Aku benci kamu, mas
Mas Guna datang bersama Siska. Mereka duduk di sebelah kiri depan panggung. Tak henti-hentinya sorot netranya mengikuti kemana langkah kaki ini. Kilatan amarah, kebencian, cemburu terlihat jelas di wajahnya. Tapi aku tetap berusaha tenang. Seolah tak menyadari kehadiran mereka.
Tibalah saatnya kami di atas panggung. Bukan cuma mas Guna dan Siska yang memperhatikan kami. Tapi hampir seluruh tamu undangan melihat kearah kami. Kini giliran pak Al yang bersuara.
Beberapa kata sapaan sebagai pembuka kalimatnya. Satu yang membuatku sedikit terkejut adalah pernyataan cintanya.
Perlahan salah satu tangannya menggenggam jemariku seraya berkata, "aku mencintaimu, Dewi. Maukah engkau menjadi istriku, menemani hidupku dalam suka maupun duka." Jantung ini berdetak hebat, di tambah tatapan netranya lekat memandangi wajah ini.
Ku coba selusuri tiap inci wajahnya. Tak ada sedikitpun kekurangan pada pria yang kini menggenggam jemariku. Namun aku takut untuk menerimanya. Aku takut ini hanyalah sandiwara. Hingga tubuhnya sedikit mendekat dan berbisik, "aku serius dengan ucapan ku."
Seketika wajah ini memanas. Gemetar bukan karena pernyataan cinta dari pak Al. Tapi juga malu menjadi pusat perhatian orang satu gedung ini.
Aku bingung harus menjawabnya apa. Sementara hati ini masih sakit dan takut untuk menjalin hubungan lagi dengan pria lain. Sekilas ku lirik mas Guna. Tatapannya kini berubah menjadi sulit untuk diartikan. Yang ku tangkap ada sebuah pengharapan besar di dalamnya. Aku kembali memandang wajah pria yang berada di hadapanku ini. Ku coba membaca ketulusannya dari sorot netranya. Sama, aku bisa melihat cinta yang amat besar di dalamnya. Tapi aku ragu dengan diriku sendiri.
Sorakan dari tamu undangan lainya menyadarkan ki dalam lamunan.
"Ayo jawab Mbak Dewi," teriak mereka antusias.
Ya Tuhan aku harus menjawab apa. Ku tarik nafas ini dalam-dalam untuk mencari oksigen di dalamnya. Setelah beberapa saat sesak yang kurasakan. Dengan memupuk keberanian, aku pun menjawab, "Dewi mau." Sontak tepukan tangan dari mereka menyambut jawaban ku. Bu Intan langsung memeluk tubuhku. Netranya berkaca-kaca.
"Makasih ya sayang. Kamu sudah mau menerima Al. Mami seneng banget." Tak hanya itu hadiah ciuman kasih sayang pun beliau berikan padaku.
Kini ku pandangi wajah pak Al setelah aku menerima pernyataan cintanya. Raut wajah kebahagiaan jelas tergambar di sana. Dengan lembut ia mengecup jemariku yang tersemat cincin di sana. Sontak mereka semua bersorak bahagia. Seolah mereka yang sedang berada di posisi aku.
Berbagai rangkaian acara sudah dijalani. Malam pun sudah semakin larut. Pak Al mengajakku pulang.
"Sayang, kita pulang yuk?" ajaknya padaku.
Apa tadi? Dia memanggilku sayang? Sedikit aneh sih. Tapi entah kenapa hati ini berbunga-bunga mendengarnya. Aku pun menyetujuinya. Kami mulai meninggalkan ruangan itu. Satu persatu dari mereka pun turut meninggalkan tempat resepsi. Setengah perjalanan menuju ke lobi. Panggilan alam tak kuasa ku tahan. Akhirnya aku pamit pada pak Al.
"Pak, saya ke toilet dulu ya?" Ia pun mengernyit.
"Apa kamu lupa status kamu apa sekarang?" Aduh ngomong apa coba, gak ngerti deh aku.
"Saya ini bukan atasanmu lagi. Tapi kekasih mu?" Ia menegaskan hubungan kami membuat ku tersipu malu dan mengangguk patuh padanya.
"Iya. Udah ah... Saya udah nggak tahan nih. Ketoilet dulu ya." Seiring jawaban darinya aku langsung berlari mencari toilet di gedung ini.
