Bab 6
"Ayah, Ibu, jangan berpelukan dulu. Leira … bukan, Master Leira bilang, Ibu belum sembuh total."
Begitu mendengar ini, Yoga langsung panik.
Jina baru saja sadar, tentu belum mengetahui apa yang terjadi.
Yoga menjelaskan semuanya secara singkat.
Jina pun tersenyum lembut pada Leira. "Terima kasih, Liera."
Leira, terpesona dengan kecantikan dan kelembutan Jina, segera membalas dengan senyum tipis.
"Leira, bukannya istriku sudah sadar? Apa masih ada masalah?"
Leira berjalan mendekat seraya mengambil jimat yang menempel di tubuh Jina. Warna merah sinabar pada jimat sudah lenyap, mengubah kertas kuning itu menjadi abu di tangan Leira.
"Ini … kenapa bisa?" tanya Zarren, terbata-bata karena kaget.
Dia melihat cahaya keemasan menyambar jimat tersebut dengan jelas. Sekarang, bagaimana bisa menjadi begini?
"Sebenarnya, kehilangan jiwa sering terjadi pada orang biasa. Tapi, kebanyakan dari mereka akan segera mendapat jiwanya kembali," jelas Leira.
"Nyonya Jina nggak bisa kembali karena kamar ini dipenuhi aura kematian yang menghalanginya."
"Menghalangi?"
Leira mengangguk. "Ya, menghalangi. Kalau Nyonya Jina nggak pakai senjata ajaib, mungkin Nyonya sudah menjadi arwah gentayangan sekarang."
Senjata ajaib?
Jina berpikir sejenak, lalu menarik liontin giok di lehernya.
"Apakah ini?" tanya Jina.
"Ini pemberian nenekku. Katanya diturunkan seorang Master," lanjut Jina seraya mengamati liontin itu. "Oh, kenapa banyak retakan, ya?"
"Karena liontin ini melindungimu dari malapetaka," jawab Leira sambil melirik giok itu. "Tapi, Kekuatan Spiritualnya hampir habis."
Seolah-olah ingin membuktikan ucapannya, liontin itu langsung terbelah dua.
Jina tersentak.
Yoga masih diam mematung.
Sementara itu, Zarren memandangi Leira dengan raut bingung.
Dengan tenang, Leira menyilangkan tangan di belakang punggung seraya berujar, "Hancurnya liontin itu nggak terkait denganku."
Lagi pula, Leira bukan pengucap mantra yang mampu membuat segala sesuatu terjadi lewat kata-katanya saja.
"Aura hitam yang mengelilingi Nyonya Jina nggak berhubungan dengan takdirnya. Nyonya Jina punya dahi yang penuh alis jernih. Pasti dia sering berbuat baik. Seharusnya, Nyonya Jina sehat dan berumur panjang."
"Alasan aura hitam menyelimuti Nyonya Jina bukan karena orang, melainkan karena Pak Yoga."
"Aku?" tanya Yoga sambil menunjuk dirinya sendiri.
Dia pun menggeleng cepat. "Aku nggak melakukan apa-apa. Toh, aku dan istriku sangat cocok. Hubungan kami sangat baik," jelas Yoga.
Leira tersenyum tipis. "Memang, Pak Yoga dan Nyonya Jina adalah jodoh yang ditakdirkan. Seharusnya, bisa hidup bersama sampai tua hingga punya anak dan cucu."
Kata "seharusnya" itu benar-benar tepat.
"Leira, kalau ada yang mau kamu bilang, silakan." Jina menatap lembut ke arah Leira. "Apa pun ucapanmu, akan kuterima."
Kemudian, Jina menatap lembut ke arah Yoga.
Yoga ingin sekali berlutut dan bersumpah untuk membuktikan diri.
Belum sempat dia melakukannya, Leira sudah lebih dulu bicara, "Energi merah yang mengelilingi Pak Yoga sudah tahunan hadir. Artinya, Pak Yoga terjebak dalam hubungan buruk hampir 30 tahun ini."
Zarren dan Jina sontak menatap Yoga.
Yoga segera mengangkat tangan bersumpah, "Sayang, aku nggak begitu. Serius! Aku … Leira, jangan asal berbicara begitu. Ini mempertaruhkan reputasiku selama puluhan tahun!"
"Aku perkirakan ini dari wajah Pak Yoga dan aura yang terpancar dari Nyonya Jina," jelas Leira dengan serius.
