadap niat Marco untuk pergi begitu besar.
"Nak, kamu nggak bisa pergi! Kalau kamu pergi, bagaimana dengan aku?"
"Aku sudah membesarkanmu dengan penuh kasih sayang selama lebih dari sepuluh tahun. Kamu adalah bagian dari hidupku, kamu adalah harapanku untuk bertahan hidup!"
"Jangan pergi, Ibu mohon padamu!"
Sonia tampak menangis pilu, air mata mulai mengalir dari matanya.
Dia langsung memeluk erat Marco, takut dia akan benar-benar pergi.
Melihat ini, Devan merasa muak, tak bisa menahan diri untuk meliriknya dengan penuh kebencian.
Ini benar-benar perlakuan yang berbeda!
Perbedaan antara anak kandung dan anak angkat terlalu mencolok!
"Devan, kamu sudah keterlaluan!"
"Marco nggak bersalah, tapi kamu memperlakukannya seperti ini. Apakah kamu masih manusia?"
"Meski dia bukan anak kandung keluarga ini, dia selalu menjadi bagian dari keluarga kami. Dia adalah keluarga kami!"
"Karena kelakuanmu yang tercela, kamu ingin mengusirnya. Aku sudah melihat betapa kejamnya kamu!"
Liana berteriak dengan napas tersengal-sengal, dadanya naik turun karena marah.
Dia menunjuk ke arah Devan, menggertakkan giginya dengan amarah.
Namun, hal itu masih belum bisa meredakan ketidakpuasan di hatinya.
"Benar, kamu sudah terlalu kejam. Kamu nggak seharusnya bertindak seperti itu."
"Apakah seluruh rencana licikmu adalah untuk menyingkirkan Marco?"
"Apa kamu benar-benar nggak punya sedikit pun rasa terima kasih atas kebaikannya padamu?"
Desi juga merasa sangat marah, lalu berdiri untuk menegur.
"Lihat! Lihat ini!"
Fredi mengamuk, mondar-mandir di aula untuk melampiaskan kemarahannya.
Kemudian, dia menunjuk ke arah Devan untuk sekali lagi berteriak.
"Semuanya gara-gara kamu! Keluarga ini jadi kacau balau, penuh dengan keluhan!"
"Kamu sama sekali nggak pernah memikirkan Keluarga Atmaja. Kamu anggap kami ini apa?"
"Segera minta maaf kepada semua orang. Ini kesempatan terakhir yang aku berikan padamu!"
"Kamu harus memberi penjelasan kepada mereka!"
Sesaat kemudian.
Suasana di ruangan hanya diisi oleh kemarahan semua orang.
Tekanan makin terasa, seolah-olah udara di ruangan itu tiba-tiba menghilang.
Wajah Devan tetap tanpa ekspresi. Namun, di dalam hatinya dia merasa sangat muram.
Tidak ada yang berubah.
Segalanya masih tetap sama.
Keluarga Atmaja masihlah Keluarga Atmaja yang sama!
Orang-orang yang disebut keluarga itu hanyalah keluarga bagi Marco.
Pandangan dingin Devan perlahan tertuju pada Marco.
Orang ini telah menghancurkan semuanya!
Saat itu, Marco merasa jantungnya berdegup kencang.
Bukan karena takut pada Devan.
Melainkan karena dia berpikir mungkin Devan akan meminta maaf padanya.
Jika memang demikian, masalah hari ini akan selesai begitu saja!
Namun, di dalam hatinya, Marco merasa marah dan tidak rela.
Mengapa keluarga yang seharusnya menjadi miliknya harus dibagi dengan orang lain?
Mengapa harta yang seharusnya menjadi miliknya harus diberikan kepada orang luar?
"Bruk!"
Marco langsung berlutut, menundukkan kepalanya ke lantai.
"Semuanya salahku. Tolong jangan marahi Kak Devan lagi!"
"Karena keberadaanku, Kak Devan merasa sangat nggak puas. Aku bersedia pergi!"
"Aku bersedia pergi dengan sukarela, demi memberi jalan untuk Kak Devan. Aku akan pergi sekarang!"
Kata-katanya yang penuh emosi dan air mata terdengar jelas di telinga semua orang.
Marco mengangkat kepalanya, matanya sudah memerah dan bengkak. Air mata membasahi bulu matanya.
Dengan suara tercekat, dia menatap Keluarga Atmaja dengan penuh kepedihan.
Seolah-olah dia telah membuat keputusan terakhirnya, dia pun berbalik pergi.
Tindakan ini segera memicu kegemparan di tempat itu, membuat suasana makin riuh.
Semua orang buru-buru berlari ke arah Marco, mencoba menghentikannya.
Mereka menarik dan menahannya dengan panik, takut kalau dia benar-benar pergi.
"Dasar kamu bajingan! Kenapa masih berdiri saja?"
"Berlutut dan minta maaf, akui kesalahanmu!"
"Ini kesalahanmu, kenapa Marco yang harus menanggungnya?"
Fredi mengamuk dengan suara keras.