Bab 10
Terbersit kedinginan di mata Sherline yang terang saat menatap Berlina. "Awasi suamimu baik-baik. Jangan biarkan dia pergi ke kamar perempuan lain."
Wajah Berlina memerah karena marah. Dia menunjuk Sherline. "Kamu ...."
Selvin mencegat Berlina dari samping dan menasihatinya, "Berlina, kamu sedang hamil sekarang, nggak boleh marah. Aku cari Sherline hari ini untuk jelaskan dengan dia, kami sudah nggak hubungan apa-apa lagi."
Dasar pria bermuka dua.
Sherline langsung menutup pintu karena tidak berminat menonton sandiwara mereka.
Sherline merasa sakit kepala ketika memikirkan apa yang dia katakan pada Selvin barusan. Bodohnya dia sampai mengatakan akan menghadiri acara pernikahan bersama Jordan. Pernikahannya dengan Jordan hanyalah sebuah transaksi.
Setelah merenung, Sherline mengembuskan napas. Dia akan pergi ke rumah Jordan lusa besok. Bagaimana kalau dia mengambil kesempatan itu untuk berdiskusi dengan Jordan? Mungkin Jordan bersedia pergi bersamanya.
Harris sudah ditahan, sedangkan Robert juga tidak akan mencari masalah dengannya lagi. Sherline bisa rileks selama beberapa hari.
"Kring ...."
Ponsel Sherline berdering.
Sherline menundukkan pandangannya ke ponsel. Itu adalah dokter yang telah dia hubungi sebelumnya. Kegirangan menghiasi wajah Sherline. Dia langsung menjawab telepon.
"Nona Nancy?" sapa dokter dengan hormat di telepon.
Nancy adalah nama samaran Sherline saat praktik medis. Dia mengangguk. "Ya. Apa jawaban dari pihak rumah sakit?"
"Nona Nancy, Rumah Sakit Ditus sangat menyambut kedatanganmu, tapi kami punya satu permohonan kecil," kata dokter dengan hormat.
Sherline tidak terkejut. Bagaimanapun, tiada hasil tanpa usaha. "Silakan sebut."
"Rumah Sakit Ditus berharap Nona dapat praktik beberapa hari di sana setiap bulan. Kalau setuju, semua biaya pengobatan kakek Nona akan digratiskan. Soal gaji, bisa Nona negosiasikan," jelaskan dokter itu.
Nancy sangat terkenal di dunia kedokteran. Dia adalah murid dari orang penting di dunia kedokteran, White. Di tahun silam, dia dan White bersama-sama mengembangkan obat untuk wabah dan membagikannya secara gratis sehingga berhasil menyelamatkan banyak orang.
Praktik medis di Rumah Sakit Ditus?
Sherline mengernyit. Di tahun silam, banyak rumah sakit yang memberikan tawaran kerja padanya dengan gaji tinggi. Akan tetapi, kaki kakek sudah lemah. Kakek juga sudah terbiasa tinggal di desa dan enggan pergi. Jadi, Sherline menemani kakek di desa. Kini, kondisi kakek lemah dan ada kegagalan fungsi organ. Sherline sangat membutuhkan uang.
Sherline menarik napas dalam-dalam. Setelah direnungkan, Sherline mengiakan, "Oke, tapi aku masih ada beberapa urusan di Kota Lauton. Mungkin baru bisa pergi ke Kota Ditus dalam beberapa bulan lagi."
"Selama Nona bersedia datang, semua itu bukan masalah."
"Lalu, kapan kakekku bisa dipindahkan ke Kota Ditus?" tanya Sherline.
Kondisi kakek tidak optimis. Robert hanya peduli soal uang dan kekuasaan, pasti tidak akan mengurus kakek.
"Rumah Sakit Ditus juga punya cabang di Kota Lauton. Kakek Nona akan dipindahkan ke sana dulu. Setelah melakukan semua pemeriksaan dan kondisinya stabil, baru bisa dipindahkan ke Kota Ditus."
Benar juga, kondisi kakek saat ini sangat lemah. Jika mendadak menempuh perjalanan jauh ke Kota Ditus, mungkin akan terjadi sesuatu dalam perjalanan.
