Bab 12
Sesaat kemudian, netra pria itu menangkap arah mata wanita kecil di depannya mulai mengembara dari tulang selangka, menelusuri tubuh miliknya, hingga terhenti di bagian bawah.
Roman wajah pria itu perlahan melunak.
'Sial,' umpatnya dalam hati.
Tidak hanya wajah setampan Dewa Yunani, proporsinya juga sempurna bak pahatan patung, benar-benar sebuah karya seni hidup! Bahunya lebar membentuk segitiga terbalik yang sempurna, pinggangnya ramping, dan setiap otot perutnya tampak seperti diukir dengan teliti. Kaki panjangnya begitu kokoh dan menggoda di bawah handuk mandi yang melilit tubuh.
Nadira seketika terdiam. 'Eh, tunggu sebentar. Jangan-jangan, dia musuh bebuyutanku?'
'Kenapa bisa setampan ini, deh?'
Nadira menatapnya tidak percaya.
Air mata kekaguman perlahan jatuh, menyatu dengan senyum di sudut bibirnya. Nadira serasa hanyut dan terpana oleh pria seindah mimpi di hadapannya.
"Sudah puas melihat?" Suara rendah dan bernada dingin milik pria itu pun memecah keheningan.
"Mungkin, saking puasnya, sudah berpaling dari sesuatu?" tanya pria itu sambil menyeringai, menunjuk ke arah handuknya.
"Hah?" Nadira membelalak penuh keterkejutan.
Wajahnya langsung merah padam. Dia melihat ke sana tanpa sengaja!
"Maaf!" serunya, hendak berbalik badan.
"Nona." Pria itu menggoda, "Handukku hampir jatuh gara-gara kamu tarik, lho."
Nadira tersentak kaget hingga menunduk. 'Sinting kamu, Nadira! Kenapa tanganku malah tersangkut di handuknya, sih?' umpatnya dalam hati.
Dengan tergesa-gesa, dia ingin melepaskan. Namun, karena terlalu panik, tubuhnya hilang keseimbangan hingga dia terpeleset ke karpet tebal. Saat itu juga, handuk mandi pria itu langsung melorot dari pinggangnya.
"Ahh! Maaf!" Nadira refleks menutup mata.
"Hati-hati!" Pria itu segera meraih pinggangnya sebelum terjatuh.
Bruk! Saat kembali membuka mata, Nadira seketika terjatuh tepat di atas tubuh pria itu.
Parahnya, tangan Nadira masih mencengkeram handuk itu dan berakhir melilit punggungnya, membalut tubuh mereka berdua.
Artinya, pria itu sedang tidak berbusana sekarang!
Nadira seketika menyadari betapa canggungnya posisi mereka saat ini.
"Jangan bergerak!" Pria itu memperingatkan dengan suara serak.
Nadira tertegun. Tubuh Nadira sontak membeku, wajahnya merona.
"Aku ... aku nggak akan lihat! Handuknya pelan-pelan kuberi buat kamu!" Nadira menutup matanya erat-erat, tampak gemetaran saat mencoba menarik handuk itu.
Alih-alih menjawab, Nadira justru merasakan napas pria itu makin berat.
Nadira membuka sedikit celah matanya, lalu mendapati tatapan sang pria begitu panas membara seraya fokus pada kerah bajunya yang agak terbuka.
Nadira refleks menunduk. "Ahhh!" Dia menjerit sebelum memaki, "Dasar mesum! Lihat apa kamu!"
Dari kerah, pria itu beralih turun untuk menatap kaki wanita itu. Nadira pun mengikuti arah pandangnya. 'Rok macam apa ini, pendeknya setengah paha!'
Nadira buru-buru menutup diri dengan tangan, wajahnya makin bersemu. "Tutup matamu!" Dia memperingatkan dengan kesal.
"Kamu berpakaian begini, sengaja kasih lihat padaku, 'kan?" goda pria itu dengan nakal.
'Kamu pikir ini mauku. Aku dipaksa ganti, ya!' teriak Nadira dalam hati.
Nadira coba mengganti posisi untuk menghindari tatapan pria itu, tetapi pria itu segera memperingatkan dengan suara rendah. "Aku nggak bisa jamin wajahmu nggak akan tersentuh sesuatu, ya. Lebih baik kamu diam."
Tubuh Nadira langsung kaku, wajahnya makin merona kemerahan.
Akhirnya, pria itu mengambil alih situasi. Dia perlahan menarik handuk dari tubuh Nadira dan menggeser dirinya keluar dari kungkungannya.
