Bab 13
Nadira meninggalkan celah terbuka dari pintu lemari, menampilkan sosok Sabrina yang terlihat kesal. Pria di kamar itu segera mengejarnya, suaranya meninggi. "Sabrina, aku pacar pertamamu! Setelah kamu dekat Yohan, lupa sama aku, ya?"
"Kamu mau apa lagi, sih?" balas Sabrina tajam.
"Dulu, waktu keluargaku masih kaya, kamu nggak pernah gini. Sekarang, keluargaku bangkrut dan aku nggak pegang uang. Lalu, kamu? Sudah menjadi Direktur Utama Ruby Jewelry. Bantu aku, dong. Sedikit saja!"
Raut wajah Sabrina mulai kebiruan karena menahan amarah. Akhirnya, dia melemparkan selembar cek ke arah pria itu. "Ini! Jangan pernah cari aku lagi!"
"Jangan buru-buru, sayang." Pria itu menyeringai licik, lalu memeluknya. "Ayo, ciuman dulu. Kamu makin cantik, deh."
"Pergi sana!" teriak Sabrina, lalu melangkah cepat menuju pintu.
Dari lemari, Nadira mengeluarkan ponsel. Dengan cekatan, dia mengambil beberapa foto tata letak ruangan dan merekam adegan yang berlangsung di depan matanya.
Wanita itu selalu berlagak polos di hadapan Yohan. Kenyataannya? Di balik semua itu, tersembunyi sisi asli yang penuh warna dan tipu daya.
Nadira memperlihatkan seringai dingin.
Di depan pintu, Sabrina dan pria itu sudah keluar.
Nadira segera menyimpan ponselnya. Namun, seketika dia merasa ada yang tidak beres. Ketika menoleh, tubuh tegap L hampir menempel di punggungnya.
Sekarang, Nadira menyadari betapa sempitnya lemari itu karena baru saja masuk, pinggangnya sudah digenggam oleh L.
Nadira sadar, tubuhnya membungkuk tanpa sengaja saat mengambil foto. Kini, dia menyadari punggungnya menyentuh pinggang pria itu.
Suhu tubuhnya yang hangat, aroma maskulin yang khas, bahkan kuatnya napas pria itu terasa begitu dekat.
"P-Pak?"
Nadira berbisik sambil menoleh ke arahnya. Napasnya yang hangat justru mengalir pelan, menyapu lembut jakun pria itu.
Sapuan hangat di leher membuat L menelan ludah, rahangnya mengeras saat dia berbisik, "Jangan bergerak dulu."
"Ah?" Nadira tampak canggung. Suaranya terdengar bergetar, lembut, dan agak serak.
Dia menunduk, wajahnya merah padam bagai kepiting rebus.
Tubuhnya kaku. Dia berusaha untuk bergerak perlahan keluar dari lemari. Untung saja, tidak ada siapa pun di luar.
Setelah beberapa saat, L keluar dengan alis berkerut, tampak memikirkan sesuatu. Hari ini, dia mengenakan pakaian santai. Jaket kulit membalut tubuhnya, memberi kesan lebih muda dari penampilannya yang biasa. Tanpa jas, dia terlihat lebih rileks, tetapi masih tegap dan agak nakal.
Nadira menunduk, terlalu malu menatapnya. Namun, pria itu malah berdiri di depannya, menatap wajahnya yang merona dengan senyuman tipis.
Tatapan pria itu menajam. "Ini hal normal, lho. Kalau nggak, bagaimana anak kita bisa lahir?" ucapnya santai.
"Hah?" Nadira kebingungan, tidak paham mengapa pria itu masih harus menyebutnya!
Sebuah ekspresi yang sulit Nadira pahami melintas di wajahnya.
Melihat kepanikan Nadira, bibir tipisnya melengkung, menyajikan senyum yang tidak terduga.
Nadira bergegas ke koridor, berusaha menenangkan diri. Namun, tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan layaknya gemuruh.
Mengikuti Nadira dari belakang, L langsung mendengar itu dan wajahnya sontak berubah serius. "Seharian ini kamu belum makan?"
"Kamu memperlakukan anakku seperti ini?" Nada bicaranya beralih tegas, tatapannya tertuju pada perut Nadira.
Nadira sontak panik, menoleh ke jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.
Rasa bersalah menyelimuti dirinya, dia menundukkan kepala. "Maaf, aku lupa ..."
