Bab 4
Sepasang ayah dan anak dari keluarga Suryadinata itu bergegas pergi.
Dengan nada berat, Rissa bicara pada Leira, "Leira, teganya kamu menyumpahi Bibi Jina. Paman Yoga dan Bibi Jina sangat harmonis. Paman Yoga pasti marah karena kamu menyumpahi istrinya."
"Kalau nggak ada urusan lain, aku mau naik dan tidur." Leira tak menghiraukan Rissa dan langsung naik ke lantai atas.
Rissa menunduk sedih, air mata yang menggenang di mata pun luruh.
Kelly menyeka lembut air matanya sambil mengeluh, "Leira harus memperbaiki sikapnya. Untung saja ini masalah dengan keluarga Suryadinata yang berhubungan baik sama kita. Kalau sampai dengan keluarga lain, mungkin kita sudah bermusuhan."
Werdi pun sependapat.
"Dia nggak boleh melakukan siaran langsung lagi."
Esok paginya, Leira turun untuk sarapan.
Dia terkejut kala melihat kakak kedua, Dipta, dan kakak ketiganya, Devan, sudah di sana,
Kedua kakaknya ini tidak pernah datang lagi sejak mengucapkan satu kalimat di hari pertama kepulangan Leira menuju keluarga Candrawira.
"Kamu dan Rissa sama-sama putri keluarga Candrawira, jangan berlaku buruk padanya," celetuk Dipta.
Devan justru jauh lebih blak-blakan. "Keluarga Candrawira selalu menjadi rumah bagi Rissa. Siapa pun nggak boleh usir dia."
Setelah memberi peringatan pada sang adik, kedua kakak laki-laki itu pergi menenangkan Rissa.
Usai menenangkan Rissa, keduanya segera pergi bekerja.
Bahkan, mereka berdua tak pulang saat acara penyambutan Leira digelar kemarin.
Melihat Leira turun, Rissa segera tersenyum manis. "Leira, cepat turun. Semua sudah menunggumu."
Devan bersandar, menatap Leira dengan sorot mata dingin. "Satu keluarga sudah menunggumu, tahu aturan nggak?"
Seakan-akan tak mendengar, Leira duduk dengan tenang di kursi dan mulai sarapan.
Makin dingin sikap Leira, Devan makin marah. "Kudengar, kemarin kamu merebut pakaian Rissa."
"Hm, kurebut," timpal Leira.
"Masih berani menjawab? Apa keluarga Candrawira kekurangan makanan dan pakaian? Kamu merebut gaun Rissa, memangnya nggak punya uang buat beli?"
Leira sontak meletakkan sendoknya, menatap dingin semua orang di meja makan.
Tak hanya memasang ekspresi dingin, kening mereka pun berkerut dalam.
Jelas mereka terlihat tak senang dengan tindakan Leira kemarin.
"Aku nggak punya satu pun gaun harga sepuluh miliar rupiah buat dipakai."
"Beli, dong."
Leira tersenyum sinis, lalu membalas dengan nada bicara sarkastik, "Kalau di pasar, mana ada gaun yang dijual seharga sepuluh miliar rupiah?"
Semua gaun Rissa dirancang oleh desainer terkenal internasional, sampai-sampai gaun yang semalam dikenakan gadis itu seharga sepuluh miliar rupiah.
Namun, itu bukan gaun termahal yang dimiliki Rissa dan tergolong kelas menengah saja.
Sementara itu, meskipun Leira sudah menjadi putri dari keluarga Candrawira, dia tak punya koneksi atau akses untuk meminta desainer internasional membuatkan dirinya gaun khusus.
Keluarga Candrawira mulai menyadari hal ini.
Ekspresi mereka berubah agak kikuk.
Sebaliknya, Devan masih kesal dan merasa Rissa diperlakukan tak adil. "Tetap saja, kamu nggak boleh rebut gaun Rissa! Merebut barang orang lain itu salah!"
"Kenapa di acara penyambutanku sendiri harus pakai gaun harga 100 juta rupiah, sedangkan dia malah pakai gaun seharga sepuluh miliar rupiah?"
Perbandingan itu sungguh mencolok.
Devan seketika membeku.
Kelly pun merasa agak bersalah dan terenyuh. "Leira, ini salah Ibu. Harusnya, Ibu siapkan gaun dan perhiasan buatmu."
Dia hanya terbiasa.
Sejak Rissa dewasa dan memiliki selera modenya sendiri, dia tak pernah lagi terlibat dalam urusan pakaian anak-anaknya.
Biasanya, Kelly hanya memberi kartu kredit, membiarkan mereka membeli apa pun, dan memesan baju desainer sesuka hati.
Rissa melirik ke arah semua orang, lalu menarik lembut lengan Devan. "Kak Devan, sudahlah. Kalau memang Leira suka, dia bisa mengambil semuanya. Toh, barang-barang ini nggak seharusnya jadi milikku," tuturnya.
Devan mulai tak tahan melihat Rissa yang tampak tertekan. "Rissa, jangan bilang begitu! Statusmu selalu putri keluarga Candrawira. Siapa pun yang berani menindasmu, akulah yang pertama melawannya."
