Bab 8
Setibanya di rumah, Selina menerima pesan dari adik tingkat Jordan.
"Kak Selina, kenapa Kak Jordan minta izin nggak masuk lima hari? Aku tanya nggak balas. Ada masalah, kah?"
Tanpa perlu pusing menebak, Selina mengetahui alasan Jordan tidak masuk. Meskipun begitu, dia tetap mencarikan alasan untuknya.
Sehari-hari, Jordan selalu beraktivitas di lab. Dia tidak pernah datang terlambat atau pulang lebih awal. Sekali izin malah berhari-hari, tentu membuat semua orang mengkhawatirkannya.
"Ada kepentingan keluarga," balas Selina.
Setelah membalas, Selina berjalan ke meja makan untuk merobek satu halaman di kalendernya.
Angka 21 telah berganti menjadi 20 pada kalender. Mulai hari besok, hitungan belasan akan dimulai.
Memikirkan perjalanan panjang yang menunggunya, Selina menarik napas dalam-dalam sambil menyeret tubuh lelahnya ke kamar mandi.
Mungkin karena berkeliling sepanjang hari, Selina tidur sangat nyenyak malam itu dan baru terbangun esok harinya saat hari sudah siang.
Apartemen itu sunyi. Semua barang masih tersimpan di posisi semula, tidak ada tanda-tanda dipindahkan.
Jordan sekali lagi tidak pulang semalaman.
Selina sudah terbiasa. Dia berjalan sendirian ke dapur, mengeluarkan kotak susu untuk dituangkan isinya ke gelas, meneguknya perlahan, lalu memulai harinya.
Hari demi hari, angka 20 terus berganti menjadi 15 pada kalender di atas meja. Jordan tidak mengirim kabar sama sekali, seakan-akan sudah menguap dari dunianya.
Selina sibuk mengemasi koper hingga menyiapkan dokumen penting, membuatnya teringat sesekali saja pada sang pacar.
Kemungkinan besar, Jordan pun benar-benar sibuk mengurus Giselle dan tidak pernah mengingat pacarnya sama sekali.
Ketika hari Senin tiba, adik tingkat yang menghubungi Selina waktu itu kembali bertanya mengenai alasan absennya Jordan.
Setelah itu, Selina baru menelepon Jordan dan menanyakan posisinya.
Jordan terdiam setengah menit di balik sambungan, layaknya tengah menyusun kalimat balasan.
"Aku ada urusan beberapa hari ini, makanya belum bisa pulang."
Mendengar jawaban yang tidak rinci, membuat Selina tidak segan lagi menyuarakan isi pikirannya.
"Giselle ada masalah?"
Karena tidak bisa menyembunyikannya lagi, Jordan tidak punya pilihan selain mengatakan yang sebenarnya.
"Giselle kecelakaan waktu perjalanan pulang beberapa hari yang lalu."
Memikirkan status Giselle waktu itu, Selina spontan melontarkan satu pertanyaan lagi.
"Lukanya serius?"
"Cedera ringan, cuma luka luar. Tapi, Giselle takut disuntik dan nggak suka minum obat. Makan dan tidurnya susah kalau di rumah sakit, makanya harus selalu ditemani. Memang salahku karena membiarkan dia pulang sendirian waktu itu, malah kecelakaan. Aku merasa bersalah. Jadi, aku harus temani dia di rumah sakit. Jangan marah."
Kekhawatiran Jordan begitu berlebihan hanya karena cedera ringan. Selina ingin berkata "nggak apa-apa", tetapi lidahnya terasa kelu.
Lama tidak terdengar suara, Jordan mengira Selina cemburu, sehingga dia menjawab dengan tergesa-gesa.
"Selina, maaf membuatmu khawatir beberapa hari ini. Aku akan pulang dan menemanimu setelah Giselle pulih."
Selina tidak mengindahkan janji ini. Setelah mengingatkan agar tidak lupa minta izin untuk tidak masuk, dia menutup telepon.
Setelah itu, waktu berlalu seperti air. Hitungan mundur berubah dari 15 menjadi 10 sebeum berganti ke angka satuan.
Saat tersisa tiga hari lagi, Selina pergi ke kampus membawa dokumen permohonan studi di luar negeri sekaligus makan bersama teman sekelas untuk terakhir kalinya.
Kabar kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Semua orang sangat kehilangan dan satu per satu bersulang dengannya untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Selina, kamu mau menetap di luar negeri, ya? Apalagi, orang tuamu juga kerja di sana. Jangan-jangan, kamu nggak ada rencana pulang ke sini lagi? Mendadak sekali."
"Memang banyak perpisahan dalam hidup, ya. Kami semua pasti akan rindu kamu. Semoga lancar dan sukses selalu. Sering-sering mengobrol dengan kami, jangan lupa."
Selina sangat tersentuh menerima doa dan nasihat dari semua orang. Dia mengangkat gelasnya untuk bersulang sebagai tanda terima kasih.
Teman-teman sekamarnya mengamati sekeliling dan bertanya dengan penasaran ketika mendapati absennya kehadiran Jordan.
"Kamu mau pergi, tapi kamu nggak ditemani Jordan kemari? Apa kamu belum bilang?"
Selina menunduk seraya tersenyum tipis, tidak langsung menjawab.
"Dia sibuk akhir-akhir ini, nggak bisa pergi."
Semua orang juga tahu bahwa Jordan memang sangat sibuk. Mereka tidak terlalu memikirkannya dan segera menghibur Selina.
"Sebenarnya, hubungan jarak jauh nggak sesulit itu. Asal kalian saling mengingat dan mencintai, pasti bisa melewati ini!"
Selina membalas dengan senyuman, kemudian mengangkat gelasnya, menyembunyikan emosi yang rumit di balik sorot matanya. Hanya saja, kehampaan yang bergejolak di hatinya tidak kuasa untuk diredam.
Rasa cinta memang bisa mempertahankan sebuah hubungan, melintasi gunung yang tinggi, bahkan luasnya samudra.
Sayangnya, Jordan tidak mencintai Selina.