Bab 14
L tidak terlihat seperti tipe yang menikmati drama seperti ini.
Nadira bangkit dengan ekspresi dingin. "Pak, ayo kita pergi. Abaikan saja gonggongan anjing liar itu."
"Dia sudah berani mengusikku. Tentu harus aku buat dia menjerit dengan menyedihkan, 'kan?"
Lily tentu tidak memahami maksud pria itu, hanya bengong dan menoleh ke arah L yang tersenyum tipis padanya, tampak begitu memikat. "Eh, jangan melamun. Ayo, pesan makanannya."
"Ayo, pesan saja sesukamu!" kata Lily percaya diri sembari melemparkan kartu hitamnya.
Dengan sikap yang anggun, L memanggil Manajer Restoran. Tatapannya yang dingin membuat Manajer merinding. "Pak, silakan pesan," ucap sang manajer penuh hormat.
"Bawa semua buku menu kalian ke sini," ujar L tegas.
Awalnya, Lily kira, restoran ini hanya memiliki dua atau tiga buku menu.
Siapa sangka, sang manajer mengeluarkan 20 buku menu. Setiap buku menu terdiri dari 20 jenis hidangan!
"Hidangkan semuanya," seru L dengan nada dingin.
"Hei, Pak Preman! Apa-apaan kamu?" Lily melotot terkejut.
"Lho? Katanya mau traktir?" balas L santai.
Lily terperangah, terlambat untuk menarik ucapannya. Apalagi, dia telah mengumumkan di grup alumni universitas dengan angkuh bahwa dia akan melakukan siaran langsung. Dengan enggan, dia menyerah. "Baiklah. Lagi pula, limit kartu yang diberikan Yohan ke Sabrina juga besar."
Tidak butuh waktu lama, sebanyak 400 hidangan disajikan di atas meja. Jika ditotal, harga seluruhnya mencapai enam miliar rupiah!
Lily langsung ketakutan sampai bibirnya gemetar. Sementara itu, L hanya tersenyum jahil. "Kamu pergi bayar saja dulu. Aku temani, yuk."
Lily, hanya berniat untuk tidur dengan L sedari awal, melihat ini sebagai peluang emas untuk makin dekat dengan pria itu dan mengikutinya ke meja kasir.
Namun, setibanya di meja kasir, kartunya tiba-tiba terblokir!
"Mohon maaf, Nona. Kartu Anda sudah diblokir karena kurang memenuhi syarat perpanjangan sebagai anggota Klub Nirvana. Kartu ini nggak bisa digunakan. Mohon dibayar secara tunai. Kalau nggak, Anda akan dianggap makan tanpa membayar dan kami akan melaporkannya sebagai tindakan kriminal," ucap Manajer Restoran itu dengan nada serius.
Lily terkejut bukan main, bagaimana mungkin kartu hitam itu tidak berlaku? "Coba periksa lagi! Mana mungkin diblokir, kartu hitam ini punya Tuan Kedua keluarga Salim, ya!"
Manajer Restoran itu tertawa sinis. 'Cuih! Lalu, kenapa kalau punya Tuan Kedua keluarga Salim?'
Manajer Restoran langsung memanggil satpam, menyeret Lily, kemudian memaksanya berdiri di hadapan Nadira.
"Anda sudah menyinggung pelanggan terhormat kami! Cepat berlutut dan minta maaf! Kalau nggak, kami akan melaporkan Anda ke polisi!" bentak Manajer.
Lily melihat Nadira dengan tatapan tidak percaya. 'Yang benar saja! Nadira sama si Preman itu sungguh pelanggan terhormat di sini?'
'Ini mustahil!'
Mata Lily melotot tidak percaya, wajahnya seketika memucat.
Saat ini, Lily tidak punya uang tunai sebanyak itu. Segala keberanian yang dia punya untuk menginjak Nadira hanya mengandalkan kartu Sabrina.
