Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Di dalam mobil. Teresa senantiasa memperhatikan luka Arvin dan melarangnya untuk bergerak. Dia takut luka Arvin akan robek lagi. Tatapan pria itu membara. Teresa mendongakkan kepala. "Lihat apa?" Suara yang lemah gemulai itu membuat Irvan yang sedang mengemudikan mobil merinding. Menurutnya, tujuan Teresa sangat jelas. Semoga Tuan Arvin bisa menahan godaan wanita penyihir ini. Arvin mengernyit. "Sudah nggak ada orang luar sekarang. Kamu nggak perlu begini." Teresa terdiam. Penyesalannya sudah begitu jelas, mengapa Arvin tidak terharu, malah meragukannya? Teresa membeku sejenak. Dia langsung memeluk lengan Arvin dan menggeseknya. "Anggap saja aku sedang latihan mesra, oke?" Seingat Teresa, setelah dia menikam Arvin di kehidupan sebelumnya, Arvin akhirnya patah hati dan setuju untuk membiarkannya pergi. Syaratnya adalah setelah ulang tahun Nyonya Besar Dena yang ke-80. Teresa harus tampil bersama Arvin di depan umum untuk terakhir kali, lalu Teresa akan bebas! "Sebentar lagi sudah ulang tahun Nenek yang ke-80," tambah Teresa karena Alvin diam saja. Seketika, suasana di dalam mobil menjadi tegang lagi. Teresa mengancamnya dengan ulang tahun nenek yang ke-80? Arvin memegang dagu Teresa dengan sekuat tenaga. Teresa terkejut ketika bertemu dengan mata pria itu yang galak. Mengapa Arvin tiba-tiba marah lagi? Pria ini benar-benar sulit dirayu. "Teresa, kalau kamu berani bikin masalah di ulang tahun Nenek, aku akan hancurkan Keluarga Wisra." Nada bicara Arvin yang ganas membuat Teresa bergidik ketakutan. Mengapa dia lupa bahwa Arvin adalah sang iblis? Di kehidupan sebelumnya, Teresa tahu Nyonya Besar Dena sangat penting bagi Arvin. Oleh karena itu, dia yang suka membuat onar bahkan tidak berani menantang batas toleransi Arvin. Apalagi sekarang. Namun, Arvin sangat galak. Teresa pun sedih! "Aku nggak akan bikin masalah. Sayang, cepat lepaskan aku, sakit ...." Pergelangan tangan Teresa yang mungil dicengkeram oleh tangan Arvin yang kuat. Sentuhan hangat di telapak tangan seolah-olah menyengat hati Arvin. Kemarahannya ... berkurang. Pada akhirnya, Arvin tidak akan bisa galak pada Teresa. Sekalipun tahu Teresa sedang bersandiwara, dia tetap melepaskan tangan Teresa karena melihat air matanya. Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Teresa menemani Arvin dengan waswas. Ketika dokter menangani luka Arvin, air matanya menetes lagi. "Kenapa menangis?" Arvin dengan lembut mengelus kepala Teresa. Teresa sangat galak di rumah barusan. Sandiwara apa lagi sekarang? Teresa mengisap hidung. "Sakit nggak?" Jika dia terluka, gerak sedikit saja sudah sangat sakit. Alhasil, Arvin bisa membuatnya pingsan. Wajah Arvin langsung menjadi masam. "Kenapa? Nggak cukup dalam kamu tusuk?" Dokter dan perawat secara refleks menoleh pada Teresa yang lemah gemulai. Apa? Ternyata gadis ini suka yang aneh-aneh? Merasakan tatapan mereka, Teresa langsung memelototi Arvin. Luka Arvin sudah ditangani. Teresa mendatangi dokter, dengan sungguh-sungguh dan saksama mendengarkan hal-hal yang harus diperhatikan. Mata Arvin menjadi gelap saat menatap Teresa. "Irvan." "Ya, Tuan Arvin." "Pantau Teresa belakangan ini!" Arvin ingin melihat taktik apa lagi yang akan digunakan oleh Teresa. Teresa, tidak peduli apa pun taktikmu, kamu tidak akan bisa kabur dariku. Saat menatap wajah Teresa, mata Arvin penuh kelembutan dan rasa cinta, tetapi malah memberi rasa tekanan seperti cengkeraman iblis. Teresa kembali dan secara natural menggandeng lengan Arvin. "Sayang, dokter bilang boleh nggak menginap di rumah sakit. Kita sudah boleh