Bab 8
Jessica telah dibawa ke ruang pertemuan di lantai satu.
Pada saat ini, wajah Jason masih tertutup oleh topeng, sehingga Jessica tidak tahu siapa dia.
Namun, dia jelas mengenali Sion.
"Aku benar-benar nggak tahu siapa dia. Dia memakai topeng, aku nggak melihat wajahnya," kata Jessica dengan nada penuh rasa tertekan.
"Kalau kamu nggak tahu siapa dia, kenapa kamu mau membantunya? Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik sebelum bicara. Aku sendiri yang menangani kasus ini, kamu seharusnya tahu betapa seriusnya masalah ini," ujar Sion dengan nada penuh ancaman, menunjukkan keahliannya dalam interogasi.
"Karena ... karena dia mengancamku. Dia mengancamku dengan pistol," jawab Jessica. Wajahnya berubah dan suaranya terdengar samar.
"Kalau dia benar-benar mengancammu dengan pistol, saat lift berhenti di lantai satu, reaksi pertamamu pasti berteriak minta tolong, bukannya berpura-pura terluka, menghalangi staf untuk masuk ke lift." Sion mengejek dengan nada dingin. "Jangan mencoba berbohong di hadapanku. Kalau nggak, aku akan menganggapmu sebagai komplotannya. Tadi saat dia melarikan diri dari hotel, dia melemparkan granat untuk melukai tujuh orang. Kalau kami nggak bisa menangkapnya, kamu ...."
"Aku bukan komplotannya, sungguh bukan! Aku benar-benar nggak mengenalnya!" Jessica ketakutan hingga wajahnya pucat pasi, sementara tubuhnya mulai gemetar.
"Kalau begitu, ceritakan semuanya dengan jujur. Ini kesempatan terakhirmu." Sion yang kadang tidak pandai berempati, terus menekan Jessica tanpa belas kasih.
"Dia ... dia mengancamku dengan rahasiaku, jadi aku nggak punya pilihan selain membantunya," ujar Jessica pada akhirnya.
"Rahasiamu? Rahasia apa? Bagaimana dia bisa mengetahuinya?" Sion mengernyitkan kening, tampak terkejut dengan jawaban tersebut.
Mata Jason berkilat sedikit, tetapi dia tetap tenang.
"Aku ... aku pernah melakukan aborsi," jawab Jessica dengan suara pelan, tampak sangat malu dan takut.
Ekspresi di wajah Sion berubah seketika. Dia dengan cepat melirik ke arah Jason. Alis Jason pun sedikit terangkat.
"Aku .... Aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku bahkan menceritakan hal ini, apa lagi yang perlu aku sembunyikan?" kata Jessica dengan panik karena mereka tidak memberikan respons. "Oh ya, tadi di dalam lift juga ada seorang pria. Dia juga diancam oleh wanita itu."
Ekspresi Sion langsung berubah drastis.
Jordy juga diancam?
"Bagaimana kamu tahu?" Sion menatap tajam ke arah Jessica, matanya penuh tekanan.
"Awalnya saat di lantai tiga, dia mendekati pria itu. Pria itu awalnya mengabaikannya. Aku berada paling dekat dengan mereka. Meski musiknya sangat keras, aku samar-samar mendengar dia menyebutkan tentang Keluarga Finley. Setelah itu aku nggak tahu apa yang dia katakan lagi, tapi sikap pria itu langsung berubah. Dia langsung mencengkeram pergelangan tangannya, bertanya dengan nada mengintimidasi siapa dia sebenarnya."
Untuk sesaat, baik Jason maupun Sion tidak ada yang berbicara.
Jessica menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Karena ketakutan, dia berbicara makin cepat, "Wanita itu tampaknya nggak takut. Dia nggak menjawab. Tapi pria itu tampaknya menyerah, setuju membantunya. Kemudian ...."
Jessica melirik Jason yang masih mengenakan topeng. "Setelah itu, pria ini pasti sudah tahu yang terjadi selanjutnya."
"Aku benar-benar ketakutan saat melihat dia penuh darah. Dia juga menyeretku masuk ke lift. Dia mengancamku dengan rahasia yang paling aku takutkan akan diketahui orang lain. Aku nggak punya pilihan."
"Apa yang bisa digunakan untuk mengancam Jordy? Rahasia apa tentang Keluarga Finley?" Suara Sion terdengar makin serius. "Ini pasti sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang nggak diketahui orang banyak. Tapi bagaimana wanita itu bisa tahu? Kenapa dia bisa tahu rahasia Keluarga Finley?"