Nadira segera menjauh, lalu terduduk di lantai sambil menutupi wajahnya. "Sudah ... sudah belum?"
Pria itu tersenyum melihat wajah Nadira yang merah padam bagai udang rebus.
"Berdirilah pelan-pelan," ucapnya, khawatir wanita itu kembali terpeleset.
Mendapati pria itu sudah mengenakan handuk dengan rapi, Nadira berdiri. Sedari tadi, wajah pria itu terasa tidak asing baginya.
Sembari menatap ketampanan sempurna di hadapannya, Nadira seketika teringat akan tujuan kedatangannya. "Hei, apa kamu pemilik Royal Jewel? Nama keluargamu Lionel?"
"Memangnya kamu siapa?" ucap pria itu, seolah-olah asing dan tidak kenal dengannya.
"Aku pemilik Ruby Jewelry! Musuh bebuyutanmu!" balas Nadira tidak mau kalah.
"Nggak pernah dengar," jawab pria itu santai, tetapi sorot matanya seperti menembus begitu dalam.
'Bisa-bisanya bilang nggak pernah dengar?'
'Sudah kirim surel menghina dadaku kecil! Bisa-bisanya dia bilang nggak pernah dengar?' umpat Nadira dalam hati.
Nadira ingin tertawa keras. Omongan pria itu benar-benar membuat dirinya tidak habis pikir.
"Jadi, nama belakangmu Lionel atau bukan?" Nadira kembali memastikan.
Pria itu meliriknya sekilas, memberi peringatan dengan tatapan gelapnya. "Pikirmu, aman-aman saja kalau kamu berdiri diam di sini dengan pakaian begitu? Apa kamu tertarik melihatku mengganti celana? Kalau terjadi sesuatu lagi, aku bisa membalikkan tubuh dan menindihmu."
Nadira terdiam, lalu menunduk, mendapati bahwa bajunya hampir robek!
Sementara itu, sang pria menarik handuk mandinya dengan santai ...
"Ahh! Dasar mesum!"
Dengan wajah bersemu, Nadira langsung berlari keluar kamar.
Di luar kamar, semua orang mematung ketika melihat Nadira berlari keluar, terfokus pada tubuh anggunnya.
Namun, pemandangan indah itu seketika terhalangi kehadiran pria yang dipanggil Kakak Ketiga.
Yansen cepat-cepat memindahkan pakaian, berbalik, dan melihat seorang pria tegap mengenakan topeng berjalan keluar. Kebingungan, dia pun bertanya, "Kakak Ketiga! Kenapa tiba-tiba pakai topeng?"
"Siapa yang bawa dia masuk?" tanya pria itu dengan suara rendah, begitu mengintimidasi.
Melihat wajah suram pria itu, Yansen seketika menciut dan mengacungkan tangannya perlahan, terlihat begitu canggung. "Aku ... aku yang bawa Kakak Ipar Ketiga masuk ..."
"Kamu yang suruh dia berpakaian begitu?" ketusnya.
"Kupikir karena kalian sudah pasutri, biar makin dekat hubungannya!" jelas Yansen, bersikeras dengan alasannya.
Pria itu meliriknya tajam, lalu memerintahkan Leon Hartandi di samping dirinya. "Suruh manajer wanita ambil pakaian untuknya, cepat!"
Leon, yang memakai kacamata bingkai emas, tersenyum nakal sebelum pergi untuk menjalankan tugas.
"Tuh, Kak. Kamu pasti kecewa, 'kan? Katanya, ibu hamil juga boleh ... oh! Apa kamu mau mandi air dingin dulu?" goda Yansen sembari melirik ke arah pingganggya.
Pria itu melirik sekilas, lalu berjalan penuh emosi menuju kamar mandi. Dia melepas dasinya dan langsung menyeret leher Yansen masuk.
"Maaf, maaf, Kakak Ketiga! Aku salah, aku yang salah! Omong-omong, sudah lama banget kamu nggak pakai topeng itu, kenapa tiba-tiba pakai lagi? Dulu, karena terlalu tampan, kamu harus hindari cewek-cewek gila, sekarang kenapa? Ada orang yang nggak boleh kamu temui?"
Sesaat setelahnya, Leon sudah kembali. Nadira, yang sudah mengenakan pakaian miliknya sendiri, masih berdiri tepat di depan pintu gerbang. Dia sedang menerima telepon dari Yovita sambil marah-marah. "Apanya CEO Royal Jewel! Dia cuma tukang pamer, masa yang mau ketemu sama dia harus ganti baju dulu! Dasar maniak lolita! Persetan mau minta dukunganya! Selamanya, dia musuh bebuyutanku!"
