Bab 6
Suara tawa rekan kerjanya makin keras, pandangan mereka pun tertuju pada Hania seraya menunggu lelucon berikutnya.
Hania tertegun sejenak, kemudian segera menyalakan komputer kerjanya dengan tenang.
Setelah berhasil masuk ke layar utama, dia berpaling dan berkata, "Yelena, kamu boleh menghinaku, tapi nggak usah libatkan rekan kerja lain. Bisa, 'kan?"
Semua orang kebingungan.
"Ibarat pepatah, barang sejenis berkumpul bersama, manusia juga dikelompokkan menurut jenisnya. Kalau kamu menghinaku seperti itu, sama dengan menghina rekan kerja lainnya, dong?"
Tawa para rekan kerja yang menonton pun hilang seketika.
Yelena buru-buru mencari pembenaran untuk diri sendiri. "Hania! Ucapanku jangan diambil hati, dong. Aku nggak bermaksud begitu, kok!"
Hania menghela napasnya kesal.
"Terserah sajalah!" pungkas Hania.
Tindakannya berhasil menimbulkan kecurigaan di tengah seluruh rekan kerja Hania.
Meja kerja keduanya berdekatan, sehingga Hania pun paling tahu apa yang biasa Yelena ucapkan. Ketika Yelena bicara hal buruk di belakang mereka, justru Hania yang akan membela mereka.
Ekspresi para rekan kerja kala menilai Yelena pun sontak berubah.
Yelena mencoba untuk menyerang balik, tetapi berakhir gagal dan makin kesal. Saat dia hendak berdebat dengan Hania, tiba-tiba terdengar teguran dari pintu.
"Ini waktunya kerja! Kalian nggak ada kerjaan, ya? Kenapa malah sibuk kumpul dan mengobrol. Apa pekerjaannya sudah selesai?"
Wanita ini bernama Rosiana Tanzil, dikenal pula sebagai Nyonya Besar oleh rekan-rekan kerja yang lain. Rosiana selalu datang dengan ekspresi masam di wajahnya.
Begitu dia bicara, semua orang patuh dan kembali ke meja kerja mereka, menyisakan Yelena yang masih berdiri dengan wajah kesal.
"Supervisor, Hania yang mulai mengajak kami mengobrol begitu dia datang, bukan kami yang nggak bekerja dengan baik!"
Melihat Yelena berbalik menuduhnya, Hania berdiri dan berkata, "Ibu, Laporan Riset Pasar yang Anda tugaskan pada kami minggu lalu baru saya selesaikan, sudah dikirimkan ke surel Anda."
Lima menit waktu kerja telah berlalu, sementara rekan-rekan yang lainnya masih sibuk menyalakan komputer dan merapikan meja mereka, bersiap untuk bekerja.
Hania sudah lebih dulu menyelesaikan tugasnya dengan rapi.
Sementara itu, meja kerja Yelena terlihat berantakan, bahkan dia belum sempat menyalakan komputer.
Pegawai yang mengobrol dan bekerja pun langsung terlihat jelas.
"Yelena, datang ke kantor saya sekarang!"
Yelena dipanggil, sementara rekan lainnya bisik-bisik bergosip apakah dia akan dimarahi atau tidak. Namun, Hania tak peduli akan hal itu, bahkan mendapati suasananya lebih tenang untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tak lama kemudian, Yelena kembali ke meja kerjanya.
Mendapati Hania sibuk bekerja, Yelena meliriknya penuh amarah, tetapi tidak lagi mencoba berdebat soal kejadian tadi.
Tiba saatnya makan siang, hampir semua rekan kerja sudah pergi. Hania juga merapikan barang-barangnya dan bersiap turun untuk makan.
Seorang rekan kerja dari lantai lain datang memberi tahu, "Hania, suamimu datang mencari. Dia di lantai bawah, cepat turun!"
"Suamiku?"
Hania agak terkejut, berbisik kepada dirinya sendiri, "Pak Jamal? Kenapa dia kemari, ya?"
Berpikir bahwa dia memberikan kartu debitnya semalam, mungkin dia tidak punya uang untuk makan siang. Tanpa pikir panjang, dia segera merapikan barang-barangnya dan berlari menuju lift.
Di meja sebelah, Yelena tampak seperti mendengar berita besar. Dia sampai lupa mengambil tas dan segera ikut serta memasuki lift.
Setibanya di depan pintu kantor.
Hania mengamati sekelilingnya, tetapi tidak melihat sosok Jamal.
Ketika dia hendak menelepon untuk bertanya, sebuah tangan yang gemuk dan berwarna gelap terasa menyentuh lengannya.
"Hania sayang, sudah beberapa hari nggak bertemu. Aku sangat merindukanmu."
Hania dikejutkan oleh suara yang memuakkan ini, membuat dia refleks mundur beberapa langkah.
Setelah melihat wajah orang ini dengan jelas, dia terkejut.
"Bos Yuri, kenapa kamu di sini? Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku bekerja di sini?"
"Tentu saja dari Ibu Mertua."
Mata keranjangnya sibuk mengamati dada dan kaki mulus Hania, menampilkan barisan gigi kuningnya yang tersenyum.
"Sayang, kamu belum makan siang, 'kan? Kamu ingin makan apa, biar suamimu yang mengajak."
