Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Waktu menunjukkan pukul 08.00. Langit terlihat gelap dan menunjukkan tanda-tanda akan turunnya hujan lebat. "Guru, tolong berikan kartu keluarga kepadaku. Hari ini aku mau mengurus buku nikahku." Permintaan Alena Rajaswa itu sontak membuat seorang pria tua yang sedang berlatih senam terkejut. Dia tertegun menatap Alena. Gadis itu adalah bayi telantar yang dia pungut saat sedang berkeliling dunia. Waktu ditemukan, Alena nyaris mati kelaparan. Tubuh mungilnya merah dan bengkak karena digigiti semut. Dia merasa bahwa mereka berdua ditakdirkan bertemu, itu sebabnya dia mengambil Alena dan membawanya kembali ke Gunung Tanpa Nama tempat dia beristirahat dan menghabiskan hari tuanya. Saat Alena sudah bisa berjalan dan bicara, pria tua itu menyadari ada yang aneh dengan Alena. Alena sering berbicara dengan udara kosong. Saat pria tua itu bertanya, Alena bilang dia sedang berbicara dengan anak-anak lain. Alena bahkan menggambarkan rupa teman-teman bicaranya itu. Pria tua itu tahu sedikit tentang dunia gaib, dia langsung menyadari bahwa Alena bisa melihat hantu. Namun, karena Alena tidak takut ataupun jatuh sakit, pria tua itu mengizinkan Alena untuk mengobrol dan bermain dengan teman-teman tak kasat matanya itu. Lagi pula, Alena tidak punya seorang teman pun di atas gunung ini. Dia pikir kemampuan Alena itu akan lenyap dengan sendirinya setelah Alena besar nanti. Dugaannya ternyata salah. Mau berapa pun usia Alena, siang ataupun malam, dia selalu bisa melihat hantu. Bahkan kadang Alena bisa melihat hantu di siang hari bolong. Mata ketiganya itu benar-benar alami dan hebat! Bukan hanya itu, pria tua itu juga menyadari bahwa murid kesayangannya satu ini memiliki indra keenam yang sangat kuat. Untung saja hanya mereka berdua yang tinggal di atas gunung ini selama sekian tahun. Kadang suka ada yang datang ke gunung ini untuk menemui mereka. Pria tua itu pasti akan memberi tahu Alena sebelumnya untuk tidak mengatakan apa pun tentang apa yang dia lihat agar tidak menakuti orang normal. "Alena, mana mungkin kamu bisa nikah? Kamu saja nggak punya pacar." Sedetik kemudian, pria tua itu menyadari sesuatu dan dia segera bertanya pada Alena, "Apa kamu mendapat firasat? Atau habis lihat sesuatu?" "Lima menit yang lalu, tiba-tiba aku melihat sosokku dan seorang pria jangkung dengan jas hitam sedang menjalani prosedur pendaftaran pernikahan di Kantor Catatan Sipil." "Guru, tolong ambilkan kartu keluarga kita," kata Alena lagi. "Aku mau turun gunung. Aku yakin aku akan segera bertemu pria asing itu dan kami akan mengurus buku nikah kami." Alena memiliki indra keenam yang sangat kuat, apa yang dia ramal pasti akan terjadi dan tidak dapat diubah. Alena sudah berulang kali mencoba mengubah ramalan masa depan yang dia lihat, tetapi semuanya berakhir dengan kegagalan. Sejak saat itu, Alena memutuskan untuk berhenti berusaha mengubah dan menerima saja takdir yang dia lihat. "Pria asing?" Ekspresi guru Alena sontak berubah. Dia memandangi murid kesayangannya yang memang terlahir cantik dan memesona. Alena memiliki sepasang mata hitam berukuran besar yang sangat indah, walaupun sorot tatapannya terkadang begitu tajam hingga terkesan menakutkan. Setelah Alena lulus kuliah di usia 25 tahun, Alena memutuskan untuk kembali ke gunung. Dia tidak bekerja ataupun tinggal di kota besar. Gunung Tanpa Nama memiliki pemandangan yang indah, perairan biru yang cantik dan pepohonan yang rimbun. Desa di kaki gunung juga berkembang dengan pesat. Semua jalanannya terbuat dari semen, setiap rumah memiliki mobil masing-masing sehingga memudahkan perjalanan ke mana-mana. Tidak ada satu pun penduduk desa yang mengusik hidup Alena dan gurunya. Semua orang menghormati mereka. Ini semua berkat bakat meramal Alena yang sangat tepat itu, serta mata ketiga dan indra keenamnya yang luar biasa. Setiap turun gunung, Alena pasti membantu penduduk desa menangani masalah mereka. Pria tua itu sudah tinggal selama 30 tahun di gunung ini, semua orang tahu bahwa dia adalah orang sakti. Karena pria tua itu melindungi desa, tentu saja para penduduk desa juga balik melindungi pria tua itu dan muridnya. Mereka juga tidak pernah menghancurkan tanaman atau pohon apa pun di Gunung Tanpa Nama. Kelebihan Alena membuat dia hanya memiliki dua orang teman, keduanya bekerja di Kota Dastan. Mereka biasanya berkomunikasi melalui ponsel. Kadang Alena akan berkendara ke kota untuk makan malam bersama teman-temannya itu. Namun, Alena tidak memiliki pacar. Alena bilang tidak ada satu pemuda pun yang dia temui merupakan calon suaminya. Jika memang bukan, untuk apa dia repot-repot