Dia berhenti sejenak, lalu menatap Leira tajam. "Termasuk kamu."
"Devan!" tegur Hendry dengan suara bernada kecil.
Jika karakter Leira masih seperti yang dulu, dia pasti sudah marah, berteriak, dan menangis karena tak tahan.
Akan tetapi, usai mengalami latihan di Dunia Kultivasi, hati Leira menjadi jauh lebih tenang.
Ikatan keluarga sebagaimana orang tua dan saudara kandung itu sangatlah unik. Tak bisa dipaksakan.
Dengan tenang, dia balik bertanya, "Maksudmu, Rissa itu putri kecil keluarga Candrawira dan peranku sebagai pelayan keluarga Candrawira?"
Devan sontak terdiam.
Mata Rissa sudah kemerahan. "Leira, kenapa bilang begitu? Ayah, Ibu, sama Kakak sangat menyayangimu."
Leira tak menghiraukan Rissa, melainkan menatap Devan. "Kalau begitu, bukannya kamu juga harus mengingatkan Rissa dan bilang supaya dia nggak mengganggu aku?"
"Mana mungkin Rissa ganggu kamu? Aku mengenalnya," bantah Devan cepat.
"Lalu, apa kamu kenal aku? Apa hakmu menuduhku sudah ganggu dia?" Leira teringat akan hari pertama dirinya kembali ke keluarga Candrawira.
Kala itu, hatinya dipenuhi harapan soal kasih sayang keluarga.
Namun, Leira malah mendapat perlakuan dingin orang tua hingga peringatan dari kakaknya.
"Aku nggak berharap kalian bisa lebih menyayangiku dari dia. Paling nggak, bersikap setara saat perlakukan kami. Bisa, 'kan?" Leira pun mencibir, "Kalau nggak bisa, jangan pakai status 'kakak' buat mendidikku. Kamu nggak berhak!"
Devan kembali diam.
Kata-kata "nggak berhak" bukan hanya menampar wajah Devan, tetapi membuat ekspresi anggota keluarga lainnya turut beralih muram.
Werdi berdeham sebelum bicara, "Sudahlah. Kita adalah keluarga, jangan bicara begitu lagi."
"Leira, Ayah dan ibu tahu kamu sangat menderita sebelumnya. Selama ini, kami memang sudah mengabaikanmu, tapi nggak usah khawatir. Ke depannya, apa yang dimiliki Rissa, pasti kamu akan punya. Apa yang kamu punya, Rissa juga punya."
"Kalian ini putri keluarga Candrawira. Posisi kalian sama."
Mendengar itu, mata Rissa terlihat agak memicing, lalu kembali ke semula.
Kelly juga menatap Leira penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga, Leira adalah anak kandungnya. Mana mungkin dia tidak sayang dengannya, 'kan?
Hanya saja kepribadian putrinya ini terlalu …
Dia tidak tahu cara mendekati putrinya ini.
"Leira, katamu kemarin nggak kuliah. Ayah dan Ibu sudah diskusi, kami pikir kamu harus tetap berkuliah. Universitas dalam negeri sudah nggak memungkinkan. Kami akan mengurus supaya kamu kuliah di luar negeri."
Belum sempat Leira menjawab, Werdi sudah melanjutkan, "Kalau nggak mau kuliah juga nggak apa-apa. Keluarga Candrawira akan menjagamu seumur hidup. Tapi, siaran langsungmu itu … jangan dilakukan lagi."
Leira mendongak. ''Siaran langsung itu pekerjaanku."
"Pekerjaan macam apa, sih!" Di bawah sorot mata Hendry, suara Devan menjadi lebih kecil.
"Kalau kamu mau bekerja, kami bisa mengaturnya buatmu. Kalau kamu mau masuk dunia hiburan, kami juga punya koneksi di bidang itu." Werdi mencoba bicara baik-baik dengannya.
Dipta, yang sejak tadi tak banyak bicara, tiba-tiba membuka suara, "Kalau mau seperti Rissa yang masuk dunia hiburan, nggak masalah juga."
"Jangan lakukan siaran langsung itu lagi," putus Werdi.
Saat mereka sedang bicara, seorang pelayan datang dan berkata, "Pak, Pak Yoga dan Tuan Muda Zarren sudah datang."
Werdi segera bangkit.
Yoga dan putranya langsung masuk.
"Werdi, di mana Leira? Di mana Leira?" tanya Yoga dengan panik.
Werdi sontak bingung. Dia merasa ekspresi Yoga tak seperti orang yang datang untuk memarahi dan menegur Leira.
Meskipun begitu, dia tetap tersenyum. "Yoga, ana kecil masih nggak tahu apa-apa. Tolong maafkan dia. Sekarang, aku lagi menegur Leira. Aku jamin dia nggak akan melakukan siaran langsung lagi."
Yoga terdiam sejenak.
"Werdi, apa maksudmu?" Tatapan Yoga sontak berbinar-binar kala menangkap keberadaan Leira. "Aku suka sekali dengan siaran langsung Leira. Ceritanya sangat menarik dan hidup. Aku benar-benar suka."
Werdi pun terdiam seketika.