Bab 3
"Kasihan sekali sama putri Paman Yoga yang usianya masih lima tahun. Gadis kecil itu menarik-narik celananya dan panggil Ayah, tapi ayahnya nggak mau mengakui."
Begitu kata-kata itu keluar, Zarren memperhatikan ekspresi Yoga. Ekspresinya muram beberapa detik, lalu kembali normal.
Mereka berdua merupakan sepasang ayah dan anak yang sudah bertahun-tahun hidup bersama.
Zarren dapat membaca ekspresi ayahnya, menyadari sesuatu pasti sedang terjadi.
Zarren sempat berpikir, Leira hanya menyebar fitnah. Kini, dia tak begitu yakin.
"Ayah, apa … apa Ayah benar-benar punya anak di luar nikah?"
Wajah Yoga langsung terlihat kesakitan dan muram, bibirnya pun gemetar. "Anak di luar nikah bagaimana? Jangan bicara sembarangan!"
Melihat sikap sang ayah, Zarren pun memahami semuanya.
Kemarahannya lenyap, terganti dengan kekecewaan.
"Ayah, teganya Ayah begitu! Ibu sedang sakit, Ayah justru … cari wanita lain."
"Siapa wanita jalang itu? Apa sekretarismu di perusahaan? Sudah kubilang, dia punya niat buruk. Jangan-jangan Ayah sudah selingkuh sama dia!"
Yoga tak menjawab, perhatiannya tertuju pada siaran langsung Leira di ponsel Zarren.
Dia justru bergumam pelan, "Nggak mungkin, nggak mungkin. Kenapa ada yang tahu?"
Zarren langsung mencibir marah, "Kalau nggak mau ketahuan, jangan dilakukan! Kalau dilakukan, pasti akan ketahuan!"
"Zarren, ini Leira, putri keluarga Candrawira yang baru ditemukan, 'kan?"
"Siapa lagi memangnya?" Zarren tak ingin membahas orang lain sekarang. "Ayah belum menjelaskan soal putri itu."
Yoga sudah mengendalikan emosinya, ekspresinya tampak begitu dingin. "Nggak ada putri di luar nikah. Setelah bertemu Leira, aku akan kasih tahu semuanya ke kamu."
"Jangan bilang sama ibumu," titah Yoga.
Zarren tak menjawab.
Melihat ekspresi sang ayah, dia sontak terpikirkan, Leira mungkin dalam bahaya.
Benarkah ini sekadar fitnah?
Namun, reaksi ayahnya tidak terlihat membual!
"Ayah, Ayah … pergi sekarang!"
...
Zarren duduk di mobil sambil menyempatkan diri mengirim pesan di grup.
"Leira selesai. Ayahku mau ke kediaman keluarga Candrawira buat menemuinya," tulis Zarren.
Rissa cepat-cepat membalas, "Paman Yoga marah karena siaran langsung malam ini, ya? Zarren, tolong sampaikan maafku ke Paman Yoga. Leira masih belum dewasa, jangan salahkan dia."
Zarren kembali membalas, "Rissa, kamu selalu begini. Kapan kamu berhenti menjadi malaikat? Aku nggak sepertimu. Kamu bisa menoleransi Leira, tapi nggak denganku."
"Ayahku juga nggak bisa menoleransinya. Kalau kali ini dia nggak dihukum dengan benar, entah apa yang nantinya dia perbuat."
Kini, Yuki ikut menimbrung, "@Zarren yang benar saja, ayahmu yang terkenal sabar itu sampai marah?"
Karina ikut membalas, "Leira memang pantas dihukum. Hari ini, dia berani rebut gaun Rissa dan sebar fitnah soal Paman Yoga. Besok, mungkin saja dia menjual rahasia keluarga lain sebagai lelucon."
Rissa membaca grup obrolan yang ramai setelah komentar Zarren.
Sebagian besar dari mereka menghujat Leira.
Setelah berpikir sejenak, dia menggenggam ponsel, lalu mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya.
Tak menunggu lama, pintu kamar Leira diketuk.
Leira pun membuka pintu, menampilkan Werdi dan Kelly dengan wajah yang tampak marah.
Gara-gara insiden di pesta, pasangan itu merasa bersalah pada putri kandung mereka dan memikirkan cara untuk menebus kesalahan.
Namun, Leira kembali membuat masalah dalam sekejap.
Werdi tak pandai berkomunikasi dengan anak-anaknya, terutama dengan putri yang baru dia hadapi.
Dia bingung harus bersikap tegas atau lembut.
"Paman Yoga mau datang. Kamu tahu kenapa?"
"Tahu!"
Mata Werdi berkilat marah tanpa daya. "Kalau sudah tahu, kenapa masih bicara sembarangan? Kamu … sebaiknya, hentikan siaran langsungmu. Memangnya keluarga ini akan membiarkanmu kekurangan uang?"
"Ini pekerjaanku," jawab Leira acuh tak acuh.
Rissa membujuk dengan suara pelan, "Leira, siaran langsungmu itu … agak memalukan. Kalau kamu memang mau kerja dan terkenal, kamu bisa masuk dunia hiburan."