Tatapan Sion mengarah ke Jessica. "Bagaimana dia bisa tahu rahasia aborsimu, Nona Jessica?"
Baik rahasia Keluarga Finley maupun rahasia aborsi Jessica adalah hal yang sangat pribadi. Mustahil orang luar biasa tahu tentang hal-hal itu.
"Dia pasti mengenal Jordy. Dia juga pasti mengenal Nona Jessica." Sion akhirnya menyimpulkan, "Kemungkinan besar, hubungan kalian cukup dekat."
"Benar, dia mengenalku. Bahkan saat aku masih memakai topeng, dia langsung memanggil namaku. Aku benar-benar kaget pada waktu itu," jawab Jessica sambil mengangguk cepat.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak hanya mengenal mereka, tetapi mengenal mereka dengan sangat baik.
Wanita itu jelas sangat familier dengan Jessica. Tampaknya dia juga familier dengan Jordy.
Dia mampu mengancam Jordy di ruang pesta, pastinya dia mengenal Jordy dengan baik.
"Apakah ada seseorang yang dekat denganmu, yang juga memiliki hubungan khusus dengan Jordy atau Keluarga Finley?" tanya Jason langsung ke inti masalah.
"Gisel Hinton. Dia adalah tunangan Felix. Ketika Gisel baru berusia 11 atau 12 tahun, Keluarga Hinton dan Keluarga Finley sudah menetapkan perjodohan itu," jawab Sion sebelum Jessica sempat berbicara.
Sion mengetahui tentang hal ini karena beberapa hari lalu, sepupunya yang menyukai Felix sempat mengungkitnya. Sepupunya bahkan berbicara buruk tentang Gisel karena merasa cemburu.
"Gisel?" Mata Jason mengarah ke Jessica. "Apakah kamu mengenalnya?"
Jika Jordy dan Jessica sama-sama dekat dengan Gisel, wanita ini menjadi sangat mencurigakan.
"Tentu saja aku mengenalnya. Dia putri sulung Keluarga Hinton. Dia ...." Jessica menarik napas panjang, terlihat enggan, lalu akhirnya melanjutkan, "Dia secantik namanya, benar-benar seperti seorang dewi."
Gisel memang tidak hanya cantik, tetapi kecantikannya bisa membuat siapa saja tergila-gila.
"Secantik dewi, ya?" Sion tampak bersemangat, pikirannya melayang ke hal lainnya. Wanita yang berusaha sekuat tenaga untuk ditangkap oleh Jason itu begitu cantik hingga tampak bagaikan seorang dewi.
Jason hanya melirik Sion dengan tatapan acuh tak acuh. Tatapan itu membuat Sion langsung terkekeh dengan canggung. "Kak, dia sangat cantik katanya."
"Tapi Gisel itu bodoh sekali. Kami dulu teman sekelas. Nilai ujiannya nggak pernah lebih dari 30, sering kali bahkan hanya satu digit angka. Total nilai ujian akhirnya saja hanya 56, memecahkan rekor terendah dalam sejarah sekolah kami. Dia hanyalah boneka cantik tanpa otak. Aku dengar Keluarga Hinton nggak akan memberinya warisan sepeser pun. Felix bahkan berusaha memutuskan pertunangan dengannya," kata Jessica dengan nada penuh rasa kesal, tampak tidak senang dengan reaksi Sion.
Jika Gisel memang seburuk itu, apa gunanya kecantikannya?
"Kalau begitu, nggak mungkin dia." Sion akhirnya menyimpulkan, merasa kecewa karena sudah merasa senang terlalu cepat.
"Belum tentu begitu," ujar Jason. Matanya menyiratkan pemikirannya yang mendalam.
Dia tahu bahwa banyak keluarga besar memiliki kekuatan tersembunyi.
Keluarga besar biasanya sengaja menyembunyikan kekuatan seseorang yang mereka prioritaskan sebagai penerus. Terkadang untuk perlindungan, atau demi mencapai tujuan tertentu.
Mungkin saja Gisel masuk dalam kategori ini.
Baru saja, Jessica mengatakan bahwa Felix ingin membatalkan pertunangannya dengan Gisel. Mungkin saja ini adalah rencana Gisel, atau rencana Keluarga Hinton.
"Kak, ini nggak mungkin! Nilai ujian totalnya hanya 56! Kalau dia nggak mati karena kebodohannya, itu sudah merupakan keajaiban. Mana mungkin dia bisa lolos dari kepunganmu?" Sion bersikeras tidak percaya.
"Panggil Jordy ke kantor polisi," ujar Jason, mengalihkan topik pembicaraan. Dia tidak ingin berdebat dengan Sion tentang masalah ini.