berpacaran dengan mereka? Tentu saja ucapan Alena yang mendadak ingin menikah itu membuat gurunya merasa takut. "Guru, aku nggak punya pacar. Tentu saja pernikahanku hari ini itu pernikahan kilat." "Alena, apa ramalanmu itu nggak bisa diubah?" tanya guru Alena. Pria tua itu juga sebenarnya mengkhawatirkan nasib pernikahan muridnya yang sudah berusia 25 tahun, tetapi belum memiliki calon itu. Namun, tetap saja dia juga tidak sepakat apabila muridnya menikah kilat dengan pria asing. "Nggak." "Oke, mukanya seperti apa?" Pria tua itu tahu betul bahwa apa yang Alena lihat dengan indra keenamnya pasti akan terjadi pada hari itu juga. Itulah takdir yang telah langit tetapkan. Mereka berdua sama-sama tidak mampu mengubah takdir. Alena memang terlahir dengan mata ketiga dan indra keenam yang sangat kuat, tetapi dia bukanlah seorang ahli metafisika. Walaupun sejak kecil dia sudah akrab dengan hantu, Alena tidak bisa mengubah takdir ataupun mengusir hantu. Alena yang tinggal di gunung itu akhirnya mencari nafkah dengan menulis novel secara online. Setiap bulannya, dia hanya menerima royalti sebesar enam hingga 10 juta. Selain itu, keseharian Alena yang lain adalah menanam bunga, sayuran dan buah-buahan, serta menghias taman kecil di rumah mereka hingga seindah taman umum pada biasanya. Sang guru memberi tahu Alena bahwa royalti yang dia peroleh terlalu sedikit, jadi dia menyuruh Alena untuk turun gunung dan mencari pekerjaan. Alena bilang dia sudah mencoba bekerja di perusahaan. Namun, dia terpaksa berhenti bekerja dan keluar setiap kali melihat ada arwah jahat di perusahaan itu. Setelah beberapa kali berganti pekerjaan, Alena akhirnya menyerah bekerja di perusahaan. Dia lebih memilih kembali ke gunung untuk tinggal bersama gurunya dan menjadi seorang penulis novel. Dia juga terkadang bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengikuti gurunya turun gunung untuk membantu orang lain membereskan masalah mereka. Mereka berdua tidak pusing dengan masalah makanan dan pakaian karena tinggal di gunung. Biaya hidup mereka juga tidaklah besar. Jika memang tidak ditakdirkan menjadi orang yang kaya raya dan berkuasa, ya jangan dipaksakan. Sebaliknya, jika memang ditakdirkan, jangan pernah melepaskan kesempatan bagus yang datang. Ambil kesempatan itu dan hidup secara otomatis akan meningkat drastis. "Aku nggak tahu." Sang guru sontak terdiam. Biasanya, masa depan yang Alena lihat berupa potongan kejadian selama beberapa detik dan hanya muncul satu kali. Itu sebabnya setiap kali indra keenamnya memberikan peringatan, Alena harus mengeksplorasi dan mempraktikkannya. Alena tidak bisa memprediksi masa depan secara sepenuhnya. Sekitar 10 menit kemudian. Sang guru pun mengeluarkan kartu keluarga, lalu menyerahkannya kepada Alena sambil berkata, "Kalau pria itu ternyata nggak baik, ceraikan saja dia." "'Kan harus dicoba jalani dulu baru tahu baik atau nggak," jawab Alena. "Kalau memang terbukti nggak baik, aku baru cerai." Hanya mereka berdua saja pasangan guru dan murid yang seunik ini. Prosedur mengurus buku nikah saja belum dilakukan, tetapi mereka sudah membahas soal perceraian. Alena mengambil kartu keluarga itu, lalu memasukkannya ke dalam tas tangannya yang berukuran kecil. Di dalam tas itu berisi ponselnya dan uang beberapa ratus ribu. "Guru, aku pergi dulu." "Ya, jangan lama-lama." "Oke." Alena pun berjalan menuju pintu halaman dan membuka pintu bambu. Tembok halaman rumah mereka terbuat dari bambu, jadi tentu saja pintunya juga merupakan bambu. Setelah Alena pergi, sang guru pun berusaha membantu Alena dengan meramal muridnya itu. Sayangnya, dia tidak mendapatkan hasil apa-apa. Takdir Alena sama sekali tidak terlihat jelas. Setiap kali dia mencoba meramal Alena, pasti tidak mendapatkan hasil apa-apa. Namun, mungkin juga ilmu meramalnya yang terlalu rendah. Sang guru sempat terpikir untuk mengajak Alena menemui ahli yang sesungguhnya demi melihat takdir Alena, tetapi dia takut kelebihan Alena akan ketahuan dan malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Itu sebabnya akhirnya dia tidak jadi menjalankan niatnya itu. Seperti kata Alena, hidup itu dijalani setapak demi setapak. Untuk apa repot-repot memprediksinya lebih dulu? Memangnya kenapa jika sudah tahu? Apa bisa mengubah takdir yang sudah ditetapkan langit? Begitu lahir, manusia sudah ditakdirkan untuk menghadapi badai apa pun yang menerjang. Lebih baik biarkan saja hidup mengalir apa adanya dan terima takdir yang ada. Memangnya kehidupan siapa yang tidak pernah diterpa badai? Berapa banyak orang yang hidupnya benar-benar nyaman sedari awal?
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.