Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Di dalam kelas, Hugo duduk di bangkunya, matanya terus tertuju pada Winona yang sedang bercengkerama dengan para mahasiswa lain. Cara dia bergaul begitu alami, membuat Hugo merasa ada sesuatu yang aneh. Di kampus, Winona sepenuhnya berbeda dari apa yang Hugo pikirkan. Sifat ceria dan ramahnya terasa seperti bawaan lahir. Dia dengan mudah memikat hati siapa pun. Senyumnya yang hangat seperti sinar matahari, dan tutur katanya selalu sopan, membuat siapa pun yang berada di dekatnya tak bisa menghindar dari pesona yang terpancar darinya. Jika Nita adalah putri keluarga kaya yang membuat semua orang segan untuk mengganggunya, maka Winona adalah 'si matahari kecil' yang memikat hati semua orang. Semua ingin berada di sisinya, membangun hubungan baik dengannya. Setiap gerak-geriknya penuh daya tarik, seperti ia terlahir untuk menjadi pusat perhatian. Tentu saja, Hugo tahu ini semua hanyalah bagian dari akting Winona. Namun, bisa bermain peran seperti ini benar-benar luar biasa. Namun, hal ini justru menjadi beban besar bagi Hugo. Awalnya, di mata teman-teman sekelas, Hugo hanyalah mainan yang bisa dibuang Nita kapan saja. Ketika kabar putusnya hubungan mereka tersebar beberapa hari yang lalu, para siswa pria langsung mengejek Hugo, menyebutnya sebagai pria yang memang tidak sebanding dengan Nita. Para wanita juga tidak kalah sinis, berbisik bahwa Hugo hanyalah katak buruk rupa yang bermimpi bersanding dengan angsa cantik, tetapi akhirnya hanya menjadi lem perekat yang menyebalkan. Namun, pagi ini, begitu Winona menggamit lengannya di depan semua orang, semuanya berubah seketika. "Winona, ini apa maksudnya? Kamu sama Hugo ...?" "Winona, Zora bilang kamu pacaran sama Hugo. Benaran?" "Ya ampun, Winona! Sejak kapan kalian jadian? Bukannya kalian hampir nggak pernah ngobrol?" Dihadapkan dengan pertanyaan bertubi-tubi dari para siswi, Winona tetap tersenyum manis. Matanya memancarkan rasa malu yang terlihat begitu alami. Dia menggamit lengan Hugo lebih erat, lalu berkata lembut, "Aduh, sebenarnya aku dan Hugo sudah lama saling suka. Tapi, kami berdua nggak pernah punya keberanian buat ngomong. Beberapa hari lalu, akhirnya kami memberanikan diri untuk jujur soal perasaan masing-masing." Hugo awalnya berpikir, omongan Winona ini bakal jadi bahan lelucon. Toh, reputasinya di kelas memang nggak terlalu bagus. Kalau dilihat dari sudut mana pun, tindakan Winona ini seperti menurunkan harga dirinya sendiri. Namun, ternyata Hugo terlalu meremehkan popularitas Winona. Begitu dia selesai bicara, para mahasiswi di sekitarnya langsung berseru. Mereka berkerumun di sekitar Winona dan Hugo, menggali lebih banyak gosip sekaligus memberi selamat. Winona hanya tersenyum makin manis, wajahnya sedikit tersipu, membuat ekspresinya tampak makin menggemaskan. Dia melirik Hugo dengan binar penuh kasih sayang, atau begitulah yang terlihat. Sementara Hugo merasa makin tak nyaman. Gadis ini jago sekali aktingnya. Hugo masih bingung dengan 'keromantisan' yang mendadak ini. Meski begitu, dia tidak punya pilihan selain ikut bermain peran dan berpura-pura tenang. "Iya, aku memang sudah lama suka dia." Dia diam-diam mengeluhkan kemampuan akting wanita ini yang terlalu bagus, dia bahkan hampir memercayainya. Namun, ada satu orang yang tampaknya sama sekali tidak senang melihat adegan itu. Di pojok ruangan, Nita memandang Hugo dan Winona yang dikelilingi teman-teman sekelas, seperti bintang-bintang yang mengitari bulan. Tatapannya dingin, penuh dengan rasa tak suka. Gadis itu hanya bisa mendengus dengan nada mengejek. "Menyebalkan." Nita tak bisa melupakan penghinaan yang dialaminya semalam. Ia bertekad untuk membalas dendam pada Hugo dan Winona. Namun, seolah-olah mendengar pikirannya, Winona tiba-tiba melambaikan tangan pada Nita dengan senyum cerah. "Nita, terima kasih banyak ya. Karena kamu melepaskan Hugo untukku, aku jadi bisa bersamanya. Aku dan Hugo akan selalu berterima kasih padamu," ucap Winona dengan nada manis. Kata-kata itu langsung membuat seisi kelas gempar. Jadi selama ini Hugo bukan ditinggalkan oleh