Bab 5
Entah sejak kapan, telepon di tangan Wenny sudah terputus.
Dia menenangkan emosinya sejenak, lalu berkata, "Sahabatku akan menikah, kenapa? Apa kalian mau ikut?"
Saat ini, Yoga dan Sandro makin dingin terhadapnya. Setelah dia kembali ke Kota Jintara, mereka tidak akan bertemu lagi, bahkan mungkin tidak bisa dianggap sebagai teman lagi.
Jadi, tidak perlu mengatakan yang sebenarnya kepada mereka, bahwa dia akan pulang ke Kota Jintara untuk menikah.
Mendengar kata-kata itu, Yoga dan Sandro langsung saling berpandangan dan merasa agak aneh.
Namun, mereka tidak terlalu memikirkannya, dan hanya berkata dengan santai, "Nggak, kamu saja yang pergi, aku sibuk di kantor."
Setelah itu, seolah-olah masih marah karena Wenny membuat Hana terluka, dengan wajah dingin Yoga mengambil dokumen dan masuk ke ruang kerjanya.
Sandro juga memasang wajah masam dan berkata, "Hari ini Hana sampai terluka karena kamu, sebaiknya kamu minta maaf padanya. Kalau nggak, aku nggak tertarik menemani kamu ke acara pernikahan apa pun."
Selesai berbicara, dia pun melangkah cepat ke kamarnya sendiri.
Wenny hanya tersenyum pahit tanpa berkata apa-apa.
Keesokan paginya, Wenny bangun untuk menyiapkan sarapan.
Begitu keluar, dia melihat ruang tamu penuh dengan lebih dari sepuluh vas yang diisi bunga segar, mengeluarkan aroma harum yang lembut.
Serbuk bunga tertiup angin, menyebar memenuhi ruangan.
Wajah Wenny langsung pucat, napasnya makin memburu.
Dia menderita asma dan alergi terhadap serbuk bunga!
Dia berusaha keras untuk bernapas. Napasnya terdengar berat, dadanya naik turun, dan pandangannya mulai gelap.
Namun, udara yang masuk ke paru-parunya makin berkurang, dan membuatnya sangat sulit bernapas.
"Obat … "
Dengan ingatan yang samar, Wenny melangkah terhuyung-huyung ke arah kotak obat, mencoba mengambil obat asmanya.
Namun, tangannya meraba-raba tanpa tenaga, dan tanpa sengaja, dia menjatuhkan beberapa vas bunga di atas lemari.
Prang …
Vas itu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Bunga dan air di dalamnya berserakan di lantai, membuat ruangan makin kacau.
Yoga dan Sandro segera datang begitu mendengar suara pecahan vas yang nyaring.
Melihat lantai yang berantakan, mereka tidak sempat memikirkan keadaan Wenny, malah langsung marah besar.
"Kamu sedang apa, sih?"
Saat itu, Wenny baru saja berhasil mengambil obatnya. Dia hampir tidak bisa menjawab pertanyaan mereka.
Namun, Sandro dengan wajah cemas buru-buru melangkah, mendorongnya ke samping, lalu berjongkok untuk memungut bunga di lantai.
"Ah … "
Tubuh Wenny yang lemah didorong cukup keras, membuat lututnya terbentur sudut lemari. Kulitnya langsung terkelupas, memar dan bengkak.
Dengan tangan gemetar, dia memegang botol obatnya, napasnya makin berat.
Akhirnya, dia berhasil membuka tutup botol dan menemukan kepala semprotnya.
Seperti menemukan penyelamat, dia menyemprotkan obat ke dirinya sendiri sambil berjalan ke sudut ruangan dengan terpincang-pincang.
Setelah obat masuk ke saluran pernapasannya, tenggorokannya yang kering dan sakit mulai terasa sedikit lega.
Dia nyaris kehilangan nyawanya, tetapi saat itu, Yoga dan Sandro masih sibuk membersihkan bunga dan pecahan vas di lantai.