"Kak Dipta ada koneksi di dunia hiburan. Kalau kamu mau masuk sana, aku akan bicara sama dia. Pasti dia mau bantu kamu."
Leira meliriknya sekilas dengan acuh tak acuh. "Itu kakakku."
Roman wajah Rissa seketika berubah sedih.
Kelly membela Rissa dengan memberi perlakuan agak buruk pada Leira. Dia berkata, "Leira, jangan memusuhi Rissa. Dia … juga anak Ayah dan Ibu."
Dia merasa Leira tak tahu sopan santun, bahkan tak menghormati Rissa sedikit pun.
Melihat sikap acuh tak acuh Leira, Werdi menghela napas. "Paman Yoga mau datang. Tunggu di bawah."
"Nanti, minta maaf ke Paman Yoga dan bilang kalau sikap ini nggak akan kamu ulangi lagi. Paham?"
Leira tak menjawab.
Dia kembali ke kamar, mengambil jaket, lalu ikut turun ke lantai bawah.
Begitu tiba di bawah, mobil keluarga Suryadinata sudah tiba.
Yoga dan Zarren masuk beriringan, ekspresi mereka penuh emosi.
Begitu melihat Leira, Zarren langsung melompat dan menunjuk ke arahnya. "Leira, kamu nekat sekali, ya. Beraninya kamu …"
"Zarren!" tegur Yoga keras-keras. "Paman Werdi ada di sini, kamu nggak tahu aturan, ya?"
Werdi tidak tersinggung sedikit pun. "Yoga, kenapa kamu marahi Zarren? Toh, Leira yang salah. Leira, cepat minta maaf sama Paman Yoga."
Leira duduk santai di sofa sambil perlahan menikmati tehnya.
"Ada urusan apa mencariku?"
Yoga mengabaikan sikapnya. "Soal ucapanmu di siaran langsung itu, apa ada orang yang memberitahumu?"
"Ya."
"Kamu dibayar berapa?" tanya Yoga, satu-satunya dugaan kuat yang bisa dia pikirkan.
Mungkin saingan bisnisnya sengaja memanfaatkan kelemahan ini untuk membuatnya panik.
"Nggak ada yang bayar."
Yoga agak sangsi. "Leira, aku dan ayahmu ini bersahabat baik. Aku anggap kejadian ini beres. Kalau kamu butuh uang, minta saja ke Paman. Jangan terima uang sembarangan."
"Kalau nggak, aku akan tetap marah meskipun aku dan ayahmu bersahabat."
Yoga sudah terjun bertahun-tahun di dunia bisnis, wibawanya pun begitu kuat.
Biasanya, junior yang melihat sikapnya akan ketakutan, termasuk Zarren.
Tampaknya, Leira tak terpengaruh sama sekali, terus menyesap tehnya dengan tenang.
Usai mengatakan semua yang dia mau, Yoga berbalik dan hendak pergi.
Werdi menyusul dari belakang sambil meminta maaf.
Namun, saat mereka tiba di ambang pintu, suara Leira terdengar.
"Dia memintaku bertanya padamu. Apa kamu sudah membelikan hadiah ulang tahunnya?"
Langkah Yoga yang hampir mencapai pintu mendadak berhenti. Dia berbalik dan menatap Leira.
Ekspresi Leira masih tenang. "Katanya, dia nggak suka mahkota berlian itu. Dia lebih suka yang bentuknya bunga warna-warni. Kamu sudah beli dengan benar, 'kan?"
Raut wajah Yoga yang tenang pun seketika berubah begitu pilu.
Mahkota ulang tahun itu adalah rahasia antara dia dan putrinya.
Hanya keduanya yang tahu, bahkan istrinya pun tak tahu.
"Kamu … kamu lihat dia memanggilku Ayah?"
"Hm."
"Dia sudah … begitu?"
Ekspresi datar Leira agak terganggu sebelum mengangguk.
Yoga mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Tubuhnya sedikit gemetar, bahkan suaranya tercekat.
"Dia … dia baru lima tahun! Aku nggak bisa lindungi dia. Ini semua salahku. Aku terlalu sibuk sama pekerjaanku. Aku melewatkan ulang tahunnya."
Sambil berkata, Yoga membungkuk dan menangis tersedu-sedu.
Zarren terdiam kebingungan.
Melihat keluarga Candrawira sama bingungnya, kecuali Leira yang tetap tenang, sepertinya tak ada seorang pun yang tahu soal ini.
"Ayah!" seru Zarren. Dia belum pernah mendapati Yoga menangis hebat seperti ini.
Yoga meredakan emosinya, menyeka tangis di sudut mata seraya tulus berkata, "Leira, bisakah kamu bantu aku menemukannya?"
Saat Leira ingin menjawab, seketika dia menatap Yoga dan Zarren.
Dia melihat aura hitam menyelimuti kening mereka.
"Pak Yoga, istrimu nggak di rumah, ya?"
Yoga menggeleng. "Nggak ada. Kesehatannya sedang terganggu dan dirawat di rumah sakit akhir-akhir ini. Aku baru pulang dari rumah sakit."
"Kalau kamu bergegas ke rumah sakit sekarang, mungkin dia bisa selamat."
Yoga terpaku.
Zarren makin kebingungan.