Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Hana memeluk piala itu, tetapi tidak ada kebahagiaan di wajahnya atas kemenangan Wenny. Dia juga tidak menyerahkan piala tersebut. Dia malah menggigit bibirnya dan berkata dengan wajah sedih, "Kak Wenny, Direktur menyuruhku mengantarkan piala ini untukmu. Penghargaan ini sangat bergengsi, kamu hebat sekali." "Aku mau meminta sesuatu, meski terdengar agak memalukan. Aku belum pernah menerima penghargaan ini, bisakah piala ini aku pinjam beberapa hari?" Meminjam piala ini beberapa hari? Ini pertama kalinya Wenny mendengar permintaan yang begitu konyol. Dia mengernyitkan dahi, lalu tersenyum dingin seraya berkata, "Kalau sudah tahu agak memalukan, sebaiknya jangan ajukan permintaan seperti itu. Kalau kamu benar-benar mau, ikut saja kompetisi itu dan menangkan sendiri." Setelah itu, dia mengulurkan tangannya untuk mengambil pialanya dari pelukan Hana. Tidak menyangka sikap Wenny begitu dingin, wajah Hana langsung pucat, tampak seperti sangat tertekan. "Kak Wenny, kenapa kamu bicara seperti itu? Aku bukan mau mengambil milikmu, hanya menyimpannya di rumah sebagai motivasi untuk diriku sendiri, apa itu nggak boleh?" Melihat Wenny berusaha mengambilnya, Hana memeluk piala itu dengan makin erat, tidak mau melepaskannya. Di tengah perebutan itu, piala kristal tersebut jatuh ke tanah dengan suara keras dan seketika hancur berkeping-keping. Yoga dan Sandro yang saat itu kebetulan lewat dan melihat kejadian tersebut, segera berlari mendekat dan langsung melindungi Hana dalam pelukan mereka. "Hana!" Keduanya mengelilingi Hana dengan wajah penuh kecemasan, dengan hati-hati memeriksa apakah dia terluka. Yoga mengangkat rok Hana sedikit dan melihat kakinya berdarah akibat pecahan kaca. Dia meringis, menunjukkan rasa sakit dan kekhawatiran yang mendalam. "Aku akan membawamu ke rumah sakit!" Tanpa menghiraukan keberatan Hana, Yoga langsung menggendongnya dan pergi. Sementara itu, melihat pecahan kaca yang berserakan di lantai, ekspresi Sandro berubah muram. Lalu, dia bertanya dengan nada menuduh, "Wenny, kamu sudah punya segalanya. Kenapa kamu masih harus berebut barang dengan Hana?" Berebut? Mendengar kata itu, Wenny hampir tertawa karena marah. "Piala ini milikku. Aku berjuang selama tiga bulan untuk meraihnya. Ini adalah penghargaanku. Dia memeluknya seperti orang paling malang dan nggak mau melepaskannya. Tapi, sekarang kamu bilang aku yang merebutnya dari dia?" Dengan tubuh yang sedikit bergetar karena marah, dia menunjuk pecahan kaca di lantai dan berbicara dengan suara sedingin es. "Sekarang dia bahkan sudah menghancurkan pialanya. Aku ingin Hana minta maaf padaku." Wenny berpikir beberapa kata itu sudah cukup untuk menjelaskan siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun, tidak disangka Sandro justru tambah marah dan suaranya makin tinggi. "Aku pikir ada masalah besar, ternyata hanya sebuah piala. Mau berapa banyak pun bisa kamu dapatkan! Bagaimana mungkin itu lebih penting daripada Hana? Dia terluka karena kamu. Bukan dia yang harus minta maaf, tapi kamu yang harus minta maaf padanya!" Setelah mengatakan itu, tanpa memedulikan reaksi Wenny, Sandro segera pergi untuk merawat Hana. Melihat pecahan kaca yang berserakan di lantai, Wenny tertegun sejenak. Kata-kata Sandro terus terngiang di kepalanya. "Dia benar-benar menyuruhku meminta maaf kepada Hana?" "Meminta korban untuk minta maaf kepada pelakunya?" "Sandro, kamu benar-benar hebat!" batinku. Hatinya terasa sangat sakit, dan akhirnya dia menyadari bahwa kakinya sendiri juga terluka cukup parah. Dia baru menyadari ada luka yang panjang dan dalam di kakinya, bahkan lebih parah dibandingkan Hana. Wenny menggigit bibirnya sambil menahan rasa sakit, membersihkan pecahan di lantai, sebelum berbalik untuk mengobati lukanya sendiri. Malam harinya, Wenny menerima pesan dari ibunya. Bu Maya mengirimkan lebih dari sepuluh model gaun pengantin dan memintanya memilih mana yang dia suka. Wenny melihat semua model itu satu per satu sebelum menelepon ibunya. Setelah berbicara sebentar, ibunya segera menyadari nada lelah di suara Wenny dan bertanya dengan cemas apakah ada sesuatu yang terjadi. Mengingat semua hal yang dialaminya hari itu, mata Wenny terasa panas, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa, malah mengalihkan pembicaraan. "Ibu, urusanku di sini mungkin akan selesai dalam seminggu. Bagaimana persiapan pernikahannya?" Saat itu, Yoga dan Sandro baru saja pulang ke rumah. Mendengar kalimat terakhir dari Wenny, mereka berseru bersamaan. "Pernikahan? Pernikahan apa?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.