Bab 15
Sabrina menunduk susah payah, menahan malu yang membakar pipi. Suaranya terdengar agak terisak. "Kakak, maaf aku sudah rebut prestasimu kemarin."
"Aku nggak mau lomba sama kamu lagi. Aku tahu kemampuanmu jauh di atas aku."
"Bagaimanapun, kita ini satu keluarga. Ayo, kita pergi damai sama Daniel. Kebetulan, kudengar Daniel lagi ada rapat di sini."
"Begini saja, Kak. Kalau Kakak minta Daniel untuk kasih kontrak besar itu padaku dan aku berhasil menyenangkan Yohan, aku akan setuju dengan permintaanmu. Aku akan langsung membiarkanmu kembali ke Ruby Jewelry sebagai Wakil Direktur Utama. Gimana?"
Sabrina tersenyum tipis, mencoba memancing hati Nadira.
Nadira menyipitkan matanya, tatapan dingin melintas di matanya. Bibir tipisnya mengulas senyum setenang es. Kemarin, Sabrina dan Yohan terang-terangan menjatuhkannya dari perusahaan.
Namun, sekarang? Demi satu kontrak dari Perusahaan HN, mereka berani meminta dia kembali?
Sabrina mungkin terlihat cemas, tetapi Nadira tahu, wanita itu bukan tipe yang mengakui kekalahan semudah itu.
Semuanya terasa terlalu aneh. Tanpa ragu, Nadira mengabaikan bujukan adiknya.
Melihat usahanya gagal, Sabrina mulai gelisah. Dia menarik lengan Nadira dengan cemas, suaranya berubah memohon. "Kak, ayolah. Bantu aku, dong."
Seketika itu juga, Sabrina mendengar suara langkah kaki sepatu kulit yang akrab di telinganya ...
'Bagus! Harusnya, Lily sudah datang,' batinnya dalam hati.
Tatapannya berubah dingin, lalu Sabrina tiba-tiba menarik paksa lengan Nadira!
Nadira mengernyitkan dahi dan refleks menghindar darinya.
Namun, Sabrina tiba-tiba mundur, menjatuhkan dirinya ke meja, kemudian tersungkur jatuh ke lantai!
"Ahhh! Anakku!" teriak Sabrina. Ekspresinya terlihat menahan sakit sambil memegangi perutnya. "Kakak! Kenapa kamu mendorongku?" tuduhnya sembari melempar pandangan ke sekeliling.
Nadira sontak tertegun, dia tidak mendorongnya!
Melihat darah mengalir deras dari bawah rok Sabrina, Nadira berjongkok, lalu memegang pergelangan tangan Sabrina untuk merasakan denyut nadi.
Namun, Sabrina malah menahan erat tangannya dan berteriak ke arah belakang. "Kak Yohan! Tolong aku!"
"Astaga! Sabrina!" teriak Lily, yang tiba-tiba datang bersama Yohan.
Wajah Yohan langsung pucat pasi ketika melihat darah di lantai.
Teriakan keras itu sontak menarik perhatian orang-orang di sekitar.
"Nadira, apa yang kamu lakukan?" Yohan langsung mendorong Nadira dan mengangkat Sabrina. Matanya menyalang tajam penuh amarah.
Sabrina menangis tersedu-sedu dalam pelukan Yohan. "Aku cuma mau Kakak bantu aku bilang sama CEO HN, tapi dia malah mendorongku! Aku juga kelepasan cerita soal bayi kita, sepertinya Kakak cemburu dan dia ... dia mau membunuh bayi kita! Huhu, sakit banget. Jangan-jangan, bayi kita sudah meninggal?" Suaranya penuh kesakitan, membuat Yohan makin emosional.
"Sudah, sudah, jangan nangis," bisik Yohan, menenangkan. Namun, ketika dia melihat darah di lantai, hatinya seperti tercabik-cabik.
Para tamu di sekitar mulai ikut berteriak, menatap Nadira dengan tajam. "Parah! Bisa-bisanya ada wanita sejahat itu! Keponakan sendiri malah mau dibunuh! Memang nggak punya hati!"
"Pembunuh!"
Mendengar tuduhan itu, emosi Yohan memuncak, dia segera meraih leher Nadira dengan kasar. "Dasar wanita jahat! Teganya kamu membunuh anakku! Mati saja kamu!"
Nadira menghempaskan tangan Yohan dengan kasar. Meskipun wajahnya tetap tenang, hatinya serasa tengah dihantam berkali-kali.
'Anakku, katanya. Kelihatanya, Yohan benaran sayang Sabrina,' batin Nadira, menyaksikan wujud Yohan tengah menggertakkan gigi dengan ganas, seakan-akan ingin melenyapkan dirinya.
