Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

"Alena, semoga pernikahan kilatmu ini menghadirkan rasa bahagia." Sang guru bergumam sambil memandangi pegunungan di kejauhan. Setelah turun gunung, Alena langsung mendatangi rumah yang letaknya paling dekat dengan kaki gunung. Dia berdiri di depan pintu rumah dan membunyikan bel pintunya. Rumah berlantai tiga yang dibangun sendiri itu didekorasi dengan mewah. Pekarangan seluas hampir 100 meter persegi terletak di bagian depan, lahannya ditutupi dengan semen. Saat proses bercocok tanam sedang sibuk-sibuknya, tempat ini bisa digunakan untuk mengeringkan padi atau kacang-kacangan. Di sisi kanan rumah terdapat pula garasi yang biasanya digunakan untuk memarkir mobil BMW si pemilik rumah. Sekarang adalah bulan September, ini bukan musim bercocok tanam yang sibuk. Itu sebabnya pekarangan digunakan untuk memarkir kendaraan. Ada tiga mobil yang terparkir di halaman, salah satunya adalah mobil sedan berwarna putih yang elegan. Jalanan di Gunung Tanpa Nama sangat kecil, jadi hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Membangun jalan di pegunungan itu membutuhkan banyak uang, sementara Alena dan gurunya tidak memiliki uang sebanyak itu. Itu sebabnya mereka menitipkan mobil mereka di rumah ini. Setiap bulannya, mereka membayar biaya penitipan. Begitu mendengar bunyi bel pintu, penghuni rumah yang merupakan seorang wanita berusia 50-an pun bergegas keluar. Saat melihat yang datang adalah Alena, wanita itu langsung bertanya sambil tersenyum, "Kamu mau pergi, Alena?" "Ya, aku ada urusan di kota." Alena tidak berniat memberitahukan perihal pernikahan kilatnya kepada orang lain selain gurunya. Wanita itu pun membuka pintu yang menuju ke halaman dan berkata sambil tersenyum, "Kalau kamu berangkat lebih awal, kamu bisa ikut sama Feli. Kemarin malam dia pulang, tapi pagi-pagi tadi sudah berangkat untuk balik ke kota." Feli Kusuma dan Alena tumbuh besar bersama. Mereka adalah teman masa kecil sekaligus teman sekelas, tetapi tidak bisa dibilang bersahabat karena mereka tidak terlalu dekat. Bisa dibilang, hubungan mereka berdua adalah timbal balik. Apabila Feli sedang mengalami kesulitan dan meminta bantuan Alena, Alena pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantunya. Begitu pula sebaliknya. Saat sedang tidak ada masalah apa-apa, mereka berdua sama-sama tidak mengusik satu sama lain. Mereka bahkan tidak mengobrol di WhatsApp. "Kenapa Bibi Siana nggak kasih tahu aku kemarin malam? Kalau tahu Feli pulang, aku pasti akan turun gunung buat minum-minum dengannya." Alena suka minum. Walaupun dia tidak kuat minum, dia tetap menikmati anggur yang enak. Dia paling suka minum dua gelas. Sebenarnya, dia hanya bisa minum dua gelas. Lebih dari itu, dia pasti mabuk! Alena pun berjalan memasuki rumah Keluarga Kusuma. Saat hendak mengendarai mobilnya keluar, dia melihat sesosok hantu keluar dari dalam rumah. Itu adalah arwah nenek Feli yang baru saja meninggal sebulan yang lalu. Alena yang sudah terbiasa dengan penampakan pun sama sekali tidak takut melihat arwah Nenek Widi. Dia pun berkata kepada Nenek Widi, "Tenang saja, semua yang ada di sini baik-baik saja." Bibi Siana pikir Alena sedang berbicara dengannya, jadi dia menyahut sambil tersenyum, "Ya, aku lega sekali semuanya baik-baik saja." Namun, senyumannya perlahan lenyap saat teringat akan putrinya yang seumuran dengan Alena itu dan masih belum menikah. Dia pun berkata kepada Alena, "Bibi cemas sekali dengan Feli dan kakak laki-lakinya. Mereka berdua sama-sama nggak mau menikah. Padahal Riki sudah berusia 29 tahun, tapi dia nggak kunjung mencari pacar. Feli seumuran denganmu, tapi dia juga nggak suka sama siapa-siapa." Alena masuk ke dalam mobil di tengah keluhan Bibi Siana. Dia mengenakan sabuk pengaman, lalu berujar menghibur Bibi Siana, "Jodoh itu sudah ditakdirkan. Kalau Kak Riki ataupun Feli belum mau menikah, itu karena mereka belum ditakdirkan untuk menikah sekarang. Percuma juga Bibi merasa cemas." Bibi Siana menghela napas menanggapi ucapan Alena. "Kapan-kapan Bibi akan naik gunung menemui gurumu buat meramal takdir mereka." Alena pun menyahut sambil tersenyum, "Aku pergi dulu, ya, Bibi Siana. Dadah." Alena melambaikan tangannya kepada Bibi Siana, lalu menatap arwah Nenek Widi yang berdiri di depan pintu rumah. Alena melambaikan tangannya pula pada Nenek Widi. Arwah Nenek Widi balas melambai kepada Alena dengan ekspresi ramah. Nenek Widi sudah berpulang selama sebulan, tetapi arwahnya kadang kembali ke rumah. Itu karena dia