Sambil berbicara, tangan pria itu meraih pinggang Hania.
Hania segera menepis tangan sang pria dan menjauh darinya.
"Siapa istrimu, hah? Bos Yuri, aku sudah kasih tahu, ya. Aku nggak akan menikah denganmu dan aku sudah menikah. Tolong jangan ganggu aku lagi!"
"Kamu sudah menikah?"
Senyum Bos Yuri langsung sirna.
"Ibumu sudah terima uang mahar dariku. Kalau kamu nggak mau menikah denganku, kembalikan 1 miliar rupiah milikku!"
Siapa sangka, sang ibu tidak memberi tahu Bos Yuri mengenai pernikahan Hania, bahkan tidak mengembalikan mahar yang diberikan.
"Bukan aku yang terima mahar, cari saja siapa yang menerimanya. Ingat, aku sudah menikah. Kalau kamu terus menggangguku, suamiku nggak akan memaafkanmu!"
Takut Yuri terus mengganggunya, Hania pergi tanpa menoleh ke belakang. Tanpa dia sadari, Yelena bersembunyi di balik pilar seraya menonton semua kejadian itu.
Lokasi Yelena cukup jauh. Jadi, dia tidak menangkap percakapan Hania dengan Bos Yuri. Gestur tubuh mereka langsung membuat Yelena menduga, pria gemuk dan memuakkan itulah suami Hania.
Setelah makan, Hania kembali ke mejanya dan hal pertama yang dilakukannya adalah menelepon sang ibu untuk mengetahui alasan mahar yang belum dikembalikan.
Beberapa kali menelepon, semua panggilan Hania pun ditolak.
Melihat Hania yang kesulitan, sejumlah rekan kerja mendekatinya.
"Hania, dengar-dengar kamu sudah menikah?"
"Kapan pernikahannya? Kami belum pernah dengar kamu punya pacar. Betul nggak, sih?"
"Apa pekerjaan suamimu? Apakah dia punya mobil dan rumah? Berapa banyak mahar yang dia berikan padamu?"
Hania agak kebingungan. Dia juga tak pernah memberi tahu siapa pun tentang pernikahannya. Bagaimana bisa semua orang tahu begitu cepat selepas dia pergi untuk makan?
Hania pun langsung melirik Yelena.
Ketika seseorang menyampaikan pesan kepadanya saat waktu makan siang sudah tiba, tampaknya Yelena saja yang ada di sana.
Yelena juga melihat balik ke arahnya dan segera mengakui, "Tadi siang, aku dengar suamimu datang mencarimu. Jadi, aku juga baru tahu kalau kamu sudah menikah. Karena kupikir ini kabar baik, aku memberi tahu rekan-rekan kita. Hania, kamu nggak keberatan kalau aku umumkan kabar bahagia ini lebih awal, 'kan?"
Yelena tampak tersenyum puas.
Sepertinya, dia benar-benar terlihat bahagia.
Namun, Hania merasa ada yang aneh.
Yelena selalu tidak suka kepadanya, bahkan tidak pernah absen menghalanginya dengan berbagai cara. Bagaimana cara Yelena mengetahui kabar pernikahannya dan menyebarkan berita ini?
"Baiklah, ini bukan rahasia. Memang benar, aku sudah menikah kemarin."
Rekan-rekan kerja Hania pun segera mengucapkan selamat.
Yelena menangkap kesempatan ini untuk berseru, "Kita sudah lama nggak makan bersama. Bagaimana kalau kita kumpul-kumpul sepulang kerja hari ini? Hania, kamu ajak suamimu, biar kita juga membawa pacar atau suami masing-masing. Ayo, kita rayakan bersama pernikahanmu dan kenalkan kami pada suamimu!"
"Nggak perlu! Semua orang sudah kerja keras. Lebih baik langsung pulang dan istirahat saja setelah kerja. Aku baru dapat Buku Nikah, kok. Saat pesta pernikahan, kalian pasti akan kuundang!"
Hania rasa, Yelena terlalu bersemangat. Dia memperkirakan, pasti dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk hal yang buruk dan langsung menolak usulan Yelena itu.
"Hanya makan-makan bareng, pasti nggak makan banyak waktu! Lagi pula, kalau ada rekan kerja di departemen kita yang menikah, kita semua akan merayakannya bersama. Kalau kamu menolak, berarti kamu nggak menganggap kami rekan kerjamu, ya?"
Mendengar itu, Hania berpikir kembali. Penolakannya sama saja dia terang-terangan menyinggung semua orang.
Makan bersama sebenarnya tidak masalah, tetapi ...
"Tenang saja, kami nggak akan membuatmu membayar. Pacarku yang akan traktir malam ini!"
Sepertinya, Yelena bisa membaca pikirannya, sampai-sampai dia langsung menawarkan diri untuk mentraktir.
Rekan kerja mereka pun bersorak-sorai.
Hania agak terkejut.
Selama Hania tak mengeluarkan uang, semua akan baik-baik saja.
'Baguslah, berarti aku bisa membawa Jamal untuk makan gratis.'
Akhirnya, Hania pun mengiakan dengan berkata, "Baiklah. Nanti, aku akan kirim pesan padanya untuk ikut bersama kita."