Bab 5
Melihat Devan hendak menelepon polisi, Marco langsung panik.
Keringat dingin membasahi punggungnya hingga tembus ke pakaian.
Hanya dia yang tahu ke mana perhiasan Sonia sebenarnya menghilang.
Tentu saja Marco yang mencurinya!
Pertama, untuk memenuhi gaya hidup mewahnya. Kedua, untuk menjebak Devan.
Bagi Sonia, barang-barang tersebut tidak bisa dianggap penting.
Keluarga Atmaja punya banyak uang. Setiap bulan Sonia membeli perhiasan dengan nilai mencapai miliaran.
Dia bahkan tidak tahu seberapa banyak perhiasan yang dimilikinya.
Namun, tepat saat Marco hendak bicara ....
"Apa kamu ingin membuat Keluarga Atmaja benar-benar malu di depan semua orang?"
Fredi langsung meraung.
Devan perlahan mengangkat kelopak matanya, menatap Fredi dengan tatapan dingin.
Tak ada kata-kata yang terucap darinya.
"Kalau kamu ingin pergi, lebih baik pergi dengan bersih!"
"Kenapa kamu berpura-pura menjadi orang kaya dengan mengambil barang-barang Keluarga Atmaja?"
"Kalau berani, serahkan semuanya dan pergi tanpa ada hubungan lagi dengan Keluarga Atmaja. Dengan begitu, setidaknya aku masih bisa menghargaimu!"
Fredi membentak dengan nada tegas.
Selama Devan membawa uang keluarga, Keluarga Atmaja akan tetap memegang kendali.
Pergi dari rumah? Pada akhirnya, itu hanya akan menjadi lelucon!
Devan selamanya tidak akan bisa lepas dari Keluarga Atmaja!
Orang-orang Keluarga Atmaja lainnya pun memahami maksud Fredi. Mereka tersenyum mengejek sambil menatap Devan dengan dingin.
Mereka ingin melihat apakah Devan akan menyerahkan barang-barang yang dia ambil atau tidak.
Jika dia menyerahkan uang yang disembunyikan, dia pasti tidak akan bisa bertahan hidup di luar.
Jika dia tidak menyerahkannya, Devan tidak akan bisa membela diri ketika Keluarga Atmaja menyelidikinya nanti.
Menghadapi tatapan berapi-api dari semua orang, Devan tentu saja tahu apa yang mereka maksud.
Namun, apa mereka kira dia akan menganggap Keluarga Atmaja?
Tidak ada alasan baginya untuk tetap tinggal di tempat yang telah menghancurkan hidupnya!
Tidak ada yang perlu diingat. Dia juga tidak ingin ada hubungan lagi.
Setelah itu, Devan berbalik untuk kembali ke kamarnya.
"Ah? Apa Kak Devan benar-benar menyembunyikan uang? Nggak mungkin!"
Marco berpura-pura terkejut sembari berteriak keras.
Di dalam hatinya, dia merasa lebih merendahkan Devan.
Dia berpikir bahwa tindakannya adalah untuk menjebak Devan, tetapi ternyata Devan benar-benar melakukannya!
Namun, wajah semua orang di Keluarga Atmaja menjadi muram, tampak dingin seperti es.
Mereka memutuskan bahwa masalah pencurian ini akan diselesaikan secara internal di Keluarga Atmaja.
Jika sampai terdengar di luar, itu akan menjadi aib keluarga.
"Bajingan ini, dia nggak punya keahlian dan benar-benar sudah mempermalukan nama Keluarga Atmaja!"
Fredi sangat marah sampai mengepalkan tinjunya.
Dia ingin sekali langsung menghajar Devan.
Setelah beberapa waktu, akhirnya Devan keluar dari kamar.
Dia tetap muncul dengan tangan kosong, tanpa membawa perhiasan atau uang.
Hanya ada selembar kertas dengan tulisan yang sangat rapi di atasnya.
"Aku ulangi sekali lagi, aku nggak mengambil barang berharga apa pun dari Keluarga Atmaja."
"Sejak aku datang ke Keluarga Atmaja, semua yang aku gunakan berasal dari tabunganku sebelumnya."
"Kalian nggak pernah memberiku sepeser pun, hanya menyediakan makanan tiga kali sehari dan tempat tinggal."
"Ini yang aku tulis, kalian tinggal menandatanganinya. Mulai sekarang, aku nggak mau lagi ada hubungan apa pun dengan Keluarga Atmaja."
Devan berkata dengan tenang sambil menyerahkan kertas itu.
Ketika Fredi melihat baris pertama, matanya langsung terbelalak.
Bukan hanya dia, semua orang yang melihatnya pun terkejut hingga menarik napas dalam-dalam.
"Surat Pernyataan Pemutusan Hubungan?"
Bahkan tertulis di dalamnya bahwa Devan tidak membawa uang dari Keluarga Atmaja, serta bersedia bertanggung jawab atas semua perkataannya.
Dia juga menawarkan untuk melapor ke polisi, untuk memeriksa barang-barang yang hilang.
Jika tidak ada tindakan, dia akan pergi dari sini, sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Keluarga Atmaja.
"Apa kamu pikir selembar kertas ini bisa menghapus fakta kalau darah Keluarga Atmaja mengalir dalam tubuhmu?"
Fredi makin marah, kemarahannya hampir mencapai puncaknya.
Seolah-olah dia bisa mengambil tindakan pada saat itu juga.
