Bab 6
Wenny akhirnya berhasil pulih dengan susah payah. Dia bersandar di dinding, memegang obat di tangannya dengan erat sambil menutupi wajahnya untuk menghalangi serbuk bunga masuk lagi.
Belum sempat beristirahat sejenak, terdengar suara Yoga yang bertanya padanya.
"Apa kamu benar-benar membenci Hana? Dia baru saja memberikan bunga-bunga ini kepada kita, tapi kamu langsung menghancurkannya!"
Tak lama kemudian, suara Sandro yang penuh dengan kemarahan juga menyusul.
"Wenny, aku merasa kamu makin susah dipahami belakangan ini, bagaimana kamu bisa berubah seperti ini!"
Mendengar kata-kata itu, Wenny menarik napas dalam-dalam.
Seluruh tubuhnya bergetar, marah dan kesal. Ada banyak kemarahan yang ingin diungkapkan, tetapi pada akhirnya, hanya menjadi suara yang terisak dengan mata berair.
"Aku yang berubah? Atau sebenarnya kalian yang berubah?"
"Aku menderita asma dan alergi terhadap serbuk bunga, apa kalian nggak tahu?"
Suaranya lemah, tidak ada semangat sedikit pun.
Setiap kata dan kalimatnya seperti petir, meledak dengan keras di telinga Yoga dan Sandro.
Dulu mereka yang paling peduli terhadap Wenny.
Setiap kali Wenny mengalami serangan asma, yang paling cemas adalah kedua orang ini. Meskipun harus memanjat tembok untuk bolos kelas, mereka tetap pulang. Mereka menunggu di depan tempat tidur Wenny dengan mata merah, menyuguhkan teh dan air, tidak ada yang bisa mengusir kedua orang ini.
Namun, sekarang mereka bahkan melupakan hal yang begitu penting ini.
Entah apakah mereka sadar akan kesalahan mereka, ekspresi wajah Yoga berubah setelah beberapa saat, menunjukkan sedikit penyesalan.
"Maaf."
Sandro mengernyitkan alisnya, mengingat kembali bagaimana mereka selalu menemani Wenny saat dia sakit. Mereka tahu betul betapa sakitnya dia. Akhirnya Sandro tidak tahan dan melangkah maju. "Kamu, tadi baik-baik saja, 'kan? Maafkan aku, bunga ini adalah hasil kerja keras Hana yang memetiknya sendiri di alam liar, jadi aku terlalu terburu-buru tadi."
Wenny diam saja dan tidak menjawab.
Melihat dia telah menggunakan obat dan wajahnya perlahan-lahan kembali normal, Yoga dan Sandro segera membawa bunga itu keluar.
Beberapa hari setelah itu, Yoga dan Sandro tidak pulang ke rumah.
Lampu di kamar mereka tidak pernah menyala.
Wenny juga tidak peduli dengan mereka, dia sibuk mengemas barang-barangnya.
Setelah hampir selesai mengemas barang, barulah dia mulai mengamati rumah ini.
Awalnya dia yang membeli rumah ini, kemudian Yoga dan Sandro membeli rumah di sebelah kiri dan kanannya agar bisa lebih dekat dengannya. Setelah digabungkan, barulah terbentuk rumah yang ada sekarang.
Jadi, sekarang hanya sepertiga bangunan ini yang menjadi miliknya.
Jika dia ingin menjualnya, agak sedikit rumit.
Hari itu, Yoga dan Sandro akhirnya pulang, dan kebetulan bertemu agen properti yang datang untuk membicarakan penjualan rumah dengan Wenny.
Melihat pria asing masuk ke dalam rumah, wajah Yoga langsung berubah dingin. "Siapa kamu? Mau apa di sini?"
Menghadapi dua pasang mata yang sangat mengintimidasi, agen properti itu sangat gugup, tetapi segera menjelaskan.
"Selamat siang, Pak. Saya agen properti, katanya pemilik rumah ini mau menjual rumah ini."
Menjual rumah?
Yoga dan Sandro saling berpandangan, keduanya jelas terkejut.
Wajah keduanya langsung berubah, siap untuk menyuruh agen ini pergi, tetapi sesaat kemudian, Wenny turun dari tangga.
"Aku yang mau menjual rumah ini, aku sudah berencana untuk membicarakannya dengan kalian."
Mendengar itu, hati Yoga dan Sandro langsung tegang. Serentak mereka bertanya, "Kenapa mau dijual? Bukankah kita baik-baik saja tinggal di sini?"
Sandro teringat kejadian beberapa hari lalu dan mulai mengerti alasannya, langsung bertanya dengan tegas, "Apa kamu masih marah karena kejadian beberapa hari lalu?"
Dia jelas panik, bahkan sampai meminta maaf, hal yang jarang dilakukannya. "Kami nggak sengaja lupa kalau kamu alergi serbuk bunga, apa kamu benar-benar harus sampai sejauh ini?"
Wenny menggelengkan kepala dengan santai. "Itu nggak ada hubungannya dengan kejadian sebelumnya … "
"Tapi, ada hubungannya dengan kalian."
"Aku nggak mau lagi ada hubungan dengan kalian. "
Walau dalam hati berpikir begitu, dia tidak mengatakannya. Dia hanya berkata, "Kalian juga tahu kalau aku sudah berhenti kerja, dan nantinya harus mencari pekerjaan baru. Jadi memang nggak cocok lagi tinggal di sini. Apalagi sudah bertahun-tahun kita tinggal bersama, nggak perlu terus-terusan bersama."
Yoga mengerutkan wajah, masih belum mau menyerah.
"Kalau soal pekerjaan, kami 'kan bisa mengantar jemput kamu, kamu nggak perlu khawatir. Apalagi, kamu juga bilang kita sudah tinggal bersama bertahun-tahun, kita sama-sama sudah terbiasa, kenapa harus berpisah?"
"Ya, aku dan Yoga ada kok, kalaupun nggak bisa, kami bisa siapkan sopir untuk antar jemput kamu. Aku nggak setuju kita berpisah." Sandro juga keberatan.
Melihat bahwa mereka masih tidak bisa diyakinkan, Wenny memijat dahinya, tidak mengerti kenapa mereka begitu keras kepala.
Akhirnya, dia mengeluarkan senjatanya. "Kalau begitu, jual saja rumah ini, beli yang lebih besar, nanti bisa ajak Hana tinggal bersama."
Mendengar nama Hana, mata keduanya langsung berbinar, tetapi ada keraguan sejenak.
Akhirnya Sandro tak bisa menolak dan berkata, "Kalau memang begitu, nggak masalah."
Sementara Yoga tampak lebih berpikir dalam-dalam, tatapannya penuh tanda tanya. "Kamu benar-benar mau … ajak Hana tinggal di sini?"
Entah kenapa, dia merasa ada yang tidak beres dengan semuanya.
Namun, belum sempat dia berpikir lebih lanjut, Wenny tertawa pelan. "Tentu, kenapa nggak mau? Kita semua 'kan teman."
Dengan tegas dia segera mengambil keputusan.
"Oke, jadi begini saja, jual rumah ini, lalu beli yang baru."
Setelah itu, Yoga dan Sandro terdiam, tidak lagi membantah.