Nita? Sebaliknya, Nita justru jadi pihak yang ditinggalkan karena Winona berhasil merebut Hugo darinya. Hugo pun terkejut, serangan Winona yang tiba-tiba sungguh luar biasa. Dalam sekejap, dia mengubah citra Hugo dari pria yang ditendang oleh Nita menjadi seseorang yang diperebutkan oleh dua wanita cantik. Sementara Nita justru berbalik menjadi pecundang. Yang lebih menarik lagi, ekspresi Nita yang dipenuhi amarah justru membuat semua orang yakin bahwa ucapan Winona adalah benar. "Kamu ngomong apa sih? Aku ... aku nggak pernah melepaskan apa pun untukmu!" Nita berteriak dengan wajah merah padam, jarinya menunjuk ke arah Winona. Keributan di kelas makin menjadi. "Ya ampun, jadi Nita sebenarnya belum menyerah sama Hugo?" "Aku pikir Nita yang tinggalkan Hugo, tapi ternyata ... wah, Nita, meskipun aku teman Winona, aku dukung kamu! Rebut Hugo kembali!" Komentar dari teman-teman sekelas membuat Nita hampir meledak. Dia mencoba memberikan penjelasan, tapi makin dia berbicara, makin buruk situasinya. Akhirnya, dengan penuh emosi, dia mendekati Hugo. "Hugo, ikut aku ke luar! Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Kalau ini adalah Hugo yang dulu, begitu Nita berbicara, dia pasti akan segera berdiri dan mengikutinya tanpa bertanya. Namun hari ini, Hugo hanya memandang Nita dengan ekspresi datar. "Kenapa nggak ngomong di sini saja? Kita semua teman sekelas, 'kan?" Nada suaranya tenang, tetapi setiap katanya seperti menohok langsung ke ulu hati. "Aku ... aku ..." Nita terdiam sesaat. Dia sama sekali tidak menyangka situasinya akan berbalik seperti ini. Dalam rencananya, Hugo seharusnya tetap tunduk padanya, memohon maaf dan meminta kesempatan kedua meski sudah dihina. Namun, kenyataan berkata lain. "Aku cuma mau tanya, soal kejadian tadi malam, kamu nggak merasa perlu minta maaf padaku?" Nita berusaha mempertahankan sikap arogan, tapi dadanya yang naik turun menunjukkan betapa kacau perasaannya. Sebelum Hugo sempat menjawab, Winona sudah lebih dulu memeluk lengannya dan menatap Nita dengan penuh kepedulian palsu. "Nita, aku paham kok perasaanmu. Kamu orang yang sangat kuat, dan Hugo pasti merasa sangat tertekan waktu bersamamu. Jadi ... kumohon, lepaskan dia, ya?" Nita makin murka. Awalnya, dia ingin membahas soal ancaman agar Hugo keluar dari kampus. Namun, setelah ucapan Winona, suasana langsung berubah. Seolah-olah semua ini tentang dirinya yang masih ingin merebut hati Hugo kembali. Amarah Nita memuncak. Dalam pikirannya, dia ingin merobek senyuman manis yang terukir di wajah Winona. "Diam kamu!" Nita berteriak marah sambil melotot ke arah Winona. "Dia milikku, dan kamu nggak berhak ikut campur!" Nita sudah benar-benar kehilangan kendali. Kalimat terakhir yang dia lontarkan justru makin menguatkan pandangan bahwa dia adalah pecundang cinta yang tidak bisa menerima kekalahan. Dikelilingi oleh suara bisik-bisik serta tawa yang mengejek, Nita langsung berlari keluar dari kelas dengan amarah memuncak. "Hebat juga kamu ... taktiknya lumayan licik." Hugo berbisik pada Winona. Winona hanya mengangkat pandangan sekilas, dan dalam sekejap, tatapannya kembali berubah sedingin malam. "Kamu berutang padaku." Winona balas berkata pelan. Namun, dalam hitungan detik, sikapnya berubah total. Dia kembali menunjukkan ekspresi manis penuh kasih sayang. "Hugo, kamu nggak akan ninggalin aku, 'kan? Kamu nggak boleh kembali ke Nita. Kalau itu terjadi, aku pasti akan menangis." Nada suara yang lembut dan sikapnya yang tampak rapuh, ditambah dengan pesona Winona sebagai gadis idaman, cukup untuk membuat semua pria di kelas langsung merasa ingin melindunginya. Hugo tersenyum kecil, mencoba menenangkannya, tetapi dalam hati dia hanya bisa berteriak putus asa. ‘Iblis macam apa yang sedang kuhadapi ini?' Winona bukan hanya licik dan manipulatif, tetapi juga seorang aktris ulung dengan strategi yang sulit ditebak. Dia ini punya berapa kartu as lagi yang siap dimainkan kapan saja? Namun, unjuk kemesraan ini membuat teman-teman sekelas yang sebelumnya mengejek Hugo seketika menjadi bisu. Para pria di kelas merasa iri setengah mati, meskipun di depan mereka tetap