Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Titik Akhir CintaTitik Akhir Cinta
Oleh: Webfic

Bab 6

Setetes demi setetes air mata jatuh di layar. Ketika Shella menyentuh wajahnya, baru dia sadar kalau dia sudah menangis. Padahal sebentar lagi dia sudah akan pergi, dan sudah berulang kali mengingatkan diri sendiri untuk tidak bersedih. Namun, saat melihat gambar-gambar yang provokatif itu, hatinya tetap terasa sakit, seperti ditusuk oleh jarum, sampai hampir sulit bernapas. Semua orang tahu kalau Irfan dan Arya sangat menyayanginya, tapi dia juga benar-benar memberikan hatinya pada mereka. Meskipun Irfan kaya raya, hatinya sangat kesepian. Shella selalu ada untuknya kapan pun dia membutuhkan. Menemani dia merayakan ulang tahunnya, memberi payung saat hujan, menunggunya pulang saat malam. Pokoknya, setiap kali Irfan kesepian, Stella akan selalu ada untuknya. Apalagi Arya. Shella hampir kehilangan nyawa saat melahirkan Arya. Dia sendiri yang membesarkan Arya dan mengajarinya tentang kehidupan. Semua kasih sayangnya diberikan pada ayah dan anak ini. Namun, hati yang tulus bukannya dibalas dengan ketulusan, malah dibalas dengan pengkhianatan. Shella tidak ingin melihat lagi, langsung mematikan ponselnya. Mungkin karena dia lama tidak memberi tanggapan, Kiara yang sudah tidak sabar kembali menelepon. Kali ini, nada bicaranya tidak lagi rendah hati dan hormat, hanya tersisa kesombongan dan ejekan. "Bu Shella, aku tahu kamu sudah melihat foto-foto itu. Selama setahun ini, Pak Irfan dan Arya lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku daripada denganmu. Jangan kira mereka masih mencintaimu. Kalau masih cinta, lalu aku ini siapa? Kalau kamu pintar, sebaiknya beri tempat untukku!" Ya, jika Irfan dan Arya masih mencintainya, lantas apa arti keberadaan Kiara? Shella tidak menjawab, hanya diam-diam merekamnya dan kemudian memutuskan telepon. Ketika Irfan masuk, dia melihat Shella sedang berbaring di tempat tidur dengan ujung matanya agak memerah. Jelas terlihat kalau dia baru saja menangis. Hati Irfan berdebar, dia buru-buru mendekat dan memegang wajah Shella, menatapnya dengan saksama. "Shella, kenapa kamu menangis? Ada apa?" Shella diam saja sambil menatap Irfan cukup lama. Dia tidak menyangka kalau orang yang ada di sampingnya ini ternyata begitu pandai berakting. Dia menarik napas dalam-dalam. "Nggak ada, cuma sedang melihat beberapa foto dan video yang mengharukan." Irfan menghela napas lega, mengusap hidungnya. "Foto dan video apa yang bisa membuatmu menangis?" Shella langsung mengambil ponselnya dan memberikannya pada Irfan. "Mau lihat?" Irfan tersenyum, lalu berkata, "Boleh." Baru saja dia hendak mengambil dan melihatnya, tiba-tiba ponsel di tangannya bergetar. Dia menatap layar sejenak, ragu-ragu, lalu menatap Shella. "Shella, ada urusan di kantor, aku ... " Shella pura-pura tidak melihat nama "Kiara" di layar ponsel Irfan, diam-diam mengambil kembali ponselnya. "Nggak apa-apa, kamu urus saja, aku juga mau tidur." Pada hari Stella keluar dari rumah sakit, langitnya biru tak berawan, angin sejuk menerpa wajahnya, diiringi sinar matahari yang bersinar menembus dedaunan, menciptakan cahaya berkilau. Pemandangan ini tampak seperti lukisan yang indah. Arya memegang tangannya, melompat-lompat menuruni tangga. "Mama, akhirnya Mama keluar dari rumah sakit! Mama nggak tahu, aku nggak bisa sekolah beberapa hari ini, tiap hari mengkhawatirkan Mama." Setelah naik ke mobil, Irfan buru-buru mengambil selimut dan meletakkannya di atas kakinya. "Shella, hari ini berangin, jangan sampai kamu kedinginan." Arya juga mengikuti dengan baik, meletakkan bantal di belakang punggungnya. Mungkin karena merasa suasana hati Shella sedang tidak baik, Irfan dan Arya sangat diam di sepanjang perjalanan. Tiba-tiba, Arya teringat sesuatu. Dia menarik lengan Irfan, dan berbisik, "Papa, kita 'kan harus ke Kuil Furama untuk membayar janji hari ini?" Irfan melihat kalender di ponselnya. "Oh ya, hari ini." "Kalau begitu, kita antar Mama pulang dulu ... " "Aku ikut ke sana dengan kalian untuk membayar janji." Shella yang berpura-pura tertidur tiba-tiba membuka mata dan memotong percakapan mereka. Ayah dan anak itu langsung menjawab serentak. "Nggak boleh!" Arya memeluknya. "Mama baru sembuh. Kita harus mendaki tangga kuil yang tinggi. Aku khawatir dengan Mama, biar Papa dan aku saja yang pergi." Karena dia masih kecil, melihat Shella terluka parah di kecelakaan kemarin benar-benar membuatnya ketakutan. Irfan juga tidak setuju. "Arya benar, kamu baru sembuh, kenapa harus pergi jauh-jauh?" Akan tetapi, Shella tetap bersikeras. "Kalian sudah memohon untukku, jadi seharusnya aku yang menepati janjinya." Akhirnya, Irfan dan Arya tak bisa membantah, dan mereka membawa Shella ke Kuil Furama. Kuil Furama terletak jauh dari keramaian, berdiri di tengah pegunungan. Suasana di sekitar begitu tenang, ada suara musik mengalun, dan suara lonceng berdentang dari jauh. Di dalam kuil, sebuah patung dewa besar yang berlapis emas berdiri megah, memandang para pendoa dengan wajah penuh kasih sayang. Dalam kepulan lembut asap dupa, Shella berlutut dengan penuh khidmat di atas bantalan doa, menyampaikan harapan-harapannya kepada dewa dalam keheningan. "Dengan perlindungan tasbih ini, aku memohon agar di kehidupan ini dan di semua kehidupan mendatang, supaya aku nggak bertemu dengan Irfan dan Arya lagi!" Irfan dan Arya yang berada di sebelahnya juga berlutut di atas bantalan doa yang sama, berdoa semoga mereka bertiga selamat dan bisa selalu bersama. Setelah berdoa, mereka bertiga berjalan ke samping untuk mengambil beberapa jimat. Melihat jimat milik Irfan dan Arya, penjaga kuil menggelengkan kepala, tapi tidak mengatakan apa-apa, hanya mengucapkan, "Semoga dewa melindungi." Lalu, ketika melihat jimat Shella, dia menatap Shella dalam-dalam. "Permohonan Anda akan terkabul."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.