Namun, tatapannya tertuju pada sepatu hak Sabrina setinggi sepuluh cm. Seketika, sudut bibir Nadira terangkat kecil.
"Apa yang kamu tertawakan?" bentak Yohan, sorot matanya tajam. "Lily, laporkan dia! Berani-beraninya membuat Sabrina keguguran, dia harus masuk penjara!"
Masih memasang wajah datar, Nadira mencoba menenangkan diri sambil mengelus dadanya, mengingat kembali semua yang baru terjadi. Lalu, dia perlahan bertanya, "Hei, sebaiknya kamu pastikan kembali, apa benar aku yang mendorongmu?"
"Kalau bukan kamu yang dorong, aku nggak mungkin jatuh! Kak, kamu kelewat kejam, aku selalu mengalah padamu! Tapi, anakku yang nggak berdosa ini nggak sudi kamu maafkan!" Sabrina menangis tersedu-sedu.
Mata Yohan makin kemerahan, emosinya memuncak. Dia memeluk erat Sabrina dengan hati pilu. "Sudah, jangan buang waktu bicara sama dia! Cepat, tangkap dia!"
Lily segera memanggil satpam. Kerumunan pun mulai menuding Nadira dengan kata-kata kasar.
Namun, Nadira tetap tenang. Dia mengeluarkan ponselnya dan tersenyum dingin. "Buka mata kalian lebar-lebar. Lihat bagaimana si Sabrina yang katanya lemah lembut itu terjatuh!"
Untung saja dia mendengar saran Yovita, tidak melepas kamera pengawas yang terpasang di tubuhnya.
Yohan kebingungan, tetapi tetap patuh. Saat video rekaman diputar, wajah Yohan langsung kaku.
Di layar, terlihat jelas Sabrina mencoba menarik Nadira. Namun, Nadira berhasil menghindar tepat waktu.
Sabrina jatuh dengan sendirinya, tanpa dorongan sama sekali.
Melihat itu, Sabrina pucat pasi. Dia tidak paham, bagaimana Nadira sudah menyiapkan kamera?
Nadira tersenyum sinis, tatapannya penuh arti. Sambil menatap genangan darah di lantai, dia tiba-tiba menekan Sabrina ke bawah dengan gerakan tegas!
Dalam sekejap, Nadira menarik rok Sabrina, lalu mengambil sesuatu di baliknya.
Sebuah kantong darah hadir di sana, mengejutkan semua yang melihat!
Nadira berdiri tegak, membawa kantong darah itu ke hadapan Yohan. Dia menggoyangkan kantong tersebut di depan wajah Yohan sambil tertawa mengejek. "Lihat baik-baik, Yohan. Ini anakmu! Sebuah kantong darah!"
Mata Yohan membelalak tidak percaya, terpaku pada plasma merah yang mengalir di kantong itu!
Sementara itu, wajah Sabrina berubah drastis. Kepanikan terlihat jelas di sorot matanya, wajahnya seketika pucat pasi.
Nadira tidak membuang kesempatan. Dia menyeringai tajam ketika Sabrina terlihat makin panik. "Kamu lagi kecanduan kantong darah atau bagaimana? Terakhir kali di rumah, kamu juga menuduhku pakai benda ini. Ternyata, stok kantong darahmu masih sisa, ya? Hemat banget pakainya, deh."
Sabrina pun terdiam, tidak mampu membalas. Wajahnya merah padam karena amarah yang terpendam. Jantungnya berdegap kencang, seolah-olah hendak meledak.
Di sisi lain, Yohan tampak terguncang, menatap penuh luka dan bingung. Melihat itu, Nadira tersenyum iba meskipun hatinya puas. Nada bicaranya tetap tajam di tengah penjelasannya yang tenang. "Memangnya kamu pernah lihat ibu hamil mondar-mandir pakai sepatu hak tinggi 10 cm? Barusan, waktu kuperiksa detak jantungnya, nggak ada tanda-tanda kehidupan di perutnya. Cuma dua kemungkinan, dia sudah keguguran sejak lama atau mungkin ... sama sekali nggak pernah hamil, ya?"
Nadira pun mendengus dalam hati. 'Dasar licik, mau coba menjebakku? Rasakan akibatnya sekarang. Hmph, kuhabisi kalian berdua sekaligus!'
Sambil tersenyum sinis, dia melanjutkan, "Tenang saja, Yohan. Jangan terlalu sedih dulu. Bayi kesayanganmu itu ... belum tentu anakmu."
Menyadari makna tersirat dari kalimatnya, wajah Yohan berubah serius.
