Bab 1
"Kak Devan, Kak Liana adalah kakak kandungmu!"
"Bagaimana bisa kamu mengintipnya saat mandi, bahkan mencuri pakaian dalamnya?"
Di dalam kediaman Keluarga Atmaja.
Marco Atmaja, yang mengenakan pakaian bermerek mahal serta jam tangan Patek Philippe, memandang Devan dengan ekspresi tidak percaya.
Desi Atmaja, sang kakak sulung, menunjukkan wajah yang dingin. Dia menatap Devan dengan merendahkan, suaranya pun terdengar dingin.
"Devan, aku selalu bertanya-tanya kenapa pakaian dalam kami sering hilang. Ternyata itu karena kamu yang mencurinya!"
"Apa kamu sudah gila? Kami seharusnya nggak membawamu pulang sejak awal!"
Liana Atmaja, sang kakak kedua, tampak hanya mengenakan handuk mandi. Dia berjalan keluar dengan penuh amarah, memperlihatkan kedua kakinya yang jenjang dan mulus.
Dia langsung merebut pakaian dalam dari tangan Devan, lalu menampar wajah Devan keras-keras!
Liana memaki, "Devan, kebiasaan menjijikkanmu ini benar-benar membuatmu nggak pantas menjadi bagian dari Keluarga Atmaja!"
Devan yang bertubuh kurus dan mengenakan seragam sekolah yang sudah memudar, meraba pipinya yang mulai memerah dan bengkak. Matanya tampak linglung.
"Apakah aku ... terlahir kembali?" batin Devan.
Dia meraba dadanya yang masih utuh.
Dalam ingatannya, setelah kecelakaan mobil di kehidupan sebelumnya, tulang dadanya remuk. Rasa sakit yang menusuk hingga membuatnya sesak napas itu masih segar di ingatannya.
Mengingat kejadian di masa lalu, ekspresinya perlahan menjadi dingin.
Di kehidupan sebelumnya, Devan diculik sejak kecil. Hingga suatu malam ketika dia berusia 15 tahun, dia dibawa kembali ke Keluarga Atmaja secara diam-diam.
Keluarga Atmaja yang menganggap diri mereka sebagai keluarga terpandang di Yuwana, merasa malu memiliki putra kandung yang tumbuh besar di luar. Jadi, mereka tidak pernah mengakui statusnya sebagai putra kandung secara terbuka.
Mereka hanya membiarkannya tinggal di kediaman Keluarga Atmaja dengan identitas sebagai anak kepala pelayan.
Namun, pada saat itu Devan sangat menghargai hubungan darah dengan keluarganya, sehingga dia tidak peduli dengan pengaturan ayahnya, Fredi Atmaja.
Saat itu, pemikirannya sangat sederhana.
Dia bisa bertemu kembali dengan orang tua kandungnya.
Dia bisa kembali ke Keluarga Atmaja, hidup bersama keluarganya.
Ini adalah hal yang luar biasa.
Bagaimanapun juga, sejak kecil dia merindukan kasih sayang keluarga.
Dia merindukan sebuah rumah untuk dirinya sendiri.
Setelah tinggal di kediaman Keluarga Atmaja.
Devan selalu perhatian kepada orang tua kandungnya, serta ketiga kakak perempuannya, termasuk pada Marco, anak angkat Keluarga Atmaja.
Dia selalu tersenyum pada mereka, bahkan merendahkan diri untuk menyenangkan mereka.
Devan hanya berharap bisa mempertahankan hubungan kekeluargaan yang sangat dia dambakan.
Namun, semua usahanya tidak pernah mendapat tanggapan apa pun.
Bahkan ibunya, Sonia Kamari, mengabaikan Devan. Sonia sama sekali tidak peduli padanya.
Orang-orang bilang, kasih sayang di antara ibu dan anak itu erat, tidak ada yang lebih baik dari seorang Ibu.
Namun, saat Devan sakit parah, terbaring di tempat tidur dengan demam tinggi hingga hampir 40 derajat yang tak kunjung turun ....
Sonia bahkan tidak melirik putra kandungnya itu.
Sebaliknya, Sonia menemani Marco pergi ke rumah sakit hewan untuk memberi vaksinasi pada anjing peliharaannya.
Di kediaman Keluarga Atmaja ini ....
