Bab 7
"Kamu! Kalian sedang apa!?"
Nita tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Hugo, pria yang selalu menurut dan tidak pernah berani melawan dirinya, kini sedang berciuman dengan wanita lain!
Perasaan dikhianati tiba-tiba melanda dirinya, meskipun kenyataannya, dia dan Hugo sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun saat ini.
Amarah langsung menyergap dirinya, dia ingin sekali berlari dan memisahkan mereka berdua dengan paksa.
Sebaliknya, Winona, dengan tenang dan santai, menyibakkan rambut panjang yang menutupi sisi wajahnya. Tatapan matanya yang polos bercampur dengan aura menantang menghunjam Nita, sementara sebuah senyuman penuh arti menghiasi bibirnya.
"Kamu sedang apa? Kami lagi melakukan apa yang biasa dilakukan pasangan. Ada yang salah dengan itu?"
Ia dengan sengaja melingkarkan lengannya di leher Hugo, tubuhnya menempel erat pada pria itu.
Nita gemetar hebat, wajahnya merah padam karena amarah. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menampar Winona.
Namun, Winona pun tak sepenuhnya tenang. Lengan yang melingkari leher Hugo sedikit bergetar, dan napasnya yang naik turun menunjukkan bahwa gadis ini mungkin sudah bermain terlalu jauh.
Dia tengah bermain dengan dirinya sendiri juga.
Nita menarik napas panjang, berusaha keras mengendalikan amarahnya. Dengan sisa-sisa harga diri seorang putri terhormat, dia kembali menunjukkan ekspresi angkuhnya.
Dengan nada dingin, dia berkata kepada Hugo, "Hugo, ke sini. Aku mau bicara denganmu."
Dalam pikirannya, Nita mencoba bersikap lebih dewasa. Dia memutuskan untuk memberi Hugo satu kesempatan terakhir.
Jika Hugo mau menurut dan berhenti mengganggu hubungannya dengan Krisna, mungkin dia masih bisa memberikan sedikit kompensasi finansial.
Bagaimanapun, dia tahu Hugo tidak akan bisa hidup tanpanya. Hugo yang dulu adalah pria yang selalu tunduk padanya, mana mungkin pria itu benar-benar berpaling pada orang lain?
Mana mungkin wanita cantik tanpa isi seperti Winona bisa dibandingkan dengan dirinya?
Meski mustahil baginya untuk menerima Hugo, tetapi dia tidak akan pernah membiarkan pria itu bersama Winona.
Namun, sesuatu yang tak disangka Nita terjadi.
Meski sudah melepaskan ciuman Winona, Hugo tetap tidak bergeming, tak berniat untuk bangkit dan mendekati Nita.
Hugo menatap Nita dengan tatapan tak berdaya, namun suaranya terdengar datar dan tegas.
"Nita, selama kita masih bersama dulu, kamu sering sekali minta putus. Kamu ingat sudah berapa kali kita putus?"
Nita tertegun.
Dia tak menyangka Hugo akan mengungkit masalah masa lalu.
Dengan nada defensif, Nita menjawab, "Itu karena kamu selalu nggak nurut! Makanya aku …"
Sayangnya, Hugo memotong ucapannya tanpa ragu, "Dan setiap kali itu terjadi, aku selalu memohon padamu agar kembali padaku, meski aku sama sekali nggak bersalah. Tapi kali ini, saat kamu bilang kalau kamu jatuh cinta pada Krisna, aku nggak berkata banyak. Kita putus begitu saja, bukan? Maka kali ini aku mau memberitahumu untuk terakhir kalinya."
"Nita, berhentilah mengganggu aku."
Nita tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Apa yang Hugo bilang barusan?
Dia mengganggu pria itu?
Bagaimana mungkin Hugo, pria yang dulu selalu mengekorinya, berani berbicara seperti itu?
Meski kini dia sudah bersama pria lain, dalam hati Nita masih merasa bahwa Hugo seharusnya tetap menjadi pengikut setianya, pria yang selalu ada untuk dirinya kapan saja.
Saat masih berpacaran, Nita sering kali menggunakan berbagai alasan sepele untuk memutuskan hubungan dengan Hugo. Namun, itu semua hanyalah permainan untuk menikmati momen di mana Hugo merendahkan diri memohon padanya agar kembali.
Selama hubungan mereka, Nita bahkan tidak pernah mengizinkan Hugo menyentuh tangannya.
Alasan dia setuju untuk berpacaran sejak awal pun karena dia merasa bosan, dan Hugo juga cukup tampan.
Oleh karena itu, dia menerima Hugo hanya untuk sekadar menghabiskan waktu.
Namun, dari awal, Nita tidak pernah menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang serius.
"Kamu ... Beraninya ngomong begitu ke aku, Hugo? Aku ingin kamu segera keluar dari tempat ini! Pergi sekarang juga dan jangan pernah muncul di depanku lagi!"
Nita akhirnya tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia berteriak histeris pada Hugo.
Hugo hanya menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menggenggam tangan Winona dan melangkah melewati Nita tanpa ragu.