L mengerutkan keningnya, nadanya tetap tegas. "Ayo, kita makan dulu."
Nadira tidak berani menolak. Dengan patuh, dia mengikuti pria itu menuju area restoran Klub Nirvana. Tempat itu lebih mirip paviliun mewah dengan kolam indah. Sekelilingnya begitu mewah, jauh dari kesan restoran biasa.
L tampak memeriksa menu dengan teliti, meminta pelayan menunjukkan hidangan yang aman untuk ibu hamil. Manajer restoran menyajikan satu per satu pilihan kepada pria itu penuh hormat.
Dari sisi samping, Nadira menatap penuh kekaguman. Sayangnya, wajah L tertutup topeng, membuatnya tidak bisa melihat jelas keindahan atau ketegangan di balik ekspresinya.
"Bapak nggak ikut makan?"
"Aku nggak makan menu untuk ibu hamil," jawab L singkat. Tepat setelah itu, terdengar pula suara "kruk" yang mencurigakan.
Nadira mengelus perutnya, memastikan itu bukan suara darinya, lalu lekas menoleh ke arah pria yang tinggi besar itu.
Hanya wajah sampingnya yang terlihat agak kaku, bak menyembunyikan emosi.
Nadira tertawa kecil. "Seharian ini, Bapak juga belum makan?"
Pria itu hanya diam. Tatapannya tajam dan menusuk, seolah-olah berkata, 'Berani meledekku?'
Nadira jelas tidak berani membalas. Dengan patuh, dia duduk kembali dan menggeser piring makannya ke arah pria itu.
Akhirnya, L duduk di seberang meja dengan sikap angkuh.
Hidangan yang dipesan pun mulai disajikan satu per satu. Karena belum terlalu akrab dengannya, Nadira hanya mengamati pria itu diam-diam, mengagumi caranya makan yang sangat anggun dan terjaga.
Tiba-tiba, beberapa sayuran, teratai, dan jagung dilempar ke mangkuknya.
"Pak, aku nggak suka makan ini," keluh Nadira cemberut.
"Nggak peduli, anakku suka," jawab L dengan nada datar.
Nadira hanya bisa menghela napas. 'Memangnya bayi belum sebulan di kandungan sudah punya makanan favorit?' pikirnya kesal.
'Ah, sudahlah. Toh, aku cuma dijadikan alat untuknya.'
Dengan hati penuh amarah, dia coba menikmati hidangan yang ada. Seketika, seorang wanita menghampiri meja dan berhenti di hadapan mereka. Cekrek! Wanita itu mengambil foto mereka tengah menyantap hidangan.
Tepat setelah itu, wanita itu tertawa sinis dan berkata, "Wah, Nadira, kamu masih berani makan di sini?"
Nadira mendongak, mengenali suara itu. Wanita itu adalah Lily, sahabat karib Sabrina. Bagai dua sisi koin, mereka penuh tipu daya, licik, dan berbahaya.
Lily menatap Nadira penuh kebencian. Dulu, keduanya adalah teman sekelas di kampus. Nadira yang cerdas dan mendapat beasiswa adalah primadona kampus yang selalu menjadi incaran para pemuda kaya. Salah satunya adalah pria kaya yang diincar Lily. Namun, saat menyatakan cinta di depan umum, Lily ditolak mentah-mentah.
Dendam itu membekas di hati Lily. Kini, melihat Nadira dalam kesulitan, dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk mempermalukannya.
Dengan santainya, Lily ikut duduk di meja mereka sambil mengejek, "Eh, dengar-dengar kamu diperkosa orang jahat, ya? Katanya, kamu malah menjadikan preman sebagai simpanan? Dia orangnya?"
Lily refleks melirik ke arah L dan aura mengerikan yang seketika terpancar dari pria itu mengejutkannya.
Namun, Lily segera beralih ke penampilan L dengan setelan jaket kulit, lalu membatin, 'Hmph, ke Klub Nirvana pakai jaket kulit. Orang awam mana bisa menginjakkan kaki di sini?'
'Cuih. Preman memang preman, ya.'
Lily pun melontarkan ejekan lebih lanjut. "Eh, kenapa pakai topeng? Wajah kamu jelek, ya?"
Pffft!
Nadira hampir menyemburkan air saat mendengarnya, lalu dia menoleh ragu ke arah L yang langsung menghentikan gerakan sumpitnya.