Dalam pandangan Sonia ....
Putra kandungnya tidak lebih berharga dari seekor anjing peliharaan sang putra palsu.
Kemudian, Marco merencanakan sebuah kecelakaan mobil yang bertujuan membunuh Devan, sang putra kandung Keluarga Atmaja.
Dalam kecelakaan itu ....
Devan terhantam dengan keras hingga tulang dadanya patah, jantung dan paru-parunya hancur, tengkoraknya remuk, serta kedua lengannya terpelintir.
Tubuhnya terbaring di genangan darah dengan kondisi yang mengerikan.
Namun, ketika Keluarga Atmaja mendengar tentang kecelakaan itu, baik orang tua maupun ketiga kakak perempuannya, tidak ada satu pun yang peduli dengan hidup matinya.
Mereka hanya mengelilingi Marco, sang putra palsu, menghiburnya agar tidak merasa takut atau jangan menangis.
Padahal Marco hanya mengalami goresan kecil di kulitnya!
Pada saat itu, Devan tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.
Dia hanya bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana mereka berkumpul, dengan cemas memperhatikan Marco.
"Ibu, Ayah, Kakak .... Aku juga sangat kesakitan."
"Bisakah kalian melihatku?"
Dia terbaring di genangan darah. Air mata bercampur dengan darah, membuat matanya memerah dan dipenuhi dengan kesedihan.
Dia hanya bisa memandangi mereka, hingga ajal menjemputnya.
Ketika jiwanya keluar dari tubuhnya.
Devan masih berharap. Mungkin, setelah orang tua dan kakaknya selesai menghibur putra palsu itu, mereka akan melihat tubuhnya sebentar saja.
Mungkin mereka akan merasa sedikit menyesal, meneteskan air mata untuk kematiannya.
Namun, orang tua dan kakaknya membawa si putra palsu, hanya meninggalkan seorang pelayan untuk mengurus jenazahnya.
Devan pun benar-benar menyerah.
Dandelion memang ditakdirkan untuk terbang jauh, tak seharusnya mengharapkan kembali ke tempat asalnya.
Keluarga Atmaja bukanlah rumahnya.
Bagi mereka, dia hanyalah seorang asing yang kebetulan berbagi hubungan darah.
Jika bukan karena takut reputasi mereka akan buruk jika kabar ini tersebar, sejak awal mereka tidak ingin membawa Devan pulang ke rumah.
Mungkin karena Devan dibunuh oleh Marco ....
Jadi, rohnya tidak bisa bereinkarnasi, terus melayang di sekitar Marco selama lebih dari sepuluh tahun.
Dia menyaksikan sendiri bahwa sehari setelah kecelakaan, Marco membayar sisa uang kepada sopir truk yang menabraknya hingga tewas.
Dengan demikian, Devan pun mengetahui kebenaran di balik kematiannya.
Dia juga menyaksikan bagaimana Marco yang sangat mesum mengintip ketiga kakaknya saat sedang mandi.
Namun, di kehidupan sebelumnya, ketika Devan masih hidup, Marco justru menuduhnya, menyematkan cap sebagai orang mesum pada Devan.
Sama seperti saat ini, ketika dia baru saja kembali setelah terlahir kembali.
Devan melirik pakaian dalam di tangan Liana, lalu menunjuk ke arah Marco sambil berkata dengan tenang ....
"Pakaian dalam itu tadi diberikan oleh Marco kepadaku. Dialah yang mencuri pakaian dalam kalian dan mengintip saat kalian mandi."
"Kalau kalian nggak percaya, periksa saja laci paling bawah lemari pakaian di kamar Marco."
Ekspresi wajah Marco sedikit berubah, lalu dia buru-buru memasang tampang seolah akan menangis.
"Kak Devan, bagaimana bisa kamu menuduhku?"
"Kalau kamu merasa keberadaanku di Keluarga Atmaja mengganggu, aku bisa pergi."
"Aku tahu kamu nggak suka padaku. Asalkan kamu bahagia, aku bisa pergi dari sini, meninggalkan Ayah, Ibu, serta Kakak."
Air matanya langsung mengalir deras, disertai dengan sedikit rasa tertekan, benar-benar tampak menyedihkan.