belum lama meninggal dan dia merindukan keluarganya. Itu sebabnya dia sering pulang menemui mereka. Seiring berjalannya waktu, Nenek Widi pasti akan sulit pulang ke rumah kecuali anak dan cucunya mendoakannya. Alena pun mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Keluarga Kusuma. Setelah menutup gerbang halaman, Bibi Siana berbalik badan dan berjalan memasuki rumah. Namun, langkahnya mendadak berhenti. Dia menoleh menatap pintu utama dan bergumam dengan bingung, "Tadi Alena melambai ke arah pintu rumah." Bibi Siana yakin dia hanya sendirian di rumah saat ini. "Ah, mungkin dia cuma asal melambaikan tangan." Bibi Siana kembali bergumam menghibur diri. Dia pun masuk ke dalam rumah, sementara arwah Nenek Widi ikut berbalik badan dan mengikutinya ke dalam rumah. Setelah memasuki rumah, Nenek Widi hendak menyalakan TV, tetapi tidak bisa. Dia sudah meninggal, jadi jiwanya tidak berwujud dan merupakan sesuatu yang hampa. Dia mau tidak mau harus bergantung pada menantunya. Namun, saat menantunya itu masuk ke dapur, arwah Nenek Widi pun melayang mengikuti. Pokoknya, dia akan mengikuti menantunya ke mana-mana apabila menantunya itu belum menyalakan TV. Setelah Alena pergi, entah kenapa Bibi Siana merasakan hawa dingin di sekitarnya. Alena tidak tahu bahwa arwah Nenek Widi sedang menghantui Bibi Siana. Dia mengendarai mobilnya keluar dari desa, lalu melewati kota dan tiba di jalan tol menuju pusat Kota Dastan. Tidak lama setelah itu, Alena membelokkan mobilnya di persimpangan. Beberapa menit setelahnya, dia sudah berada di jalan raya. Kira-kira pria itu sedang ada di mana, ya? Mengendarai mobil ke pusat Kota Dastan dari arah kota membutuhkan sekitar 40 menit apabila menggunakan mobil dan melalui jalan tol. Karena dia tidak tahu di mana pria itu berada, Alena memutuskan untuk menunggu saja di Kantor Catatan Sipil. Yang harus terjadi pasti akan terjadi. Alena pun menunggu sosok pria jangkung yang akan menikah kilat dengannya di depan pintu Kantor Catatan Sipil. Satu jam kemudian. Kantor Catatan Sipil di Kota Dastan. Setelah memarkir mobilnya, Alena tidak langsung turun. Dia duduk di dalam mobil sambil diam-diam memandangi pasangan yang datang untuk mengambil buku nikah mereka. Ada juga yang datang untuk mengurus perceraian. Pasangan yang datang untuk mengambil buku nikah berarti mereka sepakat untuk memasuki dunia pernikahan, sementara pasangan yang datang untuk bercerai berarti mereka sepakat untuk mengakhiri pernikahan mereka. Memang benar yang sudah masuk ingin keluar, sementara yang berada di luar ingin masuk. Tepat pada saat itu, sebuah mobil hitam diparkir di samping mobil Alena. Si pengemudi menoleh dan mengatakan sesuatu kepada orang yang duduk di kursi belakang. Alena memperhatikan pria yang duduk di kursi belakang itu. Pria itu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendelanya, menunjukkan wajahnya yang tampan di hadapan Alena. Dia menyadari ada yang sedang menatapnya, jadi dia menoleh ke arah Alena. Penglihatan Alena yang tajam bisa melihat betapa dingin dan tajamnya sorot tatapan pria itu. Pria itu mengenakan jas berwarna hitam dengan dasi berwarna biru muda. Aura yang dingin terpancar dari tubuhnya. Auranya mengintimidasi sekali! Walaupun mereka hanya saling berpandangan, Alena langsung tahu bahwa pria ini bukanlah orang sembarangan. Jas hitam yang pria itu kenakan mengingatkan Alena pada potongan masa depan yang dia lihat. Jangan-jangan inilah pria yang akan menikah dengannya. Namun, Alena juga tidak terburu-buru. Dia memutuskan untuk mengamati situasi terlebih dulu untuk menilai apa benar pria ini sosok dalam penglihatannya atau bukan. Tiba-tiba, terdengar dering ponsel. Alena pikir itu ponselnya, jadi dia mengeluarkan dan melihat layarnya. Ternyata yang berdering bukanlah ponselnya. Justru pria di dalam mobil itu yang mengangkat ponselnya. Barulah setelah itu Alena menyadari bahwa mereka berdua memiliki dering ponsel yang sama. "Nenek nggak usah mendesakku lagi, sekarang aku sudah ada di Kantor Catatan Sipil. Kalau ada yang mau menikah denganku, aku akan membawanya pulang. Kalau dalam satu jam ini ternyata nggak ada yang mau, aku akan kembali ke perusahaan dan jangan pernah Nenek desak aku untuk menikah lagi ke depannya." Nenek Winda pun menyahut dengan kesal dari ujung telepon sana, "Jason! Kamu itu nggak punya pacar, untuk apa kamu ke Kantor Catatan Sipil, hah! Mana mungkin ada yang mendadak mau menikah denganmu! Kamu pikir istri itu turun dari langit?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.