Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Aura berbahaya yang merambat di udara makin kuat. Mela makin girang saat melihat Arvin diam saja. Orang lain tidak tahu, tetapi dia tahu betul seberapa besar keonaran Teresa tadi malam, bahkan sampai menodongkan pisau. Bagaimana mungkin Arvin akan menoleransi Teresa lagi? Namun, ada apa dengan Teresa sekarang? Bukankah Teresa ingin kabur dari Arvin? "Arvin, biar aku bicarakan dengan Sasa. Dia biasanya dengarkan aku!" Mela menekan kegirangan di hatinya dan bergegas maju. Berlagak lapang dada dan menyayangi adiknya. Teresa yang emosi makin marah karena sikap Mela yang munafik. Dia ingin maju dan menamparnya lagi. Baru berjalan dua langkah, bagian belakang kerah Teresa ditarik. "Mau ke mana?" tanya Arvin dengan nada yang berbahaya. Dia menarik Teresa ke dalam pelukannya. Sebelum Teresa sempat menjawab, Mela berkata lagi, "Sasa, jangan bikin masalah terus. Dengarkan Kakak!" Dasar wanita sialan! Mengapa Mela ada di mana-mana? "Lepaskan aku!" Teresa emosi dan ingin merobek mulut Mela. Keonaran Teresa membuat kepala Arvin berkedut sakit. "Cukup!" Teresa terdiam. Perlawanannya juga terhenti. Teresa mendongak pada Arvin dengan sedih, seperti binatang kecil yang terluka. Arvin membela Mela? Semua orang bergembira dalam hati ketika melihat adegan tersebut. Mereka mengira kesabaran Arvin terhadap Teresa sudah habis. Mata Teresa memerah. Dengan cemberut, dia ingin mendorong Arvin, tetapi ditahan secara paksa olehnya. "Irvan!" "Ya, Tuan Arvin." "Sesuai perintah Nyonya Muda, pecat semuanya!" ujar Arvin dengan tegas. Lalu, dia menggendong Teresa ke lantai atas. Semua orang membeku di tempat! Setelah Arvin menggendong Teresa ke lantai atas, mereka semua baru sadar kembali dan bertatapan satu sama lain. Kegirangan di mata Mela juga membeku! Irvan Kintan maju dengan sikap dingin. "Semuanya, kemas barang kalian dan pergi dari sini. Gaji akan ditransfer ke rekening kalian tepat waktu." "Pak, Pak Irvan, ini ...." Anto maju dengan tubuhnya yang kaku. Dia mengira dirinya salah dengar. Dengan tatapan mata yang dingin, Irvan mengangkat alisnya. "Kenapa? Perintah Tuan Arvin nggak cukup jelas?" "Bukan. Ini, ini apa maksudnya?" "Apa maksudnya? Tergantung apa yang sudah kamu lakukan pada Nyonya Muda." Irvan tahu bahwa mereka tidak sadar akan status mereka. Namun, bukankah Teresa tidak peduli sebelumnya? Ada apa dengan Teresa hari ini? Mela akhirnya kembali sadar. Wajahnya yang perih menjadi masam. Kemarahan bertubi-tubi di hatinya sehingga dia ingin mencabik-cabik Teresa. Di lantai atas. Teresa ditindih oleh Arvin di ranjang. Dia agak gembira ketika teringat bahwa Arvin benar-benar mengusir mereka semua barusan. Teresa memeluk leher Arvin dan berkata dengan suara lembut, "Sayang, tadi kamu lindungi aku, 'kan?" Napas Arvin menjadi berat. Tatapannya terhadap Teresa juga lebih gelap. Teresa menciut karena tatapan itu. Detik berikutnya, dia menjadi panik karena dadanya basah. "Lukamu robek lagi, ya?" Di bawah tadi, Teresa samar-samar melihat ada bercak darah pada perban. Teresa dengan pelan mendorong Arvin. Akan tetapi, Arvin tidak bergerak sama sekali. Napasnya yang hangat berembus ke telinga Teresa dan membuat Teresa geli. "Kamu bangun dulu, biar aku lihat lukamu." "Ayo katakan, apa rencanamu?" tanya Arvin dengan suara dingin. Dia tidak menghiraukan omongan Teresa. Memecat semua pelayan dan menentang kakak yang paling dia percayai? Teresa gagal membunuhnya, maka ingin menurunkan kewaspadaannya. Teresa benar-benar berjuang keras. Teresa tahu Arvin tidak akan memercayainya. Bagaimanapun, dia telah mencoba banyak cara untuk kabur dari Arvin sebelum pagi ini. Namun, sekarang ...! "Sekarang aku mau suamiku cepat sembuh." Teresa tidak tahu bagaimana cara menjelaskan hal tersebut, maka dia hanya bisa berlagak preman. Arvin mengangkat tubuhnya dan menatap