Bab 6
Tak lama kemudian, waktu istirahat siang pun tiba. Winona, yang memang menjadi bintang di kelas, selalu dikerumuni banyak orang setiap kali waktu makan siang tiba.
Hari ini pun tidak berbeda, sekelompok teman, baik laki-laki maupun perempuan, datang menghampirinya untuk mengajak makan bersama. Winona menyambut mereka dengan senyum ramah, mengiakan ajakan mereka.
Seketika, Hugo melihat peluang emas.
Waktunya membalikkan keadaan.
Dengan tegas, Hugo meraih pergelangan tangan Winona.
"Winona, bukankah kita sudah sepakat? Mulai sekarang, kamu hanya makan siang bersamaku."
Winona tertegun sejenak. Dia tidak menyangka Hugo akan melakukan deklarasi semacam ini di hadapan begitu banyak orang.
Langkah ini benar-benar di luar dugaan.
Namun, dengan cepat, dia memulihkan ekspresinya, tersenyum manis, lalu berkata dengan nada lembut kepada teman-temannya, "Maaf ya, aku sudah janji sama Hugo. Lain kali kita makan bersama lagi."
Salah seorang teman tertawa menggoda."Lain kali? Winona, kurasa kamu nggak akan punya waktu lagi untuk makan bersama kami. Nikmati saja waktumu dengan Hugo!"
Teman-teman lainnya juga tertawa paham, sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan mereka.
Winona kemudian menyematkan lengannya pada lengan Hugo, bersandar mesra, lalu berjalan keluar kelas bersamanya.
Awalnya, Hugo ingin membawa Winona ke kantin. Namun, tanpa diduga, Winona justru menarik Hugo menuju atap kampus.
Setelah memastikan tak ada siapa pun di sana, Winona melepaskan cengkeramannya pada Hugo, berbalik, dan menatapnya langsung.
Hugo mengira Winona akan memarahinya karena tindakan spontan barusan.
Namun, di luar dugaan, gadis itu justru berkata dengan serius,"Terima kasih untuk yang tadi. Itu salahku. Hampir saja aku melanggar prinsip pengawasan 24 jam."
"Hah?"
Hugo tercengang.
Apa gadis ini cerdas atau bodoh sebenarnya? Atau mungkin dia adalah campuran keduanya?
"Aku tahu apa yang ingin kamu tanyakan."
Winona sudah berbicara sebelum Hugo sempat membuka mulut.
"Apa yang mau … aku tanyakan?"
Hugo menggaruk kepalanya, bingung.
"Kamu ingin tahu siapa aku sebenarnya, dari organisasi apa aku berasal, dan monster apa yang kita hadapi tadi malam. Karena itulah kamu mengajakku makan siang berdua, bukan?"
‘Kamu benar-benar punya imajinasi yang hebat. '
Hugo menggerutu dalam hati, tetapi di luar dia hanya mengangguk serius.
"Ya, benar. Kamu mau kasih tahu aku?"
"Aku bisa memberitahumu."
Kejujuran Winona membuat Hugo bingung. Pria itu mengerutkan kening, sedikit ragu.
"Kamu nggak takut aku akan membocorkan rahasiamu?"
Di saat Hugo menyelesaikan kalimatnya, Winona dengan lembut meletakkan tangannya di dada Hugo. Matanya sedikit memicing, bibirnya menyunggingkan senyum penuh percaya diri, seperti seseorang yang memegang kendali penuh atas situasi.
Sebelum Hugo bisa bereaksi, dia sudah pusing duluan.
Dalam sekejap, tubuhnya terhempas ke lantai. Winona sudah berada di atas tubuhnya, duduk mengangkanginya.
Sentuhan hangat tubuhnya terasa melalui celana pendek yang tipis. Jantung Hugo berdetak liar, terutama saat lengan Winona yang ramping menyentuh kulitnya.
Dia tanpa sadar menelan ludah, matanya terpaku pada wajah Winona yang begitu memukau.
Gadis ini memiliki wajah seperti malaikat yang murni dan polos, tetapi sorot matanya begitu tajam, bagai pisau yang siap menusuk hingga ke jantung.