Saat melewati gadis itu, Hugo menoleh sedikit meninggalkan pesan.
"Kalau kamu benar-benar nggak mau melihatku lagi, kamu saja yang pergi."
Setelah mengatakan itu, Hugo membawa Winona pergi dari atap kampus tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Nita yang tertegun dengan mata membelalak.
Nita ingin berbalik dan mengatakan sesuatu, tetapi Winona berbalik dan memasang wajah penuh kemenangan padanya.
Nita gemetar hebat, dadanya naik-turun karena amarah yang meluap.
"Hugo!"
Dia menggertakkan gigi dan bersumpah di dalam hati akan membuat Hugo menyesal.
Menyesal telah menyakitinya!
Menyesal telah meninggalkannya!
Dia tidak akan membiarkan hal ini berakhir begitu saja!
Bagaimanapun, dia tidak pernah merasa telah bersalah terhadap Hugo. Di pikirannya kini, hanya ada kebencian pada Hugo.
Juga perasaan enggan kala 'mainannya' direnggut orang lain.
…
…
Setelah kuliah usai, Hugo dan Winona pulang bersama ke rumah Hugo.
Baru saja mereka masuk ke dalam rumah, ponsel Hugo berdering. Ternyata itu panggilan dari ibunya.
"Hugo, kamu lagi ngapain?"
Suara ibunya terdengar di ujung telepon.
"Baru sampai rumah, lagi beres-beres. Ada apa, Bu? Tumben telepon."
Di telepon, ibunya mulai menanyakan kabarnya di kampus, tentang teman-teman barunya, dan bagaimana dia beradaptasi.
Hugo menjawab seadanya, berusaha menghindari topik yang terlalu dalam, tetapi akhirnya topik tentang putus cinta tak terelakkan.
"Hugo, Ibu tahu mungkin belakangan ini perasaanmu lagi buruk. Kalau ada yang mau kamu ceritakan, Ibu selalu ada untukmu, ya."
Mendengar kata-kata lembut ibunya, Hugo hanya bisa tersenyum getir.
Nyatanya, dia merasa lebih cepat pulih dari yang dia bayangkan. Mungkin karena selama ini, tekanan mental dari hubungan dengan Nita sudah terlalu berat untuk ditanggung.
Sekarang, setelah putus, dia malah merasa jauh lebih lega.
"Ibu, jangan khawatir. Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus perasaanku sendiri."
Sementara itu, Winona sedang duduk di sofa. Dia melipat kakinya sambil memperhatikan Hugo yang sibuk menelepon.
Setelah beberapa saat, gadis itu tiba-tiba menyentuh perutnya dan berbisik pada Hugo.
"Hugo, aku lapar."
"Hugo ... kamu ada teman di rumah, ya?"
Suara ibunya, Driana, terdengar ragu.
"Ah? Ah, nggak kok, Bu. Aku lagi nonton TV aja."
Hugo terkejut, lalu buru-buru memberi isyarat pada Winona untuk diam.
Winona yang merasa kesal lantas mendekat dengan wajah cemberut. Dia menarik-narik baju Hugo sambil berkata,
"Aku lapar."
Hugo hampir ingin menangis. Namun, sebelum dia sempat merespons, suara di telepon kembali terdengar, dan kali ini, ada nada geli dalam suara ibunya.
"Hugo, sebenarnya Ibu dan Ayah sudah sampai di Kota Luminara. Kami ingin memberimu kejutan. Sekarang kami hampir turun dari bus. Kalau kamu sedang sibuk dengan teman-temanmu, kami bisa cari penginapan dulu dan menemui kamu besok."
Mendengar bahwa kedua orang tuanya sudah tiba di kota, Hugo langsung terpaku. Setelah beberapa detik, dia buru-buru menjawab.
"Jangan! Jangan cari penginapan. Kalian datang saja ke sini. Rumah lebih nyaman, 'kan? Semuanya lengkap. Kenapa harus ke penginapan?"
"Baiklah, Hugo. Kamu tunggu di rumah. Ibu akan masak sesuatu yang enak untukmu."
Hugo menelan ludah, membayangkan bebek panggang bumbu jahe, iga bakar daun bawang, dan ikan kakap kukus buatan ibunya.
Orang tuanya memang bukan orang kaya. Ibunya seorang guru SD di kota kecil.
Sementara ayahnya adalah sopir di sebuah perusahaan transportasi.
Meski hidup mereka sederhana, keluarga ini selalu diliputi kebahagiaan, dan kedua orang tua Hugo selalu memberikan yang terbaik untuknya.
"Baiklah, aku akan bersih-bersih rumah sekarang. Jadi, aku nggak jemput kalian, ya, Bu? Oh iya, Ibu bawa sambal buatan sendiri, kan?"
Hugo masih saja teringat sambal buatan ibunya, yang bisa membuatnya menghabiskan beberapa piring nasi hanya dengan itu.
"Mana mungkin Ibu bisa lupa? Sudah, Hugo, cepat bersihkan rumahmu. Tunggu kami datang."