pulang." Teresa awalnya khawatir dan ingin Arvin menginap semalam di rumah sakit. Akan tetapi, dokter mengatakan lukanya tidak dalam, yang penting jangan sampai infeksi. Arvin mengambil kantong obat yang dijinjing oleh Teresa dan memegang tangannya. Hati Teresa seperti diolesi madu ketika melirik tangannya yang digenggam oleh Arvin. Sepulangnya ke Carmena, Arvin tidak keluar dari mobil, maka Teresa menahan tangannya. Arvin mengangkat alis. "Kenapa?" "Ya sudah kalau nggak menginap di rumah sakit, tapi kamu nggak boleh lembur di perusahaan," protes Teresa dengan tegas. Tatapan Arvin terhadap Teresa gelap dan dingin seperti rembulan di langit. Teresa tahu Arvin tidak suka orang lain mengganggunya bekerja, tetapi sekarang benar-benar tidak bisa. Di cuaca panas begini, bagaimana jika luka Arvin terinfeksi? Melihat itu, napas Irvan menjadi tidak teratur! Irvan menyeletuk dengan jengkel, "Nyonya Muda, Tuan Arvin harus menghadiri rapat darurat, harus pergi sekarang." Secara tidak langsung, Irvan menyalahakan Teresa. Siapa yang membuat Tuan Arvin terluka? Mata Teresa memerah lagi! Arvin memijat keningnya yang sakit. "Ganti rapat daring." Irvan terbengong. Kegugupan di mata Teresa digantikan menjadi senyuman menyanjung ketika dia membantu Arvin keluar dari mobil. Efisiensi kerja Irvan sangat tinggi. Di tengah waktu mereka pergi ke rumah sakit, seluruh pelayan di Carmena sudah diganti. Tidak ada satu pun yang tersisa. Arvin pergi ke ruang kerja. Teresa mengikutinya dan bertanya, "Mau makan apa siang ini? Aku masakkan." Dari sikapnya yang lembut, orang lain mungkin akan mengira Teresa adalah istri yang soleh. Arvin hanya memberinya tatapan penuh arti. Teresa mengusap hidungnya dengan canggung. Pada saat ini, Irvan sudah membawakan dokumen ke lantai atas. "Kalau begitu, aku nggak ganggu kamu dulu." Teresa tidak mengotot karena Arvin memang sibuk. Saat Teresa sampai di lantai bawah, pengurus baru sedang mengatur pelayan-pelayan. Begitu melihat Teresa, mereka semua membungkuk hormat. "Nyonya Muda." Kemarahan tadi pagi sudah hilang. Teresa mengangguk. "Kalian sibuk saja." "Baik." Pelayan-pelayan segera melanjutkan kesibukan masing-masing. Pengurus itu tetap berdiri di depan tangga dengan hormat, menunggu perintah sang nyonya majikan, Teresa Wisra. Teresa berpikir sejenak. "Pengurus." "Nyonya Muda, namaku Budi." "Baik, Pak Budi!" "Apa perintah Nyonya Muda?" "Ke depannya, Mela dan anjing nggak boleh masuk ke Carmena. Sudah ingat?" "Baik." Budi termangu sejenak oleh perintah Teresa yang spontan, lalu mengangguk. Ketika Teresa ingin memerintahkan Budi lagi, ponselnya yang dia pegang bergetar. Napasnya terhenti ketika dia melirik layar ponsel. Teresa memegang erat ponsel yang dia pegang. Teresa terus menarik napas dalam-dalam, tetapi tidak dapat menahan kemarahan di hatinya. Sampai ketika nada dering hampir putus, Teresa akhirnya menjawab telepon. "Halo." "Sasa, aku akan sampai di bandara dalam dua setengah jam lagi," ujar Darlon dengan suara rendah yang penuh kelembutan dan kasih sayang di telepon. Teresa menegang. Darlon Hisno? Sosok Darlon yang kejam muncul di benak Teresa. Dia merasanya sesak napas, seolah-olah hidungnya tersumbat. "Bisa nggak kamu jemput aku?" tanya Darlon dengan suara lembut di telepon. Dia tidak memperhatikan suasana hati Teresa saat ini. "Mati sana, dasar bajingan!" Teresa langsung berteriak dengan marah dan menutup telepon. Pelayan dan Budi yang berdiri di samping tersentak kaget oleh reaksi Teresa. Ternyata rumor itu benar. Nyonya Muda memiliki temperamen yang buruk.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.