Mimpi Mesum
Lita sudah mengenakan seragam sekolahnya. Kini, ia berdiri tepat di depan cermin. Sudah empat hari lamanya ia menyandang status sebagai seorang istri. Lebih tepatnya, istri yang tidak diharapkan. Begitulah yang Lita pikirkan tentang pernikahan ini.
Daniel mungkin menyesal telah menikahinya. Jika dihitung, mungkin ia sudah dua kali pingsan dalam empat hari ini. Yang pertama pingsan karena begitu gugup harus tidur seranjang dengan Daniel, dan yang kedua adalah karena ia terkena hujan.
Beberapa hari ini juga, Lita merasa aneh dengan mimpi yang kerap dialaminya di malam hari. Lebih tepatnya mimpi mesum. Tubuhnya juga memiliki tanda kemerahan di sekitar leher, bahu, dan dadanya. Lita benar-benar tidak tahu apa penyebabnya.
“Kenapa tandanya hari ini, semakin banyak dari semalam. Apa ini sebuah penyakit?”
Lita menghembuskan nafas kasar. Lebih baik, ia segera bergegas jika tidak pasti akan terlambat.
“Aku harus cepat. Jika tidak, aku akan ketinggalan bus. Untung saja, haltenya lebih dekat dari sini. Tidak sia-sia aku kemarin berjalan menyusuri daerah ini. Jika tidak, aku pasti tidak akan tahu di mana letak haltenya.”
Lita langsung mengunci rumahnya. Karena ia sangat yakin, jika suaminya pasti sudah berangkat kerja sedari tadi dan akan pulang larut.
“Astaga. Sudah jam tujuh!” ucapnya sedikit panik. Lita langsung berlari-lari sekuat tenaga. Dia bahkan lupa jika tubuhnya belum terlalu pulih.
***
Lita terlihat asyik membaca novelnya seorang diri di kelas. Dirinya memang tidak punya banyak teman. Mengingat, ia yang begitu sulit bergaul dengan yang lain. Temannya bahkan hanya ada dua saja. Itupun, Lita tidak terlalu banyak berkomunikasi dengan keduanya.
“Ya ampun! Princess kita ini begitu asyik dengan novelnya sampai melupakan jadwal makannya ternyata,” ucap pria yang berseragam sama dengan Lita. Tanpa merasa canggung, pria itu menaruhkan satu tangannya di bahu Lita.
“Kamu benar Arkan. Lihatlah, wajahnya begitu pucat.” Gadis itu duduk tepat di depan Lita sambil meletakkan satu bungkus roti dan sekotak susu strawberry.
Lita tersenyum kecil. “Terima kasih, Arkan, Lisna.”
Senyum keduanya mengembang dan langsung mencubit pipi Lita dengan gemas.
“Di makan dulu rotinya. Hitung-hitung untuk tambah tenaga menghadapi mata pelajaran yang akan menguras otak nantinya,” ujar Lisna.
Lita tertawa kecil. Ia pun menutup novelnya dan menatap keduanya bergantian. Lita tak pernah menyangka jika dirinya akan mendapatkan kedua teman yang begitu baik dan perhatian di masa SMA nya. Baru di SMA inilah, Lita mempunyai teman. Mungkin, Tuhan begitu mengasihi dirinya.
Arkan meraih roti itu dan membuka bungkusnya. Setelah itu, mencubit bagian kue dan disodorkan ke arah Lita. Lita membuka mulutnya dan menerima suapan dari Arkan. Hal itu sudah sangat biasa sekali.
Arkan selalu saja menyuapinya. Mengingat dirinya yang memang sangat suka sekali dengan yang namanya disuapi.
“Cih! Kamu tuh ya Kan. Aku pasti nggak boleh nyuapi Lita. Kamu bertindak seolah-olah kayak pacarnya tau!” Lisna mendengus sebal.
Lita hanya terkekeh geli dan terus menerima suapan demi suapan dari Arkan. Arkan hanya memutar bola matanya malas mendengar perkataan Lisna.
‘Terima kasih Tuhan. Telah memberikan Lita teman sebaik mereka.’
***
Daniel merasa begitu tidak tenang. Ia masih begitu kepikiran dengan keadaan Lita yang berada di rumah seorang diri saja. Tidak ada satu pekerjaan yang beres dikerjakannya kali ini. Pikirannya hanya tertuju kepada Lita seorang.
“Aku harus pulang sekarang juga.”
Daniel berjalan begitu tergesa-gesa sampai ia tidak sadar menabrak papanya sendiri.
“Daniel, kamu mau ke mana, Nak?” tanya Anton begitu kebingungan.
Daniel menggigit bibirnya sedikit kuat. Ia bingung harus berkata apa yang saat ini tengah menunggu jawaban darinya.
Papanya itu tidak tahu jika ia sudah menikah dengan Lita. Anton merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang putra.
“Ayo ke ruanganmu. Ada sesuatu yang ingin Papa pastikan kepadamu,” perintah Anton.
‘Papa ingin memastikan apa?’
Dengan langkah