Winona memancarkan pesona yang bertolak belakang, suci dan cerah seperti matahari, tetapi juga berbahaya dan mematikan seperti ular berbisa.
"Kenapa aku harus takut kamu membocorkan rahasiaku?"
Winona menjawab tetap dengan wajah tanpa emosi. Jemarinya yang lentik dengan perlahan menyusuri garis rahang Hugo, menciptakan sensasi yang membuat darahnya berdesir.
"Seminggu ke depan, aku akan selalu bersamamu. Kalau kamu berani bocorkan sedikit pun tentang rahasiaku, aku yakin pisauku lebih cepat dari mulutmu."
Sambil berkata demikian, jarinya meluncur lembut di sepanjang leher Hugo, memberikan sinyal yang tak bisa disalahartikan.
"Dan setelah seminggu, kalau kamu terbukti seorang yang terbangkit dan nggak menunjukkan tanda-tanda infeksi sedikit pun, berbagai organisasi pasti akan datang merekrutmu. Tapi kalau ada tanda sekecil apa pun bahwa kamu terinfeksi …"
Winona membungkuk lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Hugo, lalu berbisik,"Aku sendiri yang akan menghabisimu. Sekali tebas, tanpa rasa sakit berlebih."
Hugo merasakan sensasi geli di telinga akibat napas hangat Winona, hampir seperti aliran listrik yang menjalar. Tubuhnya bergetar tanpa sadar, mencoba menekan gejolak dalam dirinya.
Dengan suara yang dibuat tenang, dia menjawab,"Aku mengerti. Aku akan berhati-hati."
Hugo mengangkat kedua tangannya, membuat gerakan menyerah."Sekarang, bisakah kamu melepaskanku? Kalau ada yang lihat, pasti akan memalukan."
Winona mendengus kecil, tetapi akhirnya bangkit dari tubuh Hugo.
Hugo mengusap lehernya yang masih terasa tegang, matanya menatap gadis cantik tetapi penuh bahaya di hadapannya dengan kekaguman bercampur ketakutan.
"Hugo, dunia yang kamu lihat nggak seindah dan setenang yang kamu bayangkan."
Tanpa peringatan apapun, Winona mulai menceritakan kisahnya sambil berdiri dari Hugo.
"Empat puluh tahun lalu, sebuah retakan misterius muncul di menara TV Kota Hainarta. Dari retakan itu muncul makhluk mengerikan yang kami sebut monster."
Dia melanjutkan ceritanya sambil berjalan ke bangku panjang di atap dan duduk dengan santai. Kakinya yang jenjang disilangkan, dia menepuk tempat di sebelahnya, memberi isyarat agar Hugo duduk.
"Kota Hainarta …"
Hugo bergumam dan mencoba mengingat kota pelabuhan itu. Kota yang memang pernah ada.
Empat puluh tahun lalu, kota itu hancur lebur akibat bencana alam yang misterius.
Hingga saat ini, belum ada penjelasan resmi atas hancurnya Kota Hainarta.
Dan orang-orang yang tinggal di Kota Hainarta sepertinya telah menghilang tanpa jejak.
"Makhluk-makhluk itu memiliki kekuatan destruktif yang jauh melampaui senjata manusia. Mereka kejam dan haus darah, membunuh Cuma untuk bersenang-senang. Dan empat puluh tahun lalu, manusia nggak punya cara apa pun untuk melawan mereka."
"Fenomena ini disebut ‘Gelombang Binatang Buas.’ Ketika gelombang ini melanda sebuah kota, mereka akan melahap segalanya, bahkan menghapus jejak keberadaan manusia di sana," lanjut Winona.
Hugo menelan ludah dengan susah payah, pikirannya kembali pada Kota Hainarta, yang hingga kini masih dibiarkan menjadi reruntuhan tanpa tanda-tanda akan dibangun kembali. Mungkinkah semua ini akibat dari Gelombang Binatang Buas?
"Tapi, nggak semua yang muncul dari retakan adalah bencana. Ada juga kekuatan misterius yang muncul, yang memungkinkan manusia untuk bangkit. Mereka yang terpilih bisa mendapatkan kekuatan untuk melawan Binatang Buas."