bersikap seolah-olah itu bukan masalah besar. Sementara itu, para gadis melihat Winona dengan penuh kekaguman, berharap mereka bisa memiliki hubungan cinta yang begitu indah. Tentu saja, tidak sedikit yang merasa Hugo sebenarnya tidak pantas mendapatkan perhatian dari dua gadis cantik. "Tapi, coba pikir deh, Hugo pasti punya kelebihan yang nggak kelihatan. Kalau nggak, kenapa Winona bisa suka sama dia?" "Iya, iya. Mungkin Hugo sebenarnya sangat lembut dan perhatian di balik sikapnya. Lagi pula, dia juga lumayan tampan, 'kan?" "Hihi, atau jangan-jangan Hugo hebat di ranjang?" Seorang gadis berbisik sambil tersenyum nakal. "Ih, kamu! Jangan ngomong yang begitu di sini." Temannya menanggapi dengan nada menggoda, meskipun pipinya memerah karena malu. Tak lama kemudian, bel kelas berbunyi menyela obrolan mereka. Bangku Hugo dan Winona sebenarnya tidak berdekatan. Namun, Winona tanpa ragu menarik lengan Hugo dan berjalan ke meja teman sebangkunya. "Zora, ayo tukar tempat duduk denganku, ya … " ujar Winona dengan nada manja. Zora, adalah gadis yang sempat bertemu dengan mereka pagi tadi, menatap tak berdaya pada dua sejoli yang tak terpisahkan itu. Dia langsung paham maksud Winona. Dia menghela napas panjang dengan berlebihan, tersenyum sambil menggoda. "Astaga, Winona. Kamu ini benar-benar jatuh cinta, ya? Kalau aku nggak sadar diri, aku bakal jadi pengganggu, dong!" Meskipun bercanda, Zora tetap mengemas barang-barangnya dan pindah ke tempat duduk Winona dengan sigap. Melihat ini, Winona bertepuk tangan dengan senang, lalu duduk di samping Hugo. Sebelum itu, dia masih sempat memberi Zora sebuah kedipan penuh rasa terima kasih. "Memangnya kita harus duduk bersama? Ini nggak perlu, 'kan?" Hugo berbisik sambil melihat Winona yang sedang merapikan buku pelajarannya. Winona hanya menoleh sekilas, memberikan tatapan dingin dan berkata dengan suara rendah. "Prinsip pengawasan 24 jam. Kamu nggak boleh lepas dari pandanganku." … Hugo hanya bisa menyerah. Dia sudah tahu, kalau dalam urusan tertentu, Winona benar-benar keras kepala. … … Di saat yang sama. Di atap sebuah gedung tinggi di Kota Luminara. Seorang pria mengenakan jaket usang dan topi koboi duduk di tepi gedung. Kedua kakinya menjuntai di udara tanpa sedikit pun rasa takut. Dia tampak santai, menikmati semangkuk mi instan. Ponselnya yang sudah retak di bagian layar tiba-tiba berdering. Dia buru-buru meletakkan mangkuk mi dan mengangkat telepon sambil mengelap mulutnya. "Halo, ini aku. Lagi sarapan nih." "Kamu Cuma sarapan pakai mi instan?" Suara dari telepon terdengar heran. "Hehe, 'kan anak didikku baru saja masuk universitas. Aku bayar uang kuliahnya, dan juga belikan beberapa pakaian baru. Jadinya bokek." "Sepertinya kamu benar-benar memperlakukan gadis itu seperti anakmu sendiri." "Ya iyalah, sudah lebih dari sepuluh tahun. Kalau nggak begitu, gimana lagi?" jawabnya santai sambil tersenyum. "Baiklah, aku langsung saja. Ada pekerjaan untukmu. Seekor monster dari kelas Pionir telah menerobos celah dan kabur ke Kota Luminara. Periksa situasinya." "Kelas Pionir? Gila, mereka makin nggak punya akal saja. Bukannya Gelombang Binatang Buas belum dimulai?" "Monster tetaplah monster. Kamu berharap mereka punya akal?" "Baiklah, kirim datanya ke ponselku. Aku akan urus. Oh iya, aku dengar kalian menugaskan anak didikku untuk misi khusus?" Dia bertanya sambil menyeruput bir dari kaleng di sebelahnya. "Dengar ya, muridku memang kelihatan berani, tapi sebenarnya dia sangat penakut. Jangan biarkan dia menghadapi binatang sendirian." "Tenang saja. Dia cuma perlu mengawasi seorang yang dicurigai terinfeksi selama seminggu. Kalau terkonfirmasi, baru dihabisi." "Kalau begitu, aman. Anak itu memang spesial. Jangan beri dia tugas yang aneh-aneh sebelum dia bisa mengatasi trauma mentalnya. Oke, aku tutup dulu. Sarapanku belum selesai." "Jangan lupa tugasmu." Pria itu langsung memutus panggilan. Dia menuntaskan mi instannya dalam beberapa suapan, lalu mengelap mulutnya sambil memandang ke kejauhan, menatap kota yang terbentang di bawahnya dengan senyuman.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.