Suara manis nan manja itu membuat bibir sang pria berkedut. Tatapannya begitu mendalam dan sulit dipahami.
Leon melirik pria itu dengan sorot penuh selidik, seolah-olah ada misteri yang mengusik rasa ingin tahunya. Dengan nada rendah yang penuh minat, dia berbisik pada Yansen, "Pasti ada alasan Kakak Ketiga pakai topeng itu. Mungkin dia menghindari seseorang yang nggak boleh dia temui. Sebuah alasan yang rumit untuk dijelaskan, rahasia yang harus tetap terkubur."
"Rahasia apa?" tanya Yansen ikut penasaran.
...
Selesai berganti pakaian, Nadira masih saja menggerutu.
Tidak tahan merasakan telinganya panas mendengar ocehan Nadira, Yovita segera menyela, "Eh, memangnya wajah musuhmu itu terlihat seperti apa?"
Hal ini memang perlu Nadira akui. "Lebih cantik dariku."
"Hah? Lebih cantik dari kamu? Wah, berarti ganteng banget?" jerit Yovita.
Nadira mengerucutkan bibirnya. "Hmph. Padahal, aku berharap mukanya jelek. Eh, kurasa dia bukan keluarga Lionel. Aku tanya berkali-kali, dia nggak mau jawab!"
Tepat saat itu, dia seketika menabrak seseorang dari belakang. Saat menoleh dan mendapati pria topeng di depannya, ponselnya nyaris terjatuh.
"Lho? Kenapa Pak L bisa di sini?" tanya Nadira gugup, mengamati wajah pria itu yang terlihat murung.
Nadira langsung teringat lokasinya saat ini, tidak luput akan fakta dirinya yang baru saja berdekatan dengan seorang pria asing. Dia segera menunduk, wajah mungilnya terlihat agak gelisah.
"Siapa yang kamu harapkan berwajah jelek?" tanya L.
"Yang pasti bukan Anda, kok," jawab Nadira, mencoba tersenyum manis.
Terdiam sejenak, L meliriknya tajam. "Berani sekali, ya. Siapa yang izinkan kamu datang ke tempat kayak gini?"
"Pak, katamu, kita nggak boleh ikut campur urusan masing-masing. Aku ada urusan di sini, silakan lanjut urusanmu juga."
Aura L terlalu menyeruak, membuat Nadira mati kutu dan ingin segera pergi darinya. Namun, saat ingin berbalik, terlihat Sabrina berjalan dari kejauhan ke arah ujung koridor, lalu melangkah ke sebuah kamar pribadi!
Tidak berselang lama, seorang pria ikut masuk ke kamar yang sama.
Namun, pria itu bukanlah Yohan!
Nadira menyipitkan mata, tatapannya sedingin es. Keluarga Winata sudah menekannya begitu lama. Sekarang, kesempatan langka ini tidak boleh dia sia-siakan. Setiap bukti yang bisa menjadi bumerang harus dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai alat balas dendam.
"Pak, aku ada urusan sebentar. Permisi," pamit Nadira sebelum pergi tergesa-gesa.
Dia segera berjalan mendekat. Ruang pribadi itu terletak di ujung koridor dan sangat tersembunyi, tetapi pintunya terkunci.
Kebingungan dan kehabisan akal, tiba-tiba sosok pria tegap mendekat dari belakang, dengan santai menggunakan sebuah kartu untuk membuka pintu.
Anehnya, pintu benar-benar terbuka.
Nadira terkejut, menatap pria bertopeng tampan itu, lalu mulai menerka, "Pak L, jangan-jangan, kamu tipe orang yang menjalankan bisnis aneh-aneh di klub seperti ini?"
'Dia benar-benar punya bisnis gelap begini? Punya kunci master semua kamar supaya bisa sengaja memeras orang lain demi mendapat uang?' pikirnya.
L benar-benar tidak bisa berkata-kata. Klub ini jelas miliknya.
"Memang aku tipe orang bagaimana? Yang membuatmu gampang hamil?"
Nadira sontak mati kutu.
Keduanya diam-diam menyelinap masuk. Kamar pribadi itu sangat besar dan suara Sabrina tiba-tiba terdengar dari arah jendela.
Nadira langsung ditarik pria itu ke dalam lemari pakaian dekat pintu!