Bab 4
Kerumunan terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak.
Berbicara tentang kesopanan pada mereka? Benar-benar konyol.
Kata-kata mereka pun menjadi makin kasar.
"Zaman sekarang, para wanita makin nggak tahu malu, ingin masuk ke Arjani dengan kedok sebagai pembantu supaya lebih mudah merayu, begitu?"
"Kamu juga nggak ngaca, memangnya kamu pantas mendekati Pak Samuel?"
"Hah, Vivian baru pergi beberapa hari, sudah ada yang berani mendekati Pak Samuel. Gadis sepertimu, bahkan nggak pantas jadi pembantu Vivian."
"Cepat pergi, jangan merusak pemandangan di sini."
Para tuan muda ini paling ahli dalam menindas orang lain.
Terlebih lagi, Samuel tidak menghalangi, dan melihat penampilan Rafina, tidak ada yang mengira dia punya hubungan apa pun dengan Samuel. Semua mengira dia hanyalah pembantu baru yang ingin menarik perhatian Pak Samuel.
Di tengah percakapan, pria berbaju kemeja bunga mendekat dan mendorong Rafina.
Karena membawa banyak barang, Rafina tidak sempat menghindar dan terhuyung.
Dia menarik napas dalam-dalam dan menahan amarah di dalam hatinya. Dari perkataan dan perbuatan mereka, dia merasakan ketidaksopanan, penghinaan, dan sikap meremehkan padanya.
Namun, dia tidak merasa ada yang perlu direndahkan dari dirinya.
Dia bisa menoleransi Samuel karena kasih sayang dari Kakek Thomas.
Namun, dia tidak mengenal orang-orang ini, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk berbuat sesuatu padanya.
Pria berbaju kemeja bunga itu melihat ketidakpuasan di mata Rafina, dan dengan segelas anggur di tangan, dia langsung menyiramnya ke arah Rafina.
Dalam sekejap, Rafina melepaskan ember merah mudanya dan meraih pergelangan tangan pria itu.
Anggur di gelas terpercik beberapa kali, dan beberapa tetes mengalir di sepanjang tangan Rafina.
Dengan serius, Rafina berkata, "Kalau kamu menyentuhku lagi, aku akan melawan."
Rafina memang polos dan baik hati, tetapi dia bukan penakut.
Jika orang-orang ini ingin menindasnya, dia akan benar-benar melawan.
Pernah suatu kali dia masuk ke gunung untuk mencari obat, lalu bertemu seekor babi hutan. Babi itu ingin menyerangnya, dan dia berhasil mengalahkannya meski harus patah dua tulang rusuknya.
Babi saja dia tidak takut, apalagi manusia?
Orang-orang ini tidak tahu apa yang ada di pikiran Rafina.
Jika mereka tahu bahwa dalam hati Rafina mereka bahkan tidak sebanding dengan seekor babi, mungkin mereka akan sangat marah.
Pria berbaju kemeja bunga itu mencoba menarik tangannya, namun tidak berhasil.
Tangan kecil di depannya itu ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa.
Rafina merasakan pria itu berusaha melepaskan diri. Di juga tidak ingin bertemu kedua kalinya langsung membuat keributan di hadapan Samuel karena itu akan membuatnya terlihat tidak anggun.
Jadi, Rafina pun melepaskan tangannya. Namun, karena pria itu sedang menarik diri dengan keras, begitu Rafina melepas, dia terjatuh dengan keras ke lantai, dan anggur membasahi tubuhnya, membuatnya tampak sangat berantakan.
Suasana tiba-tiba menjadi hening.
Rafina tampak tak bersalah. Sungguh, dia tidak sengaja melakukannya.
Saat itu, Samuel tiba-tiba berbicara, "Berisik sekali. Raf … siapa namamu, minta maaf."
Samuel bahkan tidak mengingat nama Rafina.
Nada suaranya tidak tajam, juga tidak keras, hanya berbicara begitu saja dengan sikap yang secara alami menunjukkan kekuatan yang tidak bisa dibantah.
Namun, Rafina membantah, "Aku nggak salah, kenapa harus minta maaf?"
Suasana makin hening.
Semua orang tampaknya tidak menyangka ada yang berani membantah Samuel secara langsung.
Apakah gadis kampungan ini cari mati?
Samuel sering kali tampak santai, seolah tidak mempermasalahkan apa pun, tetapi semua orang tahu itu bukan berarti dia mudah diajak bercanda. Itu adalah wujud dari kemalasannya yang penuh dengan sifat dingin. Julukan Raja Iblis yang melekat padanya bukan tanpa alasan. Mereka yang berani memancing kemarahannya sering menghadapi akibat yang mengerikan.
Semua orang menunggu reaksi Samuel.
Namun, Samuel tidak menunjukkan emosi apa pun. Matanya setengah tertutup, terlihat sedikit mengantuk, hanya murni tidak sabar, "Minta maaf atau pergi."
Rafina menatap Samuel dengan mata yang cerah, yang kini perlahan meredup, berubah menjadi kekecewaan.
Saat ini, dia menyadari dengan jelas bahwa suaminya tidak akan membelanya.
Hubungan mereka tidak akan seperti pasangan di desa yang saling menghormati dan mengasihi.
Namun, dia tidak bisa pergi begitu saja.
Dia belum membalas budi Kakek Thomas yang kebaikannya sudah berlangsung selama bertahun-tahun, dan dia telah berjanji untuk merawat Samuel.
Akhirnya, Rafina perlahan menundukkan kepalanya, mengepalkan tangannya, dan meminta maaf dengan suara pelan, "Maaf."