"Masih nggak mau berlutut?" Melihat tatapan tajam pelanggan terhormat itu, Manajer makin mendesak Lily.
Sementara itu, Lily hanya bisa terus berlutut dan menahan malu.
L pun hanya melirik Lily dengan malas. Sambil memasang ekspresi dingin, dia berkata pada Nadira. "Berikan ponselmu padaku."
Nadira sekali lagi terkejut dengan perubahan perilaku pria itu yang terlalu cepat. Namun, menyadari ini hanya bagian dari trik L, dia pun memberi ponsel padanya.
L mengambil ponsel itu, membuka WhatsApp, dan mengirim sebuah foto Lily tengah berlutut ke grup alumni yang sedari tadi berbunyi menunggu laporan panas terkini.
Awalnya, semua orang di grup menunggu siaran langsung dari Lily untuk mempermalukan Nadira.
Namun, berbeda dengan apa yang diharapkan, justru foto Lily sendiri yang hadir dalam posisi berlutut di depan meja Nadira! Bahkan, foto itu hanya metampakkan setengah badan Nadira yang duduk di tempatnya!
Parahnya lagi, foto itu dikirim atas nama Nadira!
Suasana grup seketika berubah tegang.
Nadira refleks melirik L. Seharusnya, pria ini mendengar ponselnya yang tidak berhenti berbunyi.
Ekspresi pria itu tampak tajam, matanya berbinar dengan kesan angkuh. Siapa pun yang melihatnya bisa menyadari aura intimidasi yang terpancar, kecuali Lily, yang bodohnya malah menilai pria itu sebagai preman.
Nadira mengangkat alisnya sambil menahan tawa dan mengetik, "Ternyata asyik juga. Makan sambil ditemani pemandangan orang berlutut padamu."
Sedari tadi, Nadira tidak menggubris isi obrolan dalam grup. Dia pun mengabaikan obrolan para tuan muda dalam grup yang ramai-ramai mengajukan "tawaran" atas dirinya.
Namun, begitu pesan itu dikirim, suasana hening nan canggung seketika menyelimuti seisi grup.
Saat itu juga, L melirik Lily dan bertanya, "Mana permintaan maafmu?"
Dengan tangan gemetar, Lily membuka percakapan di grup alumni. Matanya membelalak ketika melihat foto dirinya tersebar luas, tampak berlutut dengan wajah hina. Setiap detail di gambar itu serasa menampar harga dirinya tanpa ampun. Lily tahu, satu langkah salah bisa menjerat dirinya di bawah payung hukum. Mengabaikan rasa malu yang membakar, dia memaksa kedua tangannya yang bergetar untuk mengetik, "Nadira, maafkan aku."
Pesan itu berhasil terkirim. Hening menyelimuti grup. Meskipun tidak ada di tempat kejadian, anggota grup alumni seperti bisa mendengar isakan tertahan dan rasa putus asa dari ketikan Lily.
Hanya beberapa detik berselang, seorang tuan muda yang sebelumnya memberi tawaran kepada Nadira di grup alumni telah kembali. Dengan nada canggung, dia mengetik, "Nadira, maaf buat yang barusan, ya."
Meski tidak tahu persis apa yang terjadi, dia dapat melihat dengan jelas, Nadira mampu mempermalukan Lily di hadapan semua orang. Dari sini, muncul asumsi bahwa Nadira punya "kekuatan besar" yang mendukung dirinya.
Demi menjaga keselamatan diri, dia memilih untuk tidak mencari masalah lebih jauh.
Tidak lama berselang, anggota grup alumni yang lain mulai mengikuti langkahnya. Satu per satu meminta maaf kepada Nadira.
Nadira hanya tersenyum tipis, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya diam-diam melirik L, kini tengah berdiri tegap dengan aura berbeda. Tanpa sadar, Nadira berpikir, meski pria ini tidak banyak bicara, tetapi kehadirannya serasa membawa karisma yang memikat.