Teresa. Keraguan di matanya menunjukkan bahwa dia tidak memercayai omongan Teresa. Darah sudah membasahi kemeja Arvin. Teresa tidak lagi peduli apakah Arvin memercayainya atau tidak. Matanya penuh akan rasa sakit. "Kamu lihat, benaran sudah robek!" Arvin bahkan menggendongnya ke lantai atas barusan. Apakah Arvin mau mati? Teresa memelototi pria yang bersikap cuek itu. Nadanya menjadi lebih tegas. "Kamu jangan gerak sembarangan!" Teresa langsung membuka kancing kemeja Arvin, ingin melihat seberapa parah robekan luka Arvin. Arvin langsung menangkap tangan Teresa. Hal itu membuat Teresa makin cemas. "Kamu mau apa? Cepat lepaskan aku!" "Sasa." Teresa menarik tangannya, lalu membuka kancing kemeja. Wajahnya menjadi masam ketika melihat perban yang dia pakaikan kemarin. "Kamu nggak pergi ke rumah sakit?" Teresa mengira Arvin pergi ke rumah sakit setelah dia pingsan, tetapi nyatanya tidak. Arvin menatap lurus pada Teresa! Jelas curiga terhadap serangkaian reaksi Teresa. Arvin berujar, "Temani aku?" "Oke, aku temani." Teresa mengangguk dengan kuat. Terbersit sedikit kelembutan di mata Arvin. Teresa yang terbebaskan segera pergi mengambil kotak P3K. Usai menangani luka Arvin, dia mengambilkan pakaian bersih untuknya. Gerakan Teresa sangat lugas, seperti istri yang soleh. Sejak ke lantai atas, tatapan Arvin terus tertuju pada Teresa. Dia merasa gadis itu pandai bersandiwara, tetapi tidak mengekspos sandiwaranya. Jika memungkinkan, sebaiknya Teresa bersandiwara seumur hidup! "Sudah, ayo kita pergi." Teresa dengan natural meraih tangan Arvin. Arvin melirik tangan mungil di telapak tangannya itu. Arvin menoleh pada Teresa. Tatapan Teresa padanya terang seperti bintang di langit. Jika semua itu adalah sandiwara .... Arvin tidak berani membayangkan bagaimana dia akan menghancurkan Teresa. ... Arvin dan Teresa turun bersama-sama. Pelayan sudah pergi secara berkala, masing-masing tampak lesu. Akan tetapi, Mela masih di sana dan sedang menghibur Anto. "Sudah, Paman Anto bisa pulang lagi setelah Arvin selesai marah. Aku juga akan tegur Sasa." Wanita sialan ini tidak memahami bahasa manusia? Aku juga menyuruhnya pergi tadi! Teresa emosi lagi. Jika bukan harus segera membawa Arvin ke rumah sakit, dia pasti akan menampar Mela sampai mati. Melihat Arvin dan Teresa sudah turun dalam waktu singkat, Irvan maju dengan hormat. "Tuan Arvin." "Hmm." Arvin mengangguk. Tatapan matanya yang dingin menyapu Anto dan Mela. Sebelum Arvin sempat berbicara, Teresa langsung menariknya berjalan ke arah pintu. "Kita ke rumah sakit dulu!" Adapun Mela yang tebal muka? Dia akan menghabisinya secara perlahan setelah pulang dari rumah sakit. Keganasan di mata Arvin sedikit berkurang karena Teresa mengkhawatirkannya. Senyuman yang samar-samar tersungging di bibirnya. Begitu melihat Arvin dan Teresa, Mela berusaha untuk menahan emosi. "Paman Anto pergi dulu." Mela bergegas menyusul Arvin dan Teresa. Keirian membubung tinggi di hatinya ketika melihat dua orang itu menyilangkan tangan. "Arvin, kamu mau keluar dengan Sasa? Aku kebetulan juga mau pulang ke rumah. Bisa nggak antar aku pulang? Aku juga bisa bicara dengan Sasa." Teresa telah menentangnya di depan orang banyak barusan. Sekarang Mela hanya ingin membawa Teresa ke tempat yang sepi untuk menanyainya. Selain itu, dia juga ingin menghabiskan waktu bersama Arvin. Namun, Arvin sama sekali tidak melirik Mela. Begitu pintu mobil dibuka, Teresa menyuruh Arvin masuk lebih dulu. Teresa menoleh ke belakang dan melihat Mela mengikutinya. Dia langsung mencengkeram kerah baju Mela. "Saat aku pulang, sebaiknya kamu sudah pergi dari sini." "Sasa." "Pergi sana." Seketika, Mela ketakutan lagi pada keagresifan di mata Teresa. Apa yang salah? Mengapa gadis bodoh ini bersikap kasar padanya? Mungkinkah Teresa sudah menyadari sesuatu?

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.