Nadira khawatir L akan marah. Tanpa pikir panjang, dia menoleh pada Lily dan menegaskan, "Lily, lebih baik kamu pergi."
"Yang harus pergi itu kamu," jawab Lily. "Seorang pengemis yang terpuruk, bawa pacar preman untuk makan gratis. Eh, bagaimana kalau aku siarkan langsung?" Lily tertawa licik sambil menggerakkan ponselnya.
Tidak lama kemudian, Nadira menerima pesan notifikasi di WhatsApp.
Membuka pesan tersebut, dia segera sadar, Lily telah membagikan foto yang baru saja diambil ke grup universitas, bertuliskan, "Perhatian semua! Lihat, nih. Sekarang, primadona kampus kita pacaran sama preman! Ini buktinya, dia lagi makan gratis. Kalian tunggu saja, nanti akan kusiarkan langsung. Biar lihat bagaimana Manajer Restoran mengusirnya!"
Setelah itu, deretan komentar jahat mulai membanjiri kolom pesan.
Dulu, Nadira adalah wanita idaman kampus yang dipuja-puja para pemuda kaya.
Sayangnya, kini, citra dirinya menjadi bahan tertawaan.
"Gila! Kenapa dia berakhir begitu, sih? Bisa-bisanya jadian sama preman, tsk tsk!"
"Waktu awal media kasih berita dia diperkosa penculik, aku sempat kasihan padanya. Tapi, sepertinya memang si Nadira yang bermasalah, ya. Dasar wanita nggak setia!"
"Buset! Daripada sama preman, tidur sama Abang, yuk!"
"Eh, Lily, sekalian tanya, dong. Harga semalam berapa?"
"Hei, katanya dia lagi hamil! Ibu hamil bisa dipatok harga berapa coba? Kubayar 20 juta rupiah saja sudah kebanyakan! Haha!"
Dengan cepat, Nadira menjadi bahan tertawaan di grup itu.
Namun, Nadira tetap cuek dan tidak bereaksi, membuat Lily makin geram dengan sikap angkuhnya. Lily langsung beranjak dan mencubit pipi Nadira, lalu mengejek, "Hei, hentikan aktingmu! Semua orang di grup sudah menganggapmu wanita penghibur yang lagi dilelang, tahu!"
Wajah L langsung masam, ekspresinya makin keras, dan suasana beralih mencekam.
Merasa superior, Lily melangkah mendekat dengan sorot mata menggoda dan berkata, "Eh, Pak Preman, kamu tahu berapa biaya makan ini, nggak? Nadira nggak punya uang sekarang, dia nggak bisa membayarkanmu!"
Dengan berani, Lily mencengkeram dagu pria itu. "Badanmu lumayan, aku yang bayar makan malam ini, deh! Ayo, ikut aku! Preman macam kamu sayang banget kalau buang-buang waktu sama Nadira!"
Lily berpikir bisa merebut perhatian pria itu untuknya, seolah-olah hanya terpikir untuk menjatuhkan Nadira dalam benaknya.
Layaknya ingin menunjukkan superioritasnya di grup obrolan universitas.
"Oh, mau traktir aku?" Pria itu pun angkat bicara, dengan nada dingin dan dalam, menggelora di udara.
Nadira terkejut saat mendengarnya.
Meskipun dia tidak tahu identitas asli L, dia tahu pria itu bukan sembarang orang. Ada kekayaan yang tersembunyi di balik sikap misteriusnya.
Melihat ketertarikannya, Lily lekas mengeluarkan kartu hitam dan menatap Nadira dengan senyum mengejek. "Ini kartu hitam dari Sabrina, dibuatkan Yohan untuknya di Klub Nirvana. Nadira, seingatku, dulu kamu sering ke sini. Kenapa Yohan nggak pernah kasih kamu kartu ini?"
Nadira menatap kartu hitam itu, matanya menyipit.
Bukan hanya enggan memberi kartu, bahkan demi menjaga citra di depan klien, Yohan sering membuatnya kelaparan. Alasannya untuk menghemat uang.
Ternyata, dia sudah lama mengurus kartu hitam untuk Sabrina di sini.
Wajah Nadira terlihat makin dingin hingga menarik perhatian L. Pria itu menyipitkan matanya, kemudian tertawa sinis dan bertanya pada Lily. "Pakai kartu hitam untuk mentraktirku makan?"
Nadira tiba-tiba tersadar. Sejujurnya, peran apa yang sedang dimainkan L?