"Baik. Tolong bantu pindahkan kakekku secepatnya." Sherline menutup telepon setelah berpesan padanya.
Tak disangka akan begitu lancar. Sherline menghela napas lega. Beban di hatinya berkurang sedikit sehingga dia merasa lebih rileks.
Tanpa ancaman dengan kakek, dia tidak perlu menahan diri lagi di rumah Keluarga Limuntang.
Keesokan hari.
Sherline pergi ke rumah sakit pagi-pagi sekali untuk memindahkan kakeknya ke rumah sakit lain.
Baru pada malam hari, dia pulang ke rumah Keluarga Limuntang.
Begitu Sherline masuk, Berlina berkata dengan sarkas, "Ayah, lihat dia, selalu pulang malam-malam. Mungkin dia cari pria lain lagi di luar. Pak Harris bisa marah kalau tahu."
Robert menolehkan kepala dan menatap lurus pada Sherline. "Sherline, sudah kubilang, jangan macam-macam. Kamu ini perempuan, jangan keluar terus!"
Sekarang Harris menyukai Sherline. Uang yang ditransfer oleh Harris telah mengatasi kesulitan Keluarga Limuntang untuk saat ini.
Oleh karena itu, Robert cukup ramah terhadap Sherline.
Sherline melirik mereka dengan cuek. Baginya, Robert adalah orang asing yang memiliki hubungan darah dengannya. Setelah kakek dipindahkan, dia tidak perlu tinggal di sana lagi.
"Ayah nggak usah pura-pura. Sudah bertahun-tahun Ayah cuek padaku. Nggak terlambat kalau peduli sekarang?" sindir Sherline dengan suara cuek dan tidak berperasaan.
Robert tidak menyangka Sherline yang biasanya patuh akan membantah. Seketika, dia marah besar. Dia beranjak dari kursinya dan mengangkat tangan untuk menampar Sherline. "Kurang ajar! Bagaimana kamu bicara dengan ayahmu?"
Sherline menyeringai. Dia maju dan meliriknya dengan tatapan dingin. "Memangnya kamu berani tampar aku sekarang? Kamu nggak takut Harris marah?"
Robert menghentikan tangannya di tengah udara. Sherline benar, dia tidak berani menampar Sherline. Sherline adalah satu-satunya harapan hidup bagi Keluarga Limuntang sekarang.
Tubuh Robert gemetar saking marah. Pada akhirnya, dia mengentakkan tangan dan membentak, "Kamu sendiri tahu Pak Harris suka kamu, jangan macam-macam."
Sherline mengabaikannya dan langsung naik. Lagi pula, dia tidak pernah berniat untuk menikah dengan Harris.
Pada malam hari, Jordan mengirim pesan untuk membahas waktu pertemuan. Waktunya diganti menjadi jam empat sore. Jordan meminta Sherline datang untuk makan bersama neneknya.
Sherline menyanggupi.
Keesokan sore, Jordan datang tepat waktu. Setelah berjarak dua jalanan dari rumah Keluarga Limuntang, Sherline naik ke mobil.
Sherline menjinjing sebuah kotak. Dia langsung menutup pintu mobil.
Jordan melirik kotak itu, sepertinya adalah suplemen. Dia berkata, "Aku sudah bantu kamu siapkan hadiah. Kamu nggak usah beli lagi."
Sherline berdeham, lalu bergumam, "Ini bukan Nenek, tapi untukmu."
Sherline memalingkan tatapan sambil berbicara, tidak berani melihat Jordan. Dia berkata dengan suara pelan, "Kita sudah sah menjadi suami istri. Nggak ada salahnya aku peduli dengan kesehatanmu."
Jordan kebingungan. Saat mobil berhenti di depan lampu lalu lintas, Jordan baru melihat apa yang dijinjing oleh Sherline.
"Aku sepayah itu di matamu?" tanya Jordan dengan suara serak. Tangannya yang memegang kemudi mengepal erat.
"Uhuk uhuk." Sherline berdeham canggung. "Bukan itu maksudku. Kamu ...."
Wajah Jordan menjadi suram. "Aku nggak nyangka kamu begitu peduli dengan kesehatan tubuhku. Kenapa? Mau coba sendiri?"