Setelah berjalan beberapa meter. Aku pun menemukan di mana toilet itu berada. Sedikit senggang. Karena memang, satu persatu tamu undangan sudah mulai meninggalkan gedung ini. Tak mau menunggu lama lagi. Aku pun masuk disalah satu toilet wanita. Segera ku tuntaskan yang sedari tadi sudah sangat mengganggu. Beberapa menit kemudian, aku pun selesai. Sebelum keluar, aku rapikan dulu riasan ku di depan kaca. Saat semuanya sudah terlihat rapi. Aku pun keluar. Namun, ada seseorang yang membungkam ku dari luar. Pergerakannya sangat cepat. Hingga aku tak bisa melihat siapa orangnya.
Tubuhku di seret beberapa meter dari sana. Setelah itu melepaskan cengkraman tangannya dan menghempaskan tubuhku ke dinding. Kini aku bisa melihat dengan jelas siapa orang yang akan melukai ku. Sungguh aku di buat terperangah oleh pria yang bertubuh atletis dengan di balut jas berwarna biru muda. Ia menatapku penuh dengan amarah. Wajahnya merah padam. Hembusan nafasnya tak beraturan. Tangannya mengunci tubuhku bersandar di dinding.
"Mas, apa yang kamu lakukan?" tanya ku dengan suara berat.
Tak menjawab pertanyaan dari ku. Ia justru berbuat tak senonoh padaku. Ia mainkan jarinya untuk menyusuri tiap inci wajahku. Membuat bulu kudukku berdiri.
"Sepertinya tubuh mu ini memang untuk di nikmati siapapun yang menginginkannya," jawabnya masih bermain-main dengan jemarinya.
"Apa maksudmu bicara seperti itu, Mas?"
"Tak usah banyak bicara. Aku rindu saat-saat menjamah tubuhmu. Aku ingin mengulangnya kembali."
Tubuhku seketika bergetar mendengarnya. Aku tak menyangka, pria yang di hadapan ku ini menganggap diriku serendah itu.
"Lepaskan aku Mas, biarkan aku pergi." Aku berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Tapi tenaga ku tak cukup kuat untuk melakukannya. Apalagi ia semakin menyudutkan ku dengan tubuhnya yang semakin mendekat. Hingga tak ada jarak di antara kami. Gejolak amarahnya semakin meluap ditambah gairah yang mulai menguasai dirinya. Sehingga menghilangkan akal sehatnya.
Ia terus memainkan jemarinya ke wajah, telinga, kemudian turun ke leher. Tangisan ku justru meningkatkan gairahnya. Hingga bibir ini lolos di jamahnya. Ia membungkam bibirku dengan bibirnya. Sehingga aku kesulitan bernapas. Karena serangan mendadak darinya. Ia terus mengeksplor bibirnya, memainkan di dalam sana. Aku hanya bisa mengerang kesakitan karena sikap kasarnya.
Ia melepaskan panggutannya. Kemudian mengelap bibirku dengan lembut.
"Kenapa kamu tidak membalasnya, Dewi!" teriaknya dengan rahang yang mengerat.
"Apa kami sudah tidak mencintai ku?"
"Atau karena pria itu yang membuat kau tak menginginkan aku lagi." Aku hanya bisa terisak dalam tangis. Pria yang selama ini aku kenal lembut dan penyanyang. Berubah menjadi monster yang mengerikan. Yang kapan saja siap menerkam mangsanya.
"Mas, aku mohon lepaskan aku dari sini. Kamu nggak sepantasnya memperlakukan aku seperti ini," kataku mengiba.
"Aku nggak akan pernah melepaskan mu. Aku ingin mengulang kenikmatan, seperti malam itu."
Ia kembali menghimpit ku dengan tubuhnya. Bibirnya kembali menyerang ku. Tak hanya itu. Tangannya pun mulai menjalar kemana-mana. Menjamahi bagian sensitif ku. Sekuat tenaga aku mencoba kembali melepaskan diri darinya. Tapi lagi-lagi aku gagal. Ia dengan mudahnya melakukan apa yang ia inginkan.
Ia lepas kembali bibirnya. Tapi kali ini gairahnya semakin meningkat. Dengan kasar ia menarik dres yang ku kenakan. Hingga robek di bagian dada.
"Tolong Mas jangan lakukan ini padaku. Tolong!! Aku mohon hentikan ini." Aku menutupi dadaku dengan kedua tangan ini.
"Kenapa Wik? Aku rindu kamu!!? Rindu!!" ucapnya penuh gairah.
Ia kembali menyingkirkan tanganku. Dan mulai meremas-remas gunung kembar milikku. Aku semakin terisak. Tak kuasa melihat perlakuan mas Guna padaku. Hingga ku dengar suara pukulan yang keras di depanku, dan seseorang jatuh tersungkur.