Bab 2
"Mama!" Arya, melompat ke pelukannya dan menyerahkan bunga yang dipegangnya. "Tadi Mama ngobrol apa sama pak kurir?"
Shella melirik ke arah kurir yang sudah menghilang di pintu, kemudian dengan suara lembut dia menjawab, "Nggak ada apa-apa."
Irfan juga mendekat, mendaratkan ciuman lembut di pipinya, lalu menyerahkan bunga yang dipegangnya dengan sedikit penyesalan dalam suaranya.
"Maaf, Shella, tadi ada sedikit urusan, jadi aku terlambat pulang. Jangan marah ya?"
Apa urusannya? Bukankah itu hanya soal pergi bersama anak ke vila di tepi laut menemani Kiara?
Memang, pasangan ayah dan anak ini memiliki dua rumah, tentu saja mereka sibuk.
Shella tersenyum sinis. Dia menatap bunga di tangannya untuk beberapa saat, lalu berkata dengan tenang, "Pekerjaan itu penting, aku nggak marah. Masuk saja dulu."
Begitu mereka masuk, keduanya terdiam melihat pemandangan di depan mereka.
Seluruh vila ini tampak kosong, dan barang-barang yang hilang tampaknya adalah semua pemberian Irfan dan Arya.
Wajah tampan Irfan tiba-tiba terlihat panik. "Shella, di mana semua barang yang kami berikan untukmu?"
Arya yang berada di samping juga terkejut, lalu menarik ujung bajunya. "Ya, apa Mama buang semuanya?"
Shella melepas pegangan anaknya, duduk di sofa dan berkata pelan, "Nggak, tadi aku minta kurir untuk mengirimnya, dikasih ke orang yang membutuhkannya."
Sejak memiliki anak, hati Shella makin lembut. Setiap tahun, dia selalu menyisihkan barang-barang dari rumah untuk disumbangkan ke panti asuhan.
Mendengar itu, Irfan tidak berpikir lebih jauh dan mengira dia hanya menyumbangkannya ke panti asuhan.
Irfan menghela napas lega, lalu duduk di samping anaknya, memandang Shella penuh cinta. "Baguslah kalau begitu, jadi aku bisa membelikanmu yang baru."
Arya juga tersenyum dan melompat ke pelukannya, berkata dengan suara kecil, "Mama memang hebat. Mama adalah ibu yang paling baik hati sedunia!"
Baik hati?
Mungkin saja. Lagi pula, dia sudah cukup baik untuk memberikan suami dan anaknya kepada orang lain.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul enam, Irfan keluar dari dapur dengan hidangan terakhir yang sudah disiapkan dan meletakkannya di meja makan.
Meskipun di rumah ada banyak pembantu, Irfan selalu mengurus sendiri segala hal untuk Shella, termasuk memasak.
Arya menarik tangan Shella ke meja makan, menarikkan kursi untuknya, lalu menyendokkan nasi dan makanan ke piringnya.
Irfan juga duduk di sisi lain, ikut mengambilkan makanan untuknya. "Shella, makan yang ini lebih banyak, ini baik untuk perutmu."
Arya mengangguk. "Ya, Mama, makan ini supaya badanmu sehat. Aku cerita ya, di sekolah ada teman yang suka pilih-pilih makanan ... "
Anak itu pun mulai bercerita tentang kejadian lucu di sekolah.
Namun, Shella merasa makanan di piringnya hambar. Dia menatap Irfan yang duduk di depannya, mendengarkan cerita anaknya dengan penuh minat, sesekali ikut menimpali.
Tiba-tiba dia merasa semua ini sangat ironis.
Adegan-adegan ini, cerita-cerita ini, pasti sudah dipertunjukan di depan Kiara sebelum mereka pulang, 'kan?
Apakah perlu mengulanginya lagi di hadapannya?
Di malam hari, kamar tidur hanya diterangi oleh lampu kecil.
Ketiga orang itu berbaring rapat di tempat tidur. Irfan memeluk Shella, Arya juga meniru ayahnya, memeluk lengan Shella.
Keduanya sama-sama berkeras ingin tidur bersama Shella.
"Papa, kamu sudah tua, kenapa masih tidur sama Mama?" kata Arya dengan nada bercanda.
"Apa maksudmu sudah tua? Shella itu istriku, kenapa aku nggak boleh tidur sama dia? Justru kamu, sudah empat tahun, kenapa masih ingin tidur sama Mama?"
Keduanya terdiam saling kebingungan, dan ingin meminta pendapat Shella, tapi ternyata Shella sudah tertidur tanpa mereka sadari.
Tepat pada saat itu, ponsel Irfan yang diletakkan di samping tiba-tiba bergetar dan memunculkan panggilan video.
Setelah melihat nama Kiara, wajahnya berubah tegang. Dia menoleh ke Shella yang tampak tidak bereaksi, baru kemudian mengambil ponsel dan keluar dari kamar, diikuti oleh Arya yang turun dari tempat tidur dan mengikuti ayahnya keluar.
Di luar, Irfan menurunkan volume ponselnya serendah mungkin sebelum menjawab panggilan itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara Kiara dari sana.
"Irfan, Arya, bagaimana ini? Baru saja kalian pergi sebentar, aku sudah kangen kalian. Aku sendirian di vila besar ini, sangat kesepian. Kalian datang lagi ke sini, ya?"
Irfan menoleh ke pintu kamar yang masih tertutup, lalu dengan sabar menenangkan wanita di ujung telepon.
"Jangan ribut, ini sudah larut. Kami akan datang besok untuk menemanimu."
Tampaknya Kiara tidak mau menerima, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tahu Bu Shella akan selalu menjadi yang terpenting bagi kalian. Aku nggak pernah berharap lebih, cuma ingin kalian sesekali menemaniku dan memberikan sedikit dari cinta kalian. Apa itu nggak boleh?"
Mendengar suara Kiara yang terbata-bata, Arya segera menarik lengan baju ayahnya.
"Papa, ayo pergi, aku ingin bertemu dengan Tante Kiara. Ayo, Papa!"
"Ayo, Papa ... "
Mendengar rayuan tanpa henti dari keduanya, hati Irfan mulai goyah.
Setelah beberapa saat, dia menunduk dan memberi isyarat dengan tangannya agar mereka diam.
"Kalau begitu, kita pergi diam-diam, jangan sampai membangunkan Mama."
Di sisi kamar yang lain, Shella terjaga. Air matanya mengalir di pipi sampai ke bantal, tapi dia tidak menghapusnya ataupun bergerak. Dia hanya mendengar suara langkah kaki mereka yang makin menjauh.