Tampak menyadari sorot mata Nadira, L tersenyum tipis. Seolah-olah ingin memanfaatkan suasana, dia memberi isyarat kepada satpam restoran.
Satpam segera bergerak dan memberikan "pelajaran kecil" pada Lily, lalu menarik tangan kanan wanita itu yang sempat berani menyentuh dagu L ke belakang.
Lily sontak berteriak kesakitan. Nadira pun bisa mendengar suara L bernada sedingin es dan penuh ancaman. "Lihat baik-baik. Seperti katamu, aku ini preman. Jadi, jangan berharap aku akan mengganti kerugianmu. Sebaiknya, kamu juga jangan coba-coba lapor polisi."
Lily sempat berniat melayangkan tatapan penuh kebencian pada L, tetapi nyalinya seketika menciut. Entah mengapa, pria berengsek itu membuat dirinya merasa begitu kecil dan lemah. Saat Nadira dan L pergi dari sana, Lily tidak mampu menahan diri lagi. Penuh amarah, dia berteriak, "Nadira, jangan kira semua ini selesai! Sabrina nggak akan biarkan kamu gitu saja!"
Namun, ancaman itu sama sekali tidak menggoyahkan Nadira. Setelah mengikuti L masuk ke mobil, dia berpikir sejenak dan tersenyum pada pria itu. "Untuk yang tadi, terima kasih sudah membelaku."
"Ya, kamu 'istriku'," balas L santai, menekankan kata "istri" dengan nada asing, tetapi penuh godaan.
Nadira tahu, pria itu hanya bercanda. Anehnya, telinganya agak merona.
Tatapan pria itu seketika kembali dingin. "Gara-gara duduk sama kamu, aku malah dianggap seorang preman."
Nadira hanya terdiam, membiarkan keluhan kecil pria itu.
Di balik semua kejadian tadi, dia tersadar akan satu hal, dugaan Yovita salah besar. L bukanlah preman, melainkan orang dengan latar belakang yang jauh lebih rumit. Bagaimana mungkin pria biasa bisa membuat Manajer Klub Nirvana tunduk seperti itu?
...
Keesokan harinya, di rumah sakit.
Lily duduk di salah satu bangku dengan wajah pucat, tangannya masih sakit akibat perlakuan satpam restoran kemarin. Dia memijat lengan sambil mengeluh dan berbincang kepada sahabatnya. "Sabrina, semua kejadian di grup alumni sudah tersebar. Sekarang, aku menjadi bahan tertawaan! Kalau Nadira mempermalukanku, itu sama dengan mempermalukanmu. Kamu harus membantuku balas dendam!"
Rahang Sabrina sontak mengeras. "Memangnya kartu hitamku kenapa?"
"Aku juga nggak tahu. Tiba-tiba terblokir. Tampaknya, sih, nggak punya hubungan sama si preman. Dia bilang sendiri memang cuma preman biasa," jawab Lily.
Mendengar itu, Sabrina tampak lebih rileks. Bagaimanapun juga, dia pikir, mustahil Nadira memiliki hubungan dengan pria kaya raya.
Kartu hitamnya pasti diblokir oleh pemilik Klub Nirvana. Sabrina heran saja. Seingatnya, dia tidak pernah menyinggung orang sehebat itu sebelumnya.
Di tengah kekesalannya, suara ponsel miliknya sontak memecah lamunan. Yohan menelepon, "Sabrina, sekarang kamu di rumah sakit nggak? Ibuku mau lihat cucunya, bagaimana kalau dia menemani kamu buat periksa kehamilan?"
Nada bicara Yohan jelas terdengar senang dan penuh harap. Sebaliknya, Sabrina justru serasa tengah disambar petir.
Pikirannya berputar cepat mencari alasan. Dia segera memasang suara manja, pura-pura bersikap manis. "Kak Yohan, nggak usah buru-buru, deh! Bayi kita belum genap tiga bulan. Sekarang masih terlalu kecil buat dilihat. Tunggu sampai lebih besar, ya? Nanti kita periksa bareng."
