Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

"Minum saja air hangat. Valerie masih belum sadar, aku nggak bisa pergi dari sini. Nana, jadilah anak baik, aku capek banget. Jangan terus-menerus bertingkah seperti ini, ya?" Telepon pun terputus. Suara "tut, tut" dari ujung telepon menusuk telinga Naomi, membuat matanya terasa panas dan pedih. Dulu, saat dia mengalami tukak lambung dan harus dioperasi, begitu sadar setelah efek anestesi hilang, Sean menangis lama sekali sambil memeluknya dengan penuh rasa sakit. Saat itu, pria yang begitu besar itu berlutut di samping ranjang, seperti kucing besar yang kehilangan rumahnya, dan menyembunyikan wajahnya di lehernya. Suara seraknya penuh dengan kepedihan. "Nana, aku sakit. Setiap detik saat kamu ada di ruang operasi, aku merasa seperti ditusuk pisau. Kamu tahu nggak, kamu itu hidupku!" Namun, sekarang, pria yang dulu menganggapnya sebagai hidupnya, malah menyuruhnya berhenti cari-cari perhatian hanya karena sakit. Setelah rasa kecewa berubah menjadi keputusasaan, Naomi pun tidak merasa apa-apa lagi. Dengan gigi terkatup rapat, dia menahan rasa sakit, lalu akhirnya menekan nomor darurat. Saat diturunkan dari ambulans, Naomi hampir pingsan karena sakit yang tidak tertahankan. Dalam kesadarannya yang samar, dia mendengar suara yang begitu akrab. "Valerie, kamu kedinginan, nggak? Pegang leherku erat-erat." Naomi menoleh ke belakang dengan susah payah. Di antara lalu-lalang tenaga medis, dia melihat Sean yang mengenakan kemeja hitam. Sosoknya tinggi dan tegap berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Valerie dibalut dengan selimut abu-abu, kedua tangannya memeluk leher pria itu, mengusap dagu pria itu dengan manja sambil mengatakan sesuatu. Kemudian, Sean menunduk dan tersenyum lembut padanya. Hangat dan penuh kasih. Di tengah kekacauan dan kebisingan, matanya hanya dipenuhi oleh Valerie. Naomi menyaksikan pria itu melindungi Valerie naik ke mobil, lalu melihat SUV Cayenne yang begitu akrab melesat menjauh. Di atas meja pemeriksaan yang dingin, pakaian yang basah oleh keringat menambah rasa dingin yang menusuk tulang. Naomi menerima perawatan dengan tatapan kosong. Tabung medis dimasukkan ke tenggorokannya, membuatnya mual dan tersedak, sementara air mata mengalir deras di wajahnya. Setelah mengalami penderitaan itu hingga pukul satu dini hari, akhirnya dia dipindahkan ke ruang rawat sementara dan diberi infus. Seorang perawat yang sedang merapikan tempat tidur di sebelahnya berbincang santai dengan rekannya. "Kamu tahu nggak, pasangan yang tadi masuk UGD siapa?" "Nggak tahu, tapi cowoknya ganteng banget." "Ganteng doang? Dia itu CEO Grup Lennox!" "Serius? CEO Grup Lennox yang punya aset miliaran itu? Wah, tadi aku lihat dia mengelap wajah dan tangan cewek itu sendiri, benar-benar kayak membujuk anak kecil, benar-benar bikin iri." "Semua orang bilang kalau orang kaya itu memang gampang gonta-ganti pasangan, tapi mungkin karena aku belum pernah bertemu yang baik. Aku dengar, bahkan direktur rumah sakit sampai dipanggil ke ruang VIP. Cewek itu kena serangan asma dan langsung dipasang alat bantu pernapasan. Mata Pak Sean sampai merah karena khawatir." "Tadi aku lihat cewek itu masih pakai baju tidur, berarti tunangannya, 'kan?" Naomi memeluk selimutnya dengan lebih erat, tetapi tetap tidak bisa mengusir rasa dingin yang menggigit. Setelah merapikan alat-alat medis, seorang perawat mendekat, memeriksa infusnya, lalu menyarankan dengan lembut. "Nyonya, sebaiknya kamu menghubungi keluargamu. Dengan kondisi seperti ini, kamu butuh seseorang yang bisa merawatmu." Naomi tersenyum paksa. "Dia sedang sibuk dan nggak punya waktu." Perawat itu tidak berkata apa-apa lagi, hanya menghela napas pelan sebelum keluar. Dari luar, samar-samar terdengar suara seseorang berbisik dengan nada simpati. "Sama-sama manusia, tapi nasibnya bisa beda jauh. Ada yang kena tukak lambung, tapi nggak ada yang peduli, sementara yang satu lagi kena asma, sampai semua dokter spesialis dipanggil ... " Naomi perlahan menutup matanya. Malam itu, dia tidur sangat nyenyak. Keesokan paginya, saat dia terbangun, langit sudah terang. Dia segera teringat janji yang telah dibuat, lalu buru-buru mengambil ponselnya. Di dalam WhatsApp, ada belasan pesan yang belum dibaca, semuanya dari Valerie. "Ini semua berkat disinfektan Nona Naomi. Tempat tidur Sean benar-benar besar dan empuk. " "Kamu harus makan lebih banyak pepaya, Nona Naomi. Piamamu agak sempit. Sean suka menyentuh dadaku saat