Bab 5
Anggota keluarga Candrawira pun kebingungan.
Devan, sebagai teman sebaya dan kebetulan dekat dengan Zarren, segera menariknya dan berbisik, "Ayahmu gila gara-gara Leira?"
"Kamu nggak tahu apa-apa!" Zarren menatap malas pada Devan.
Devan kembali terdiam.
Yoga sudah melewati Werdi, lalu bersemangat menghampiri Leira. "Leira, Paman Yoga minta tolong agar kamu ke rumah sakit buat lihat Bibi Jina. Bisa, 'kan?"
Leira mengerutkan kening.
Yoga buru-buru melanjutkan perkataannya, "Asal kamu mau ke sana, apa pun hasilnya, kamu tetap menjadi penolong keluarga Suryadinata."
"Ya, benar. Leira, selama kamu mau pergi, nggak akan ada yang berani mengganggumu. Sekalipun ada, pasti akan bermusuhan denganku dan keluarga Suryadinata." Zarren menepuk dadanya untuk meyakinkan.
Keluarga Candrawira merasa bingung.
Sebaliknya, Leira masih memasang ekspresi datar. "Aku cuma penyiar biasa."
Yoga mengerutkan kening tak mengerti.
Di sisi lain, Zarren tentu sangat memahami maksud Leira.
Dia langsung mengeluarkan ponselnya dari saku. "Ayah dan aku akan selalu memperhatikanmu. Kalau perlu, biar kubelikan pengikut."
"Nggak perlu. Aku butuh penonton yang benar-benar suka siaran langsungku."
"Oke."
Zarren sudah mengklik tombol mengikuti, lalu menyerahkannya pada Leira seraya sopan berkata, "Kamu tenang saja. Aku pasti akan menonton siaran langsungmu."
Lantas, Leira berdiri dan berseru, "Ayo!"
Belum sempat keluarga Candrawira memahami yang terjadi, Leira sudah mengikuti Yoga dan Zarren masuk ke mobil.
Devan tertegun sejenak, lalu bertanya, "Ayah! Apa maksud Paman Yoga?"
Werdi juga merasa aneh.
Hanya Rissa yang memikirkan ucapan Zarren tadi.
Kata-katanya sangat jelas, keluarga Suryadinata akan melindungi Leira.
Setibanya di rumah sakit.
Saat perjalanan ke rumah sakit, Yoga dan Zarren sudah bercerita mengenai kondisi Jina.
Sejak melahirkan Zarren, kondisi kesehatan Jina selalu menurun.
Apalagi beberapa tahun terakhir, dia harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya.
Namun, kali ini lebih parah. Jina mendadak koma seminggu lalu.
Pihak rumah sakit bilang, kondisi fisik Jina tidak berbeda dengan sebelumnya. Mereka juga tak tahu alasan koma yang dialami Jina.
Yoga sempat mencari beberapa paranormal terkenal.
Paranormal ini melakukan berbagai hal begitu datang. Ada yang melakukan ritual, ada yang memanggil roh … mereka sudah mencoba berbagai cara.
Namun, Jina tak kunjung sadar.
"Apakah itu kamarnya?" Begitu keluar lift, Leira segera menunjuk sebuah kamar di sebelah kiri depan.
Jina dirawat di rumah sakit swasta. Hanya tersedia sepuluh kamar per lantai, semuanya untuk pasien VIP.
Selain itu, setiap kamar terlihat sama dari luar.
Zarren mengangguk berulang kali. "Ya, kamar yang itu. Leira, kamu memang hebat."
Yoga melirik ke arah putranya.
Namun, hatinya makin menghormati Leira.
Lewat mata Leira, di antara kamar-kamar yang bersih dan terang, hanya kamar itulah yang dipenuhi aura hitam.
Pintu bangsal pun terbuka.
Ekspresi Leira seketika berubah.
Di kamar, selain aura kematian, ada pula cahaya keemasan samar.
Cahaya keemasan yang samar mengelilingi tubuh Jina.
"Leira, bagaimana?"
Leira berdiri di samping ranjang. "Jiwanya hilang."
Yoga tersentak ketika mendengar ucapan Leira yang terasa santai. "Agak merepotkan," ujar Leira.
'Merepotkan?'
'Kenapa?'
'Apakah sulit untuk menemukan jiwanya kembali?'
Dia hendak bicara saat kening Leira mengernyit dan merendah seraya berkata, "Sekarang, Kekuatan Spiritualku nggak cukup kuat. Aku cuma bisa memanggil jiwa dengan menggambar jimat. Tapi, sekarang, aku nggak punya kertas kuning dan bubuk sinabar."
Yoga seketika menghela napas lega. Dia kira, ini lebih serius.
"Aku akan beli sekarang," ucap Zarren cepat. "Kertas kuning dan bubuk sinabar seperti apa? Butuh apa lagi?"
