Bab 9
Pesta tersebut berlangsung hingga pukul 3 atau 4 subuh.
Sepulangnya ke apartemen, Selina merobek selembar kalender usai mendapati jam dinding menunjuk ke angka satu.
Hari kedua dari hitungan mundur, Selina bangun pagi-pagi.
Selina membersihkan seisi apartemen, kemudian membuang semua barang yang sudah dia bereskan selama beberapa waktu ini.
Selanjutnya, dia menghancurkan buku harian mengenai kisah cintanya selama ini hingga foto yang diambil sembunyi-sembunyi menggunakan mesin penghancur kertas, lalu dibuang bersama sampah dapur.
Mulai saat ini, tak ada lagi jejak Selina di apartemen tempat tinggalnya bersama Jordan sejak tiga tahun lalu.
Hari terakhir dari hitungan mundur, Selina tidur nyenyak sekali.
Tidur kali ini terasa begitu lama. Ketika tirai disibak, Selina mendapati hari sedang terlihat cerah.
Sungguh hari yang tepat untuk bepergian.
Lantas, Selina pergi ke dapur, menaruh sisa makanan yang dibelinya ke mesin penghangat, lalu merobek lembar kalender terakhir.
Bersamaan dengan bunyi mesin penghangat, terdengar suara pintu dibuka menggunakan kunci.
Setengah bulan tak pulang, ada perasaan asing yang menyeruak begitu Jordan memasuki rumah.
Ruangan menjadi sangat lapang dan kosong, bahkan kalender di atas meja telah habis dirobek, membuat Jordan merasa tidak nyaman.
Lantas, Jordan pun bertanya, "Kenapa banyak barang yang hilang?"
Suara Selina terdengar begitu tenang saat menjawab.
"Aku buang karena sudah nggak terpakai. Bisa beli nanti kalau ada yang kamu suka."
Jordan pun mengangguk, enggan memusingkannya lagi. Setelah itu, dia membawa sayuran yang baru saja dibeli menuju dapur.
Saat Jordan melewati meja makan, dia langsung membawa pergi piring Selina usai mendapati makanan Selina begitu sederhana.
"Ini hati ulang tahunmu, kenapa cuma makan ini? Jangan dimakan lagi, biar aku yang masak," tegas Jordan.
Selina agak terkejut melihat Jordan masih mengingat ulang tahunnya.
Dia pun duduk di sofa sembari mendengar suara dari dapur, kemudian melihat jam dinding yang waktunya terus berjalan.
Saat hidangan disajikan, ponsel di atas meja kembali berdering.
Jordan menurunkan makanan dari tangannya, lalu menjawab panggilan telepon tersebut.
"Jordan? Kamu ke mana? Giselle nggak mau minum obat lagi. Cepat ke rumah sakit untuk membujuknya."
Terdengar suara seorang wanita paruh baya dari seberang sambungan, mirip sekali dengan Giselle. Selina pikir, mungkin sosok itu adalah Mama Giselle.
Jordan tidak langsung setuju. Dia menundukkan kepala untuk melihat ekspresi Selina lebih dulu, seolah-olah meminta pendapat Selina.
"Kamu pergi saja."
Mendengar balasan yang tenang dari Selina, Jordan merasa lega.
Namun, Jordan tetap merasa bersalah kepada Selina. Oleh karena itu, dia berjanji untuk merayakan ulang tahun Selina beberapa hari lagi.
Selina merespons dengan gelengan, menolaknya sambil tersenyum.
Menyaksikan ekspresi Selina, Jordan merasa agak tidak nyaman. Baru saja ingin bertanya, bel pintu tiba-tiba dibunyikan.
Jordan bergegas membuka pintu dan menerima kue mangga yang dia pesan tadi.
Usai menerima pesanan, Jordan menangkap ekspresi Selina yang sudah kembali normal. Selina menghampiri Jordan dan mengambil kue itu, seolah-olah tidak ingin menganggu Jordan.
Jordan makin merasa bersalah. Oleh karena itu, dia mengisi menit yang masih tersisa dengan pergi ke meja makan dan membuka kotak kue.
"Tunggu kamu selesai berdoa, baru aku pergi."
Selina pun menyalakan lilin, lalu mengatupkan kedua tangannya untuk merapal doa yang tulus dari lubuk hatinya.
"Semoga Jordan mampu meraih keinginannya dan bisa hidup bersama orang yang dia cintai selamanya."
Mendengar kata-kata Selina, Jordan tersenyum dan langsung mengelus rambut Selina.
"Doa macam apa ini? Kita sudah menjadi teman hidup, 'kan?"
Menyaksikan senyum di wajah Jordan, Selina ikut tersenyum. Dia hanya mengingatkan Jordan bahwa waktunya hampir habis tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Jordan melirik jam dinding sebelum melambaikan tangannya ke arah Selina, lalu berbalik seraya berjalan ke pintu.
Ketika Jordan akan menutup pintu, Selina refleks memanggilnya.
"Jordan, sebetulnya …"
Lantas, Jordan berbalik dan langsung menatap Selina.
"Kamu bilang apa?"
Melihat wajah pria itu, Selina justru membatalkan niat bicaranya.
"Nggak apa-apa, pergi saja. Hati-hati di jalan, ya."
Jordan memilih untuk tidak memusingkan ucapan Selina. Karena itu, dia mengangguk sebelum membalikkan badan dan menutup pintu.
Mendengar suara langkah makin menjauh, Selina mengutarakan apa yang hendak diucapkannya tadi.
"Jordan, sebetulnya, aku alergi buah mangga."
"Sebetulnya, ini adalah hari terakhirku bersamamu."
Kalimatnya terdengar bagai uap air yang menghilang begitu saja.
Selina berdiri tepat ketika angka 12 ditunjuk jarum pada jam dinding, lalu dia membuang semua makanan dan kue di atas meja.
Selina kembali ke kamar untuk mengambil koper yang sudah disiapkan sebelumnya. Setelah itu, dia menuliskan sebuah kalimat di kalender bertuliskan angka 0 menggunakan spidol.
"Jordan, kita putus saja."
Selina membubuhkan tanda tangan di namanya, tekadnya sudah bulat.
Tak lama kemudian, Selina membuka pintu besar nan rapat sebelum menutupnya kembali, membawa kopernya, dan pergi meninggalkan apartemen yang dia sebut sebagai rumah.
Selina terus melangkah tanpa menoleh kembali.