Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Devan tidur sangat nyenyak. Dia bahkan bermimpi kembali ke Keluarga Wisesa. Meski keluarga yang membesarkannya itu hidup sederhana, di sana tidak ada banyak intrik. Orang tua angkatnya memperlakukannya dengan sangat baik, seperti anak kandung mereka sendiri. Saat dia sedang menikmati mimpi indah itu .... Dok, dok, dok! Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras yang langsung membangunkan Devan. Devan mengusap matanya, dengan enggan turun dari tempat tidur. Ketika dia membuka pintu, di sana terlihat wajah cantik yang dipenuhi amarah. "Makan!" Desi berkata dengan dingin, "Marco sudah memanggilmu tujuh atau delapan kali, tapi kamu terus bersembunyi di dalam. Kamu sedang berpura-pura untuk siapa?" Hah? Memanggilku? Devan mengerutkan kening. Tidurnya selalu tidak pulas karena menderita gangguan saraf. Sedikit suara saja sudah bisa membuatnya terbangun. Sebelumnya, saat Marco bermain musik DJ keras-keras di kamarnya, Devan masih bisa mendengarnya meski pintunya sudah ditutup. Dia merasa marah, tetapi tak berani berkata apa-apa, hanya bisa diam-diam menahan semuanya. Karena kurang tidur berkepanjangan, kondisinya memburuk hingga menyebabkan gangguan saraf. Jadi jika ada yang memanggilnya, Devan pasti mendengarnya. "Kamu sebaiknya tanyakan baik-baik bagaimana dia memanggilku." Devan menjawab dengan dingin. Wajah cantik Desi tampak makin dingin. Tanpa menjawab, wanita itu langsung pergi. Devan malas berkata lebih lanjut dengannya, hanya mengikuti ke bawah. Di ruang makan, seluruh keluarga sudah duduk menunggunya di meja. "Kamu hebat, ya. Sekarang sudah bisa main-main seperti ini?" "Kebiasaan buruk dari luar jangan kamu pamerkan di sini!" "Seluruh keluarga sudah menunggumu makan, apa kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?" Ayah kandungnya, Fredi, menatap tajam ke arah Devan dengan wajah serius penuh amarah, seolah-olah ingin membakarnya. Orang-orang lainnya duduk diam, seolah semua ini tidak ada urusannya dengan mereka. Sesekali mereka melirik tajam ke arah Devan. Tatapan mereka juga penuh ketidakpuasan. "Bersalah?" Devan merasa berat hati, sedikit mengerutkan kening. Melihat ayah kandungnya di depannya, Devan merasakan ada jarak sejauh galaksi di antara mereka. Tidak ada sedikit pun kasih sayang yang terasa, hanya ada rasa dingin dan kekakuan. "Ayah, ini salahku." "Aku hanya berharap Kak Devan bisa istirahat lebih lama." "Kalau saja tadi aku mengetuk pintunya lebih keras, mungkin dia akan terbangun." Marco menundukkan kepala dengan wajah penuh penyesalan, bibirnya tampak sedikit bergetar. Dia terlihat sangat merasa bersalah. Seolah-olah telah menderita ketidakadilan besar. "Huh!" Devan mendengus dingin, matanya penuh dengan ejekan. Kata-kata manis seperti itu sudah sering dia dengar. Hanya keluarganya yang akan tertipu oleh permainan itu. "Kenapa kamu mendengus?" Fredi langsung marah. Dia menampar meja marmer dengan keras. Suara tamparan yang keras itu membuat semua orang di ruangan terkejut. "Saat menjalani pemeriksaan terakhir kali, aku mengalami gangguan saraf. Sedikit suara saja bisa membuatku terbangun." "Apa dia benar-benar memanggilku?" Devan menatap dingin ke arah Marco. "Masalah gangguan saraf apa? Kamu bergadang tiap malam untuk membaca novel dan bermain game, itu cuma kebiasaan yang kamu bentuk!" Fredi segera memarahinya. "Benar." Devan tidak membantah, hanya mentertawakan dirinya sendiri. Ketika hasil pemeriksaannya keluar dulu, Fredi juga mengatakan hal yang sama. Dia sama sekali tidak memperhatikan kondisi kesehatannya. "Ayah, jangan begitu terhadap Kak Devan. Ayo kita makan. Kalau nggak, makanannya akan dingin nanti." "Kak Desi, Kak Liana dan Ibu juga belum makan." Kata-kata Marco penuh dengan perhatian. "Putraku memang sangat berbakti." Kata-kata Sonia penuh dengan kasih sayang. Dia mengusap kepala Marco. Wajahnya penuh kebahagiaan. Devan menatap ibu kandungnya yang penuh kasih sayang terhadap Marco, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak merasakan ikatan darah sedikit pun. Apakah ini yang disebut kasih seorang Ibu? "Demi Marco, aku nggak akan mempermasalahkan ini denganmu." "Ambil peralatan makan, lalu pergi makan di pojok sana." "Pikirkan baik-baik apa kesalahanmu hari ini, lalu akui semuanya!" Nada suara Fredi