"Tapi ..."
Sabrina sudah lebih dulu memotong ucapannya. "Hoek! Kak Yohan, aku ... aku mual lagi ..." keluh Sabrina.
"Hmm, ya sudah. Pergi saja. Tunggu aku selesai, nanti biar kutemani."
Sabrina asal mengiakan, langsung mematikan panggilan, lalu mendesah panjang.
Lily, yang duduk di sampingnya, bertanya dengan raut prihatin. "Sabrina, anakmu ..."
Awalnya, Sabrina sengaja memalsukan kehamilannya sebagai bagian dari rencana licik supaya Yohan terdorong untuk menculik Nadira.
Namun, seiring berjalannya waktu, kebohongan itu makin sulit ditutupi. Ditambah lagi, Sabrina juga tidak berniat untuk benar-benar hamil dalam waktu dekat. Dua kali keguguran sebelumnya akibat hubungan dia dengan pria lain telah membuat tubuhnya rapuh.
'Sial!' umpatnya dalam hati.
Sabrina tiba-tiba teringat sesuatu. Tatapannya menjadi tajam sebelum dia menoleh ke arah Lily, tersenyum sinis penuh arti. "Kamu ingin aku bantu balas dendam, 'kan?" tanyanya dengan nada dingin. "Cari tahu di mana Nadira berada."
Dalam pikirannya, sebuah rencana licik mulai terbayangkan. Seluruh kesalahan cukup dia timpakan pada Nadira. Bagaimanapun juga, Yohan sangat menghargai anak-anak. Lewat rancangan dusta yang matang, dia bisa membuat wanita itu menderita tanpa ampun.
Lagi pula, Sabrina sama sekali tidak khawatir. Begitu rencananya berjalan, keberadaan Nadira di dunia ini tidak akan mengancamnya lagi.
Lily pun mengerti, tersenyum jahat, lalu pergi untuk melaksanakan rencana Sabrina.
...
Sementara itu, di hotel.
Nadira diam-diam keluar dari kamar, dengan satu tujuan jelas. Dia ingin menghasut seorang pemegang saham kecil Ruby Jewelry yang serakah dan mudah dipengaruhi. Untuk memenangkan lomba perhiasan tingkat provinsi dan mengalahkan Sabrina, Nadira butuh satu orang mata-mata yang bisa diandalkan. Pria itu adalah sasaran empuk untuknya.
Dari earphone, terdengar suara Yovita yang menggerutu, "Cuih! Dasar tua bangka licik! Main dua kaki dia!"
Nadira sedang duduk di bangku lobi hotel. Saat hendak melepas kamera mini di dadanya, sinyal buruk menyebabkan panggilan Yovita terputus.
Lantas, Nadira mengambil gelas dan minum air.
Tiba-tiba, suara sepatu hak tinggi yang memantul keras di lantai terdengar mendekat.
"Eh, Kakak, kebetulan banget."
Sabrina berjalan anggun dan duduk di sampingnya. "Aku baru melakukan pemeriksaan kehamilan di rumah sakit sebelah, bayiku dan Yohan tumbuh sangat baik. Lihat, deh."
Sabrina mengeluarkan selembar surat hasil pemeriksaan kehamilan.
Sabrina berharap bisa memancing rasa cemburu Nadira. Namun, reaksi yang dia harapkan tidak kunjung datang. Nadira justru menatap datar, seolah-olah tidak peduli sama sekali.
Wajah Sabrina sontak masam. Dengan sedikit rasa frustrasi, dia menggigit bibirnya dan berkata, "Sebenarnya, aku datang untuk meminta maaf, Kak."
Nadira pun menoleh pelan, lalu tersenyum penuh sindiran. "Memangnya permintaan maaf apa yang bisa kamu beri?"