"Jadi, kamu juga seorang yang terbangkit?"
Hugo bertanya, matanya membelalak kaget.
Dia tidak pernah membayangkan hal-hal fantastis seperti itu ada di dunia ini. Kebangkitan, kekuatan supernatural, gelombang Binatang Buas ... semua ini membuatnya merasa tidak nyata, seolah-olah dia berada di film fiksi ilmiah.
Namun, ketika memikirkan perubahan Andora tadi malam dan situasi aneh yang dia alami sendiri, Hugo tampaknya harus menerima kenyataan ini.
"Aku nggak bisa memberitahumu terlalu banyak sekarang, dan kamu juga nggak perlu tahu terlalu banyak. Yang jelas, Andora yang mengincarmu bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang istimewa dalam tubuhmu."
Dia berbalik menatap Hugo dengan ekspresinya serius.
"Orang yang diserang oleh monster hanya punya dua nasib. Mati di tempat menjadi makanan mereka, atau .. menjadi terinfeksi."
Suaranya perlahan mulai mengecil, tetapi masih menyimpan sedikit ketegasan.
"Hugo, aku sungguh berharap kamu bisa menjadi bagian dari kami."
Tiba-tiba, pintu atap terbuka dengan suara keras.
Winona bereaksi sangat cepat. Dia melirik ke arah pintu, lalu tanpa ragu memegang wajah Hugo dan menciumnya.
!?
Hugo terkejut hingga pikirannya kosong. Ini keterlaluan!
Awalnya, dia berpikir itu hanya ciuman biasa. Namun, sudut matanya menangkap sosok Nita di pintu atap, memandang mereka dengan ekspresi terkejut.
Winona mengambil langkah lebih jauh.
Lidah Winona dengan lihai menjelajahi mulut Hugo, membuka mulutnya yang ternganga karena kaget.
Sensasi seperti aliran listrik menjalar dari bibir mereka ke seluruh tubuh Hugo, membuatnya merasa lemas sekaligus bingung.
Tunggu …
Hugo refleks ingin mendorong Winona menjauh, tetapi gadis itu melingkarkan lengannya erat di leher Hugo, membuatnya tak bisa bergerak.
Ciuman Winona amatiran, hanya ada luapan emosi yang liar. Lidahnya bergerak sembarangan di dalam mulut Hugo, mengisap dan menggigit dengan gaya yang agresif dan tak memberi ruang untuk penolakan.
Jelas sekali bahwa ini bukan keahliannya. Bahkan, wajah Winona memerah lebih parah dibandingkan Hugo.
Akhirnya, ciuman itu terhenti.
Winona terengah-engah, wajahnya masih semerah tomat, tetapi dia berusaha keras memasang ekspresi tenang seolah semuanya terkendali.
Dia mendekat ke telinga Hugo dan berbisik pelan, "Berlagaklah lebih meyakinkan. Ada yang melihat."
Hugo sebenarnya sudah menyadari apa yang terjadi. Winona jelas melakukannya dengan sengaja. Bahkan jika ada seseorang yang datang ke atap, tindakan mencium langsung seperti itu jelas terlalu berlebihan.
Dia tahu Winona sejak awal menyadari bahwa yang datang adalah Nita. Gadis itu sengaja melakukan ini untuk dilihat oleh Nita dan memilih cara yang paling dramatis untuk menyampaikan pesan.
Hasilnya terlihat jelas. Kini, Nita berdiri di ambang pintu atap dengan tubuh bergetar karena amarah.
Namun, Winona sendiri juga tak dalam kondisi baik. Bibirnya bergetar, menunjukkan bahwa ciuman tadi juga berdampak baginya.
Ini benar-benar seperti ungkapan melukai musuh tetapi juga merugikan diri sendiri.
Sementara itu, Nita awalnya datang ke atap dengan tujuan untuk berbicara dengan Hugo dan ingin menyelesaikan semuanya dengan jelas. Dia ingin Hugo berhenti berharap padanya dan menerima bahwa dia dan Krisna adalah pasangan sejati.
Namun, siapa sangka, saat pintu atap terbuka, dia malah disuguhi pemandangan yang begitu mencengangkan.