Bab 7
Urusan rumah akhirnya sudah beres, Wenny pun bisa merasa lega.
Beban yang dirasakannya langsung terasa jauh lebih ringan.
Saat menandatangani kontrak, Wenny menyadari bahwa hari pengurusan dokumen properti itu ternyata tepat pada hari dia akan pergi.
Kebetulan sekali. Jadi dia tidak perlu menjelaskan lagi ke Yoga dan Sandro.
Saat menulis namanya di atas kertas, dia merasa sangat lega.
Segalanya akan segera berakhir.
Sekarang, hanya ada satu hal terakhir yang tersisa.
Dia pergi ke pusat perbelanjaan. Di sana, dia memilih dan membeli sebuah alat pijat serta sebuah perhiasan gelang dengan cermat, lalu pergi ke rumah tantenya.
Begitu dia masuk, Tante Reyna langsung memeluk Wenny dengan erat.
"Wenny, aku benar-benar nggak rela kamu pergi. Kamu sudah bertahun-tahun tinggal di Kota Hanis, aku sudah menganggapmu seperti anak kandungku sendiri. Aku nggak terbayang hidup tanpa kamu."
Tante Reyna menghapus air matanya, menggenggam tangan Wenny dengan erat dan tidak mau melepaskannya.
Wenny juga tidak bisa menahan kepedihan di hatinya. Dia memaksakan senyumnya dan menghibur tantenya, "Tante, aku juga nggak mau berpisah, tapi kita masih keluarga. Pesawat dan kereta cepat sekarang sangat praktis, nanti kita masih bisa ketemu pas acara tahun baru."
Mengerti bahwa itu memang yang terbaik, Tante Reyna berusaha menenangkan diri dan meminta Wenny duduk di sofa.
"Duduk dulu. Aku tahu kamu mau pergi, jadi aku sengaja ambil cuti beberapa hari. Kamu harus menginap beberapa hari di rumah Tante, nanti Tante masakin makanan yang kamu suka!"
Tanpa memberi kesempatan pada Wenny untuk menolak, dia langsung ke dapur, memasak beberapa hidangan favorit Wenny dan menyajikannya sambil tersenyum.
Melihat tantenya yang sibuk, Wenny tak bisa menahan senyumnya.
Dia memang tidak mampu menolak permintaan tantenya, dan akhirnya dia setuju untuk tinggal beberapa hari, anggap saja menemani Tante.
Hingga mendekati waktu kepergiannya, akhirnya Wenny tidak bisa menunda lagi. Dengan enggan, Wenny mengucapkan perpisahan kepada Tante Reyna.
"Tante, aku harus pergi. Tiga hari lagi aku akan pulang ke Kota Jintara untuk menikah."
Sambil menahan air mata, Tante Reyna mengangguk, lalu memasukkan amplop berisi uang ke tangan Wenny. "Tante ada tiga operasi penting di hari itu, urusan nyawa yang nggak bisa ditinggalkan. Ini hadiah dari Tante untuk kamu. Wenny, kamu harus bahagia, ya."
Mata Wenny mulai berkaca-kaca. Dengan rasa hormat dia menerima uang tersebut, lalu menanggapi, "Ya, Tante, pria yang dipilihkan Kakek pasti baik, Tante nggak perlu khawatir."
Pada saat itu, pintu lift terbuka. Yoga dan Sandro keluar bersamaan, di tengah-tengah mereka ada Hana.
Begitu melihat Wenny bersama Tante Reyna dengan mata berkaca-kaca, hati Yoga dan Sandro langsung terasa berat, dan mereka spontan bertanya, "Wenny, Tante, kenapa kalian menangis?”
Melihat mereka, Wenny baru menghapus air mata dan menjawab dengan tenang, "Nggak ada, sudah lama nggak ketemu Tante, tapi sekarang aku mau pergi, jadi nggak rela."
Mendengar itu, Yoga dan Sandro pun merasa lega.
Hati mereka yang tadinya cemas langsung tenang kembali.
"Lagi pula kita semuanya ada di Kota Hanis, jaraknya dekat, mau ketemu kapan saja bisa."
Melihat mereka masih belum paham, Tante Reyna merasa khawatir mereka akan heboh jika mereka tahu nanti.
Dengan ragu-ragu, Tante Reyna ingin mengatakan sesuatu, tetapi Wenny langsung mengalihkan topik dan menatap Hana.
"Kalian ini … "
Yoga dan Sandro baru tersadar. Wajah mereka tampak cemas dan langsung memberi penjelasan.
"Hari ini sedang ada Hari Raya. Hana merasa sangat kesepian, jadi kami ajak saja dia pulang untuk merayakannya bersama kami."
"Ya, jangan salah paham. Kami juga sudah meneleponmu, tapi kamu nggak pernah mengangkat."
Mereka begitu gugup, hanya karena saat Hari Raya sebelumnya, keduanya berebut untuk membawa Wenny pulang.
Karena perayaan seperti ini identik dengan pertemuan keluarga, dan membawa seorang gadis ke rumah itu berarti mereka sudah menganggapnya sebagai calon istri.
Wenny merasa tidak berdaya, setiap kali dia harus pergi ke rumah keluarga Lukito terlebih dahulu, kemudian ke rumah keluarga Ciputra.
Namun, tahun ini mereka justru membawa Hana pulang.
Artinya sudah jelas.
Wenny tidak perlu mengungkapkan semuanya, dia hanya berkata, "Oh, gitu ya, baguslah. Selamat menikmati. Aku mau pulang dulu merapikan koper."
Setelah mengatakan itu, dia pun bersiap pergi dan naik ke mobil.
Namun, Yoga dan Sandro memanggilnya.
"Wenny!"
"Wenny!"