Setelah menutup telepon, Hugo segera bergegas membereskan rumah. Fokus utamanya pada noda darah kering di sekitar sofa, yang harus dibersihkan sampai benar-benar hilang.
Sementara itu, Winona tetap saja duduk di sofa, tidak menunjukkan niat untuk membantu. Sebaliknya, dia terus-menerus mengeluh lapar dan meminta makan.
"Kenapa aku harus mengurus makananmu juga, sih?"
Hugo bertanya sambil berlutut, sibuk menggosok lantai.
"Pertama, aku menyelamatkanmu. Kedua, aku membalaskan dendammu. Ketiga, aku nggak punya uang."
Winona meringkuk di sofa dan memandang Hugo dengan percaya diri.
"Alasan terakhir itu agak dipaksakan, nggak sih?" Hugo hanya bisa menghela napas panjang.
"Aku benar-benar nggak punya uang. Biasanya aku makan di organisasi, biaya kuliah juga guruku yang tanggung, termasuk tempat tinggal. Jadi, aku memang jarang pakai uang. Sekarang, karena harus mengawasi kamu 24 jam, aku nggak bisa kembali untuk makan."
Nada bicara Winona seolah menyiratkan bahwa semua ini adalah hal yang wajar.
Hugo menggelengkan kepala, lagi-lagi menghela napas.
"Organisasi kalian nggak gaji anggotanya, ya?"
"Aku belum jadi anggota resmi, jadi belum digaji."
"Ini pertama kalinya aku dengar ada yang menyebut dirinya pekerja magang dengan penuh kebanggaan."
Setelah hampir empat puluh menit, Hugo akhirnya selesai membersihkan rumah.
Dia menatap Winona yang masih nyaman di sofa, lalu mengeluarkan uang dua ratus ribu dari sakunya. Dia menyerahkan uang itu pada Winona sambil berkata, "Orang tuaku mau datang malam ini. Kamu sebaiknya pulang dulu."
Namun, Winona hanya melirik uang itu tanpa berminat mengambilnya.
"Aku nggak minta uang."
"Kalau bukan uang, kamu maunya apa?"
"Aku mau makan."
"Jadi, aku kasih kamu uang. Kamu pulang saja, beli makan sana."
Namun, Winona hanya cemberut sambil menggeleng, menatap Hugo seolah dia sedang melihat orang bodoh. "Nggak bisa, dong. Aku ini ditugaskan untuk mengawasi kamu 24 jam penuh. Prinsip ini nggak boleh dilanggar."
Hugo berpikir keras, mencoba mencari cara untuk membantah.
Akhirnya, sebuah ide muncul di benaknya.
"Winona, jadi apa pun yang aku lakukan, kamu akan terus berada di dekatku?"
Winona mengangguk ringan.
"Kamu yakin?"
Winona kembali mengangguk.
"Kalau begitu ... gimana kalau aku mau ... ya, kamu tahu lah?"
Winona memiringkan kepala, kebingungan. Sepertinya dia tidak menangkap maksud Hugo.
"Apa?"
Hugo mendekatkan wajahnya ke telinga Winona dan berbisik pelan, menjelaskan apa yang dia maksud. Winona terdiam beberapa detik, lalu perlahan mengangkat tangannya.
Dalam sekejap, sebuah sabit besar muncul di genggamannya.
"Mau aku potong saja? Itu akan menyembuhkanmu selamanya."
Melihat senjata tajam itu berkilau di depan matanya, Hugo menelan ludah keras-keras. Dia langsung melambaikan tangan.
"Maaf, aku cuma bercanda."
…
Sementara itu, di sebuah gang sempit di dekat apartemen Hugo, seekor anjing liar sedang mengais makanan di tempat sampah.
Anjing ini cukup terkenal di lingkungan itu karena pernah menggigit beberapa orang. Jika ada yang mencoba menangkapnya, ia akan segera kabur dan bersembunyi.
Penduduk sekitar sangat terganggu olehnya, bahkan selalu memperingatkan anak-anak untuk menjauhi gang itu.
Malam ini, si anjing liar sedang sibuk mencari makan, menjelajahi wilayah kekuasaannya.
Namun, saat ia asyik mengendus tumpukan sampah, tiba-tiba sebuah celah gelap terbuka di belakangnya tanpa suara.
Anjing liar mempunyai indra yang sangat tajam.
Ia langsung berbalik. Namun, bukannya kabur, ia malah menggonggong keras ke arah celah yang baru muncul.
Ketika bahaya akhirnya datang, si anjing sadar akan kebodohannya. Namun, sudah terlambat.
Sebuah cakar hitam besar mencuat dari celah itu, mencengkeram tubuh anjing liar tersebut, lalu menariknya masuk dengan cepat.
Tak lama kemudian, hanya suara erangan kesakitan dan kunyahan gigi yang terdengar dari dalam celah itu.
Beberapa saat kemudian, ketika celah itu benar-benar menghilang, sebatang tulang putih dari sisa daging anjing tersebut terlempar keluar.