Bab 3
Irfan dan Arya tidak pulang semalaman.
Saat Shella membuka pintu kamar tidur, yang terlihat hanyalah ruang tamu yang kosong.
Ponsel di tangannya tiba-tiba bergetar, dia membukanya, dan muncul pesan dari Irfan.
[Sayang, di kantor ada rapat. Aku pergi dulu sekalian mengantar Arya ke TK. Jangan lupa makan sarapan yang ada di meja, ya.]
Shella tidak membongkar aktingnya yang buruk, hanya mengiakan. Lalu, dia langsung keluar rumah.
Dia tidak punya waktu untuk melanjutkan sandiwara mereka, dia juga masih punya urusan sendiri.
Shella langsung naik taksi ke krematorium untuk memesan jadwal kremasi.
Petugas mencatat informasi di komputer sambil bertanya siapa yang meninggal.
Dengan tenang, Shella menjawab, "Aku sendiri."
Petugas yang mengetik sempat terhenti, lalu memandangnya dengan penuh rasa iba.
"Masih muda sekali, sungguh disayangkan. Apa karena sakit parah?"
Shella mengabaikan tatapan penuh simpati itu dan melanjutkan bicara, "Tolong, pada tanggal 22 Oktober langsung datang ke Vila Teluk Sagara nomor sembilan untuk menjemput jenazahku ke krematorium."
Petugas itu memandangnya dengan terkejut. Bagaimana dia bisa tahu dengan pasti kapan akan meninggal?
"Kalau begitu, bagaimana nanti pengurusan abu jenazahnya? Apakah kami perlu menelepon keluargamu?"
Shella menggeleng. "Nggak perlu. Aku akan tambahkan biayanya, tolong langsung buang abunya setelah dibakar."
Setelah meninggalkan dunia ini, jiwanya akan pergi, dan tubuhnya akan mati di dunia ini.
Namun, dia ingin menghilang sepenuhnya agar Irfan dan Arya bahkan tidak punya tempat untuk mengenangnya.
Setelah membayar, Shella keluar sambil memegang ponselnya.
Tiba-tiba, dia melihat tiga orang duduk tidak jauh darinya.
Suaminya sedang memeluk Kiara dan menghiburnya dengan lembut.
Anak laki-lakinya juga memberikan tisu untuk Kiara, menghapus air matanya dengan perhatian.
Mereka bertiga tampak begitu hangat, seperti sebuah keluarga sejati.
Kalau saja dia tidak mengatakan apa pun.
"Sedang apa kalian?"
Melihat Shella, ayah dan anak itu langsung panik.
Yang satu buru-buru melepaskan pelukannya, yang satu lagi berdiri tegak seperti ayahnya, langsung menjaga jarak dari Kiara.
Shella berjalan mendekat dan menatap Irfan. "Bukannya kamu sedang kerja?"
Lalu dia menunduk menatap anaknya. "Bukannya kamu sedang di sekolah?"
Irfan bergegas mendekatinya, dengan nada agak gugup berkata, "Shella, kamu jangan salah paham."
"Di perjalanan saat mengantar Arya ke TK, aku lihat dia menangis di pinggir jalan. Setelah bertanya sedikit, aku baru tahu kalau kerabatnya baru saja meninggal dan dia nggak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku bawa saja ke krematorium. Tadi itu aku hanya sedang berusaha menenangkan hatinya."
Mendengar itu, Arya ikut menghampiri, menarik ujung bajunya, dan menjelaskan dengan nada memelas, "Benar, Ma, Papa cuma kasihan sama Tante Kiara makanya dia mengantar ke sini. Jangan marah, ya?"
Melihat ini, Kiara juga berhenti menangis. Dia melirik Shella dengan takut-takut, lalu meminta maaf dengan suara kecil.
"Bu Shella, ini salahku. Aku sudah mengganggu pekerjaan Pak Irfan dan sekolahnya Arya."
"Kerabat dekatku meninggal, jadi aku sangat sedih. Mereka tadi hanya menghiburku, jangan marah, ya."
Tidak ada masalah dengan kalimat itu, tapi tepat setelah dia selesai bicara, seorang petugas datang membawa kotak abu kecil untuk Kiara.
"Nona Kiara, abu anjing peliharaanmu sudah siap."
Shella melirik kotak itu dan berkata, "Ini yang kalian sebut kerabat dekat?"
Kiara memegang kotak abu itu dengan lebih erat, wajah sedihnya seketika menjadi kaku.
Saat dia hendak mengatakan sesuatu, Irfan lebih dulu bicara.
"Shella, anjing ini sudah menemani Kiara lebih dari sepuluh tahun. Sudah seperti keluarga sendiri."
Shella menatapnya dalam-dalam tanpa berkata apa-apa lagi.
Setelah menguburkan abu itu di makam, keempatnya masuk mobil menuju restoran untuk makan.
Di tengah perjalanan, Irfan tampak seperti baru teringat sesuatu dan menatap istrinya.
"Shella, kenapa kamu tiba-tiba ke krematorium hari ini?"
Dalam hati, Shella tersenyum sinis.
Sudah selama ini, baru sekarang kamu bertanya?
Dia melirik Kiara yang duduk di depan, lalu berkata dengan tenang.
"Anjing temanku juga mati, dia menangis terus, jadi aku yang datang menggantikan dia."