"Ayah, jangan tanda tangan! Aku nggak mau Kak Devan pergi, aku nggak rela kehilangannya!"
"Meski dia telah melakukan begitu banyak kesalahan, itu semua karena dia masih muda!"
"Aku mohon, jangan tanda tangan, biar aku saja yang pergi! Aku akan pergi sekarang juga!"
Marco berkata sambil membelalakkan mata, terlihat seperti ingin menahan Devan. Namun, dia sebenarnya mendorongnya untuk segera pergi.
Kemudian, Marco berbalik untuk berjalan ke luar.
Dengan kekacauan yang ditimbulkannya, Sonia dan yang lainnya segera menarik Marco.
Ini membuat suasana menjadi sangat ramai.
"Kamu! Kamu! Kamu!"
Fredi begitu marah hingga tidak bisa berkata-kata. Tubuhnya tampak gemetaran.
Dia tidak menyangka Devan akan bertindak sejauh ini.
Dia bahkan membuat pernyataan tertulis.
"Baiklah, aku ingin lihat apa yang bisa kamu lakukan setelah kamu meninggalkan Keluarga Atmaja!"
"Aku akan menunggu hari di mana kamu akan menangis dan memohon untuk kembali ke Keluarga Atmaja!"
Fredi berkata dengan nada jengkel.
Akhirnya, dia tanpa ragu lagi menandatangani surat itu dengan cepat.
Dia bahkan mengambil darah dari dahi Devan, lalu menempelkan cap jarinya di kertas itu.
"Aku pergi."
Devan tanpa ekspresi membawa koper dan tas punggungnya yang usang, meninggalkan rumah.
Langkahnya makin ringan dan makin mantap.
Seolah-olah dia telah menunggu momen ini untuk waktu yang sangat lama.
Ketika pintu besar itu terbuka, yang terlihat masih kegelapan.
Namun, bulan di langit memancarkan cahaya lembut yang menerangi jalan di depannya.
Di dalam vila.
Fredi dan yang lainnya menatap punggung Devan yang menjauh. Semuanya terdiam.
Ruangan itu menjadi sunyi senyap.
Hingga akhirnya bayangan Devan menghilang ke dalam kegelapan.
Mereka tidak dapat melihatnya lagi sekarang.
Tidak akan pernah melihatnya lagi.
"Hatiku terasa sangat sakit. Kak Devan pergi begitu saja. Sekarang aku kehilangan satu anggota keluarga."
"Semuanya salahku. Ini semua karena aku!"
"Aku yang membuat Kak Devan pergi meninggalkan rumah."
Marco tersedu-sedu, tampak sangat sedih sambil menyeka air matanya.
Pada saat ini, perannya belum selesai.
Dia harus melanjutkan aktingnya hingga akhir.
"Dia bukan anggota keluarga, hanya orang luar. Jangan merasa bersalah!"
Liana menghela napas, lalu dengan penuh kasih mengusap kepala Marco.
"Dia akan kembali."
Desi berkata dengan nada dingin. Namun, ada makna mendalam di balik kata-katanya.
"Kembali?"
Marco tampak sedikit tercengang, suaranya terdengar agak terburu-buru.
"Ya, Desi benar!"
"Dia pasti akan kembali. Tanpa dukungan Keluarga Atmaja, dia bukan siapa-siapa!"
"Ketika dia memasuki dunia luar, dia akan memahami kenyataan ini!"
Fredi menghela napas panjang, tetapi kemarahannya masih belum reda sepenuhnya.
"Nak, kamu jangan khawatir. Dia pasti akan kembali."
Sonia juga berkata dengan santai sambil memeluk Marco, lalu membawanya kembali untuk makan.
Keluarga Atmaja kembali dipenuhi dengan tawa dan kebahagiaan.
Tawa itu terdengar makin bebas.
Seolah-olah setelah kepergian seseorang, suasana menjadi jauh lebih ceria.
Pada saat itu.
Devan berjalan di bawah cahaya bulan. Selangkah demi selangkah menyusuri jalanan yang sepi.
Dia melihat keluarga-keluarga di sepanjang jalan. Lampu-lampu rumah menyala terang, sementara semua orang menikmati makan malam kebersamaan mereka.
Namun, bayangannya tampak sedikit kesepian.
Di matanya, ada kegembiraan dan semangat yang membara.
"Anggota keluargaku bukan di Keluarga Atmaja!"
"Keluargaku selalu menungguku!"
Di benak Devan, ada jalan yang telah dia lalui berkali-kali dalam pikirannya.
Akhirnya, dia tiba di sebuah kompleks apartemen tua berlantai lima.
Tempat ini benar-benar berbeda dari area vila sebelumnya.
Devan berjalan ke depan sebuah bangunan, memeriksa nomor unit, lalu perlahan melangkah naik.
Tangga lima lantai yang dia daki terasa lama, tetapi dia sama sekali tidak merasa lelah.
Akhirnya, dia berhenti di depan pintu keamanan sebuah apartemen.
Devan mengetuk pintu dengan lembut, sementara orang di dalam membuka pintu.
Sepasang suami istri tua yang wajahnya penuh dengan pengalaman hidup menatap Devan dengan pandangan terkejut.
Pada saat itu, mata mereka membelalak penuh keterkejutan.
"Ayah, Ibu, aku pulang."
Devan berkata dengan penuh haru, air mata menetes di matanya.