Sabrina, yang tengah mencoba menenangkan diri, tersentak oleh serangan mendadak itu. Hatinya bergetar hebat, amarahnya memuncak. Dia berlutut sambil menangis tersedu-sedu kepada Yohan. "Kak Yohan! Aku nggak paham maksud Kak Nadira! Aku bersumpah cuma cinta kamu seumur hidup! Kak Nadira sudah keterlaluan! Berani sekali menuduhku seperti ini di depan banyak orang! Kalau begini, lebih baik aku mati saja!"
Mendengar tangisan pilunya, hati Yohan yang sempat keras mulai melunak. Dia menoleh lagi ke arah Nadira dengan sorot mata penuh kemarahan. "Nadira, cukup! Aku tahu betapa polosnya Sabrina. Justru kamu yang kotor! Kamu sendiri yang hamil dengan pria lain, malah berani memfitnah orang!"
Nadira hanya tersenyum tipis, begitu dingin. Dengan tenang, dia keluarkan ponselnya, membuka sebuah foto, lalu memamerkannya kepada semua orang. "Hah, mengelak terus kamu, Sabrina! Kamu, Yohan, nikmatilah hidupmu sebagai ayah palsu!"
Yohan menatap foto itu penuh rasa tidak percaya. Langkahnya mundur satu hingga matanya sontak terbelalak!
Foto itu ... memperlihatkan Sabrina berpelukan mesra dengan seorang pria di kamar hotel.
Yohan menoleh perlahan ke arah Sabrina. Ekspresi wajahnya menjadi suram dan penuh kekecewaan sekaligus amarah.
Sabrina langsung limbung. Dengan gemetar, dia menggelengkan kepala berulang kali. "Kak Yohan ... aku bisa jelaskan ..."
"Jelaskan? Jelaskan apa, Sabrina!" bentak Yohan, wajahnya merah padam. Bisikan tajam dan tudingan dari jemari para tamu membuatnya makin tertekan.
"Buset! Dia yang selingkuh, ya!" bisik seseorang, nadanya sinis. "Menyesal banget kita malah membela dia tadi, salah tuduh ke orang baik. Ternyata, kita cuma dimanfaatkan sebagai tim kompor, ya?"
"Ya, parah banget! Pacarnya juga bego, percaya saja sama tes kehamilan palsu. Eh, ujung-ujungnya anak itu hasil selingkuh sama pria lain!" tambah yang lain dengan nada menghina.
"Hamil palsu malah sengaja menyalahkan kakaknya? Ini keterlaluan, sih!" sahut seorang tamu lagi dengan suara penuh rasa muak.
Sementara itu, Nadira tetap tenang. Dia tersenyum remeh, tidak peduli kegaduhan di sekitarnya dan berbalik pergi dengan anggun.
Namun, Yohan tidak bisa mengalihkan tatapan suramnya dari tiap langkah Nadira. Matanya sempat berkilau sesaat, penuh emosi bergejolak. Dengan gerakan yang tiba-tiba, dia bangkit dan mengejar Nadira, murkanya makin membara.
...
Di depan hotel, Yohan menyusul Nadira dan meraih pergelangan tangannya.
"Mau apa lagi kamu?" tanya Nadira. Matanya menyipit begitu dingin.
"Nadira, kamu masih marah sama aku?"
Nada bicara Yohan melunak. Matanya menatap Nadira dalam-dalam, seolah-olah ingin menembus pikirannya. "Aku tahu, Nadira. Kamu sengaja cari masalah belakangan ini, kamu sengaja mengincar Sabrina. Semua ini ... karena kamu ingin rujuk denganku, 'kan?"
Yohan diam-diam mengamati Nadira dari ujung kepala hingga kaki. Harus dia akui, Nadira memang luar biasa memesona. Dalam hatinya, Yohan menyesal. Kalau waktu itu dia tidak terlalu mengandalkan kekuasaan dan posisi tingginya, mungkin hubungannya dengan Nadira tidak akan berakhir seperti ini.
Namun, sekarang, Sabrina terbukti memalsukan kehamilannya. Sementara itu, Nadira sudah menunjukkan keahliannya yang luar biasa lewat kemampuannya membawa kontrak besar ke dalam genggaman. Pikirannya mulai bergolak. Mungkin, mempertahankan Nadira adalah pilihan yang lebih baik ...
Tatapannya menjadi lebih dalam, penuh pertimbangan. Yohan pun mendekat perlahan, mencoba meraih tangan Nadira dan menariknya ke pelukan. Napasnya terasa hangat. "Aku tahu, kamu masih mencintaiku. Aku ... aku bisa kasih kamu kesempatan. Aku nggak peduli kalau kamu hamil dengan anak orang lain. Selama kamu mau dengar kata-kataku dan terus membantuku menyelesaikan beberapa urusan penting ... kita bisa mulai lagi dari awal."