"Marco, adikku yang baik, apa yang kamu bicarakan? Ini adalah rumahmu. Kamu adalah adik kandung kami!"
Kakak sulung, Desi, segera memeluk Marco, berusaha menghiburnya. Kemudian, dia menatap Devan dengan dingin sambil berkata.
"Kalau ada yang harus pergi, itu kamu!"
"Kamu mengintip kami mandi, mencuri pakaian dalam kami, sekarang masih mau memfitnah Marco?"
"Devan, sifatmu yang mesum dan rendahan itu sungguh menjijikkan!"
"Hanya panti asuhan dan keluarga serendah Keluarga Wisesa yang bisa membesarkan sampah sepertimu!"
Liana yang berada di sisi lain Marco, menepuk bahu laki-laki itu untuk menenangkannya. Dia menatap Devan dengan merendahkan, lalu berkata, "Aku sudah bilang dari awal, membawa dia kembali ke Keluarga Atmaja adalah keputusan yang salah!"
"Bagi Keluarga Atmaja, punya Marco sebagai adik saja sudah cukup!"
Marco menyeka air matanya dengan penuh kepiluan, menampilkan sekilas ekspresi puas di matanya. Namun, dia tetap berkata dengan rendah hati.
"Kakak, jangan bicara begitu. Bagaimanapun juga, Devan adalah adik kandung kalian."
Liana menjawab, "Aku nggak pernah menganggapnya sebagai adikku! Dia nggak pantas menjadi adik kami!"
Devan menyaksikan semua sandiwara Marco dengan jelas.
Pandangannya menyapu ketiganya dengan dingin, lalu dia mengejek dengan senyuman.
"Kata orang, laki-laki dan perempuan harus menjaga batasan. Terlebih lagi, kalian bahkan bukan saudara kandung."
"Marco, kamu sudah berusia 18 tahun."
"Apa kamu nggak malu, sebagai seorang pria dewasa masih menangis sambil mengusap wajahnya di dada kakakmu?"
Desi langsung marah, "Apa yang kamu bicarakan? Aku hanya menghibur Marco. Apa kamu pikir semua orang sama sepertimu yang mesum?"
"Baiklah, terserah kalian. Meski kalian mau menangis bersama pun, apa hubungannya denganku?"
Devan tidak berniat menjelaskan lebih jauh. Dengan ekspresi acuh tak acuh, dia berbalik, lalu berjalan pergi.
Jika ini terjadi di kehidupan sebelumnya, dia pasti akan berusaha keras menjelaskan agar kedua kakaknya tidak salah paham.
Namun, sekarang itu semua bukan masalah.
Karena dia sudah tidak peduli lagi.
Biar saja.
"Devan, berhenti di sana dan jelaskan baik-baik!"
"Aku nggak mau ada orang mesum di rumah ini, yang terus mengintip kami, mencuri pakaian dalam kami!"
Liana memanggilnya ketika melihat Devan hendak pergi.
"Kalau kamu benar-benar peduli, saranku periksa laci paling bawah di lemari pakaian Marco."
"Tentu saja, meski kalian menemukannya, kalian bisa saja bilang aku memfitnah Marco, sengaja meletakkannya di sana."
"Kalau itu yang kalian pikirkan, laporkan saja ke polisi. Biar mereka memeriksa sidik jari di pakaian dalam itu."
"Aku siap diinterogasi."
Devan mengatakan ini tanpa menoleh. Kemudian, dia berjalan menuju ruang bawah tanah, ke kamar pembantu tempat dia tinggal. Setelah masuk, dia menutup pintu dari dalam.
Kamar itu gelap dan lembap.
Sangat berbeda dari kemewahan di atas.
Tempat ini sederhana dan minim perabot, hanya ada tempat tidur tunggal murahan, sebuah meja, serta lemari pakaian sederhana.
Dia berbaring di tempat tidur sambil menutup matanya.
Wajahnya masih terasa panas.
Tamparan Liana tadi begitu keras.
Perutnya juga lapar.
Selama tiga tahun tinggal di Keluarga Atmaja, Devan hampir tidak pernah makan hingga kenyang.
Namun, semua itu sudah tidak penting lagi.
Yang dia inginkan sekarang hanyalah tidur.
Karena dia sangat lelah, baik secara fisik maupun mental.
Sungguh lelah ....