"Selain itu, alasan Nyonya Jina sakit terus-menerus karena Pak Yoga terpengaruh kutukan cinta. Kutukan cinta ini nggak kena diri sendiri, tapi anak dari pasangan tersebut."
"Dulu, kutukan cinta ini sering digunakan untuk membunuh istri pertama dan anak-anaknya."
Terutama di kalangan kerajaan.
Begitu Leira selesai bicara, Yoga langsung berdiri tegak.
"Sayang, kamu nggak bisa ragukan aku! Ketulusanku padamu disaksikan oleh dunia! Kamu itu cinta pertamaku, aku sudah menyukaimu sejak remaja."
"Aku selalu mengejarmu. Katamu, aku lebih muda dua tahun dari kamu dan selalu menolakku. Bertahun-tahun aku mengejarmu! Kalau kamu curiga padaku, aku … aku …"
Sambil berkata begitu, Yoga hampir menangis pilu.
Leira tak lagi bicara.
Zarren masih terdiam.
Awalnya, Zarren ingin marah. Namun, kini justru merasa malu.
Dia sungguh tak tertarik mendengar kisah cinta masa lalu kedua orang tuanya.
Zarren hanya bisa berdeham sebelum buka suara, "Master Leira, mungkin kamu salah lihat."
Leira menggeleng tegas.
"Nggak mungkin. Bukan hanya Nyonya Jina, tapi kamu juga akan terkena kutukan cinta. Dari kecil sampai dewasa, nggak cuma punya Keberuntungan rendah, kamu juga selalu dikelilingi hubungan percintaan yang layu."
Mendengar itu, Zarren terperanjat. "Ternyata benar," gumamnya.
Sejak kecil, di antara teman-teman bermainnya, dialah yang paling sial.
Mulai dari sekawanan angsa terbang di atas kepala Zarren hingga kotoran burung mengenai kepalanya.
Setiap kali bermain suit, Zarren pasti kalah.
Tanpa terkecuali.
Yang paling penting, sebagai putra keluarga terpandang di Jiandra, baik gadis yang dia sukai maupun menyukainya tidak pernah berujung baik.
Saat ini, tatapan Zarren pada Leira mulai berubah.
"Master Leira, apa ada cara untuk mengatasi kutukan cinta ini?" tanya Zarren dengan cemas.
Yoga dan Jina ikut menatapnya penuh harap.
Leira berpikir sejenak. "Ada. Tapi, kita harus mencari orang yang terhubung dengan kutukan cinta Pak Yoga buat melakukannya."
"Cari, harus dicari. Kita cari sekarang juga," tegas Zarren seraya menepuk tangan.
Berpengalaman saat menghadapi masalah, Yoga sudah kembali terlihat tenang.
Untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, dia harus menemukan orang tersebut.
Jika tidak, bunuh diri pun tidak akan memulihkan namanya.
"Leira, bisakah kamu kasih tahu ciri-ciri orang itu?" Mustahil bagi mereka untuk mencarinya di tengah lautan manusia tanpa satu pun petunjuk.
Leira menjawab, "Berdasarkan sifatnya, orang yang menurunkan energi ini ke Pak Yoga nggak bisa jauh dari Pak Yoga. Kalau nggak, pengaruhnya pada Nyonya Jina nggak akan sebesar ini."
"Aku tahu, biar kutemukan semua orang ini secepat mungkin. Lalu, aku akan memintamu, Leira, untuk mengidentifikasi mereka," pungkas Leira.
Yoga mendengarkan dengan tenang dan berkata, "Oke, aku akan segera mencari orang itu. Nanti, tolong bantu mengenalinya, Leira."
"Hm."
"Zarren, antarkan Leira pulang. Ada sesuatu yang mau Ayah bahas sama ibumu."
Zarren melirik cemas ke arah ibunya. Mendapati sang ibu sudah mengangguk, Zarren berjalan keluar bersama Leira.
Saat mereka berdua tiba di luar dan pintu bangsal belum tertutup, terdengar suara penuh kesedihan milik Yoga dari arah bangsal.
"Kak, apa kamu meragukanku?"
"Kak, kamu tahu, kamulah yang paling kucinta seumur hidupku. Mana bisa kamu memercayai kata-kata gadis kecil itu dan meragukanku?"
"Kak …"
Plak!
Zarren segera menutup pintu seraya mengusap lengannya untuk menghapus bulu kuduknya yang meremang.