dingin, bahkan dia tidak menatap Devan sedikit pun. Hal semacam ini .... Sudah menjadi kebiasaan di Keluarga Atmaja. Setiap kali makan, Devan hampir selalu diperlakukan seperti ini. Entah karena tuduhan palsu yang dilemparkan oleh Marco, yang membuat Devan diperlakukan tidak adil. Atau karena Fredi merasa tidak suka kepadanya. Devan selalu dimarahi bahkan karena hal-hal kecil. Namun, tidak untuk kali ini. Devan tidak bergerak. Semua orang di Keluarga Atmaja mulai mengambil sendok, menikmati hidangan lezat di meja. Sementara Devan berdiri diam, terlihat begitu kontras dengan suasana ini. Dia tampak seperti orang luar. Di hadapannya, ini adalah keluarga yang harmonis. Namun, bagi mereka Devan hanyalah duri di mata mereka. Apa yang disebut kasih keluarga, semua hanyalah omong kosong! "Hm?" "Kenapa kamu masih berdiri di situ? Apa kamu tuli?" Fredi berkata dengan nada dingin. Pada saat itu, yang lain pun mulai menoleh, menatap Devan. Ada sedikit keterkejutan di wajah mereka. Biasanya, pada saat seperti ini, Devan sudah mengambil peralatan makannya, lalu pergi. Kenapa kali ini dia tidak patuh? "Aku nggak merasa telah melakukan kesalahan. Kalaupun ada, katakan padaku." Devan berdiri tegap dengan sikap penuh harga diri. Kali ini, dia tidak melarikan diri atau menghindar. Dia seolah-olah menantang otoritas ayahnya di Keluarga Atmaja. "Kamu benar-benar nggak tahu malu, ya?" "Kamu mengintip kakakmu mandi, juga mencuri pakaian dalamnya, apakah itu bukan kesalahan?" "Apakah itu yang kamu pelajari di panti asuhan dan dari Keluarga Wisesa?" "Ini bukan sekadar kesalahan, ini sudah melanggar etika dan moral!" "Kamu benar-benar rendahan!" Fredi sudah kehilangan nafsu makan. Dia melemparkan piringnya ke arah Devan. Seperti bintang jatuh yang melesat. "Prang!" Piring porselen itu menghantam kepala Devan, langsung pecah berkeping-keping. Pada saat yang sama, darah segar mulai mengalir dari kepalanya, seperti cabang sungai yang menyebar di wajahnya. Tik, tik! Tik, tik! Tetesan darah itu jatuh ke lantai, membasahi karpet berbulu halus. Saat itu, suasana di seluruh ruangan langsung hening. Tak satu orang pun di Keluarga Atmaja yang menyangka Fredi akan benar-benar melakukan kekerasan. Bahkan sampai melukai Devan dengan serius. Devan juga tidak mencoba menghindar sedikit pun. Desi dan Liana saling melempar pandang, menyadari bahwa situasi sudah sangat serius. Namun, pandangan mereka tetap dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian. Sonia dengan hati-hati memeluk kepala Marco, khawatir anak itu ikut terkena dampaknya. Namun, Marco menatap Devan dengan dingin dari balik lengannya. Rasa bangga dan kesombongan di matanya tampak makin kuat. "Kamu! Kenapa nggak menghindar?" Fredi tampak sedikit panik. Dia bertanya dengan nada marah. Devan tidak menjawab, hanya merasa kepalanya mulai pusing. Dia memang ingin menghindar, tetapi dengan tubuhnya yang lemah, reaksinya tidak cukup cepat untuk mengelak. Namun, bukankah ini malah lebih baik? Jika sudah begini, semuanya bisa diselesaikan dengan terbuka. "Pak Fredi, biarkan aku membawa Tuan Muda Devan ke rumah sakit untuk membalut lukanya." Seorang pelayan dengan cepat maju. "Bibi Wirna, nggak perlu repot-repot." Devan berkata dengan sedikit haru. Di seluruh Keluarga Atmaja, hanya pelayan inilah yang memperlakukan dirinya dengan baik Ketika dia tidak mendapatkan makanan, pelayan ini yang sudah diam-diam memasakkan sesuatu untuknya, lalu membawanya ke kamar Devan. "Sepertinya hanya luka kecil. Kalau nggak ada apa-apa, segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkannya." "Karpet di bawah kakimu itu dari kulit asli, harganya ratusan juta!" "Kalau sampai terkena noda darah dan nggak bisa dibersihkan, kamu bisa keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali!" Fredi kembali dengan sikap dinginnya, memarahi Devan dengan keras. "Ternyata yang lebih penting untuk dibersihkan adalah karpet, bukan lukaku." Devan tertawa getir pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka, pada akhirnya, tidak ada yang berubah. Dia perlahan mengangkat kepalanya, menghela napas panjang, merasa makin tenang. Darah di wajahnya membuatnya tampak lebih menyeramkan. "Nggak perlu dibersihkan." "Aku akan pergi sekarang juga, nggak akan pernah kembali lagi."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.