memelukku." "Sudah jam tiga pagi. Nona Naomi, nggak menyangka 'kan kalau suatu hari aku akan lebih dulu tidur di kamar Sean daripada kamu?" "Sean sendiri yang masakin bubur obat buatku. Dia sampai keliling lama banget cari resepnya. Romantis banget, 'kan?" Pesan terakhir adalah sebuah foto. Celana dalam milik Sean berserakan di lantai, berantakan bersama sehelai celana dalam wanita berwarna pink. Naomi membenci warna pink. Sejak dulu, dia tidak pernah membeli pakaian dengan warna seperti itu. Mereka masih sempat tidur bersama setelah pulang dari rumah sakit semalam. Benar-benar tidak bisa menahan diri. Jantung Naomi kembali terasa sakit. Dia menekan rasa mual, lalu menyimpan tangkapan layar foto itu. Perutnya kosong dan terasa asam, tetapi tidak lagi sakit. Namun, saat turun dari ranjang, kedua kakinya masih terasa lemas. Dia berpegangan pada dinding, berjalan menuju meja perawat, lalu memaksakan diri untuk mengurus administrasi kepulangan. Dia tidak punya waktu untuk berlama-lama di rumah sakit. Begitu masuk ke dalam taksi, telepon dari Sean masuk. "Keluarlah dari hotel sekarang, aku suruh Alberto menjemputmu." Nada perintah yang begitu wajar, seakan tidak peduli apa pun yang terjadi, Naomi akan selalu menunggu perintahnya. Naomi bersandar di kursi, wajahnya pucat pasi seperti hantu. "Aku nggak di hotel." "Kamu sudah keluar? Mau belanja lagi?" Nada suara pria itu terdengar agak tidak senang. "Jangan pergi hari ini, pulanglah sebentar. Kamu yang paling mengenal Valerie, jadi jaga dia sehari ini. Aku nggak yakin kalau hanya menyerahkannya ke pembantu." Naomi hampir tertawa karena merasa itu begitu ironis. Tadi, dia hampir berpikir kalau Sean meneleponnya untuk menyuruh Alberto membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Dia hampir mengira Sean mengkhawatirkan kesehatannya. Saat melihatnya diam saja, sikap Sean melunak. "Nana, aku tahu kamu marah karena sikapku semalam, juga karena aku membiarkan Valerie tinggal di rumah kita. Aku sudah menjelaskan semuanya. Kalian 'kan sahabat baik, jangan sampai hubungan kalian retak hanya karena aku. Gunakan kesempatan ini untuk bicara baik-baik, ya?" Naomi tetap diam. Untuk pertama kalinya, dia menyadari kalau Sean adalah pria yang begitu tidak tahu malu. "Valerie masuk rumah sakit, kamu juga harus tanggung jawab. Sayang, dengarkan aku, ya?" Lagi-lagi kata "dengarkan aku" itu. Naomi langsung menutup teleponnya. Tidak lama kemudian, pesan WhatsApp dari Sean masuk. "Dokter menyarankan makanan yang ringan. Aku sudah membuang semua aroma terapi, kamu juga cari yang lain dan singkirkan." Naomi ingin sekali bertanya, apa pria itu masih ingat semua instruksi dokter yang dulu dia catat satu per satu setelah operasinya? Namun, sekarang itu sudah tidak ada artinya lagi. Setelah meninggalkan rumah sakit, dia pergi ke mal dekat kafe, membeli setelan pakaian baru, dan berganti baju. Di dalam toilet, dia mengaplikasikan riasan tipis untuk menutupi wajahnya yang terlihat sangat lelah. Raymon Benicio sudah duduk di ruang VIP menunggunya. Wajahnya tegas dan dingin, sorot matanya tajam dan penuh selidik. "Kamu benar-benar mau menjualnya?" Naomi menyandarkan tubuh ke sofa, tatapannya dingin dan datar. "Ambisi besar Pak Raymon nggak ada hubungannya denganku. Tapi aku punya satu syarat. Kamu nggak boleh hadir di rapat pemegang saham minggu depan. Tunggu satu minggu lagi. Kalau kamu setuju, aku tanda tangan sekarang juga." Beberapa ranjau harus diledakkan satu per satu. Kalau meledak sekaligus, tidak akan menarik lagi. Jari-jari Raymon mengetuk meja pelan dan suaranya terdengar berirama. "Kamu bertengkar sama Sean?" Di kalangan bisnis Kota Lunar, siapa pun yang berhubungan dengan Grup Quincy pasti tahu kalau Naomi mencintai Sean hingga rela mengorbankan segalanya. Naomi perlahan duduk tegak, mata dinginnya menatap pria di hadapannya. "Pak Raymon, saham di tanganku ini adalah milikku sendiri. Aku hanya mengambil kembali apa yang memang menjadi hakku. Itu hal yang wajar. Tapi kalau kamu mau mengorek rahasia Quincy dariku, lebih baik lupakan saja. Kalau itu niatmu, transaksi ini nggak perlu diteruskan." Mendapatkan saham pendiri bukan berarti bisa menghancurkan Quincy. Siapa yang akan menang pada akhirnya, semua tergantung pada kemampuan masing-masing. Raymon tidak bertanya lagi. Dengan sigap, dia mengeluarkan kontrak, menandatangani, lalu mentransfer uang. Setelah memastikan uang telah masuk, Naomi berdiri dan pergi.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.