"Kertas kuning dan bubuk sinabar biasa sudah cukup. Beli juga seikat dupa."
"Oke."
Zarren berlari keluar untuk membeli perlengkapan tersebut.
Yoga bertanya pada Leira dengan hati-hati, "Leira, kamu yakin bisa melakukannya?"
"Hm."
Melihat jawabannya, Yoga pun setengah lega. "Beruntung kemarin kamu sudah mengingatkanku. Waktu aku dan Zarren datang, ada perawat magang yang hampir salah ambil obat. Dia hampit menyuntikkan obat yang salah."
"Dokter bilang, kalau obat itu sampai dikasih, bibimu nggak akan selamat."
Tidak ada yang tahu betapa takutnya mereka setelah menyadari kesalahan tersebut.
Andai mereka terlambat sedikit, Jina tak akan bisa diselamatkan.
Oleh karena itu, Leira sudah dianggap penyelamat bagi keluarga Suryadinata.
Tak lama kemudian, Zarren kembali dengan barang-barang yang dibutuhkan.
Sekotak penuh kertas kuning dan bubuk sinabar, sekaligus dupa.
Leira memeriksa barang-barang itu. Semuanya bahan terbaik.
"Bisa kita mulai?" tanya Zarren dengan agak bersemangat.
Sebelumnya, dia hanya pernah dengar hal seperti ini. Baru kali ini dia menyaksikannya secara langsung.
Sekarang, Zarren masih setengah tidak percaya
Leira bergumam, lalu mengambil selembar kertas kuning. Sambil menggabungkan jari telunjuk dan tengahnya, dia mencelupkannya ke sinabar, kemudian menggambar jimat di permukaan kertas.
Gerakannya begitu cepat bagai aliran air. Begitu goresan terakhir selesai, kertas jimat itu sontak dipenuhi sinar keemasan.
Zarren pun bersemangat meraih lengan Yoga. "Ayah, Ayah melihat itu? Apa aku yang salah lihat?"
"Jangan berisik!" Yoga lebih bersemangat ketimbang Zarren. Akan tetapi, dia masih menjaga sikap tenangnya.
Leira membawa jimat yang telah digambarnya ke ranjang Jina, lalu menempelkannya di dada wanita tersebut.
Dia mengambil tiga batang dupa, menggesek ringan jarinya. Dupa itu pun seketika menyala.
Zarren terbelalak, mulutnya menganga lebar.
'Wah, ini terlalu keren!'
Seolah-olah sedang menonton film dengan efek khusus.
Seutas asap tipis mengepul dari dupa bagai dikaruniai kesadaran, lalu melayang perlahan keluar jendela.
Leira memanggil pelan beberapa kali. Akan tetapi, asap itu tidak memberikan reaksi apa pun.
Kekuatan Spiritualnya masih terlalu sedikit.
"Aku memanggilnya, tapi nggak ada tanggapan. Kalian masih keluarganya. Kalau kalian yang panggil, mungkin dia akan merespons."
Yoga memegang canggung dua buah dupa. "Bagaimana cara untuk memanggilnya?"
"Panggil namanya, suruh dia kembali."
"Jina, Jina, cepatlah kembali," seru Yoga beberapa kali. Zarren di sebelahnya juga ikut memanggil, "Ibu, Ibu, cepatlah kembali."
Tiba-tiba, Zarren berhenti memanggil.
Dia menatap ke luar jendela dengan mata terbelalak. Dia sadar, asap yang sebelumnya melayang jauh mulai kembali dengan perlahan, seolah-olah memiliki kesadaran.
Asap itu bergerak lurus menuju ranjang.
Kemudian, berhenti di samping sebelum perlahan menghilang.
"Sudah."
Leira bersuara.
Yoga berjalan ke tepi ranjang, menunduk, dan melihat jari-jari Jina sedikit bergerak. Dia segera meraihnya.
Dengan mata berkaca-kaca. Zarren juga bergegas mendekat dan memanggil, "Ibu!"
Jina perlahan membuka matanya.
Saat Zarren beranjak memeluk ibunya, Yoga mendorong Zarren dengan cepat untuk menjauh.
Zarren sontak terkejut.
Melihat kedua orang tuanya berpelukan, dia sontak cemberut dan menepuk-nepuk bajunya yang tak berdebu, lalu menghampiri sisi Leira dengan kikuk.
"Jadi … ibuku sudah baik-baik saja sekarang, 'kan?"
Tadinya, dia sering meremehkan Leira. Namun, sekarang, dia agak canggung setelah gadis itu menjadi penyelamat sang ibu.
"Belum."
Zarren terpaku.
Padahal, Zarren hanya mau basa-basi.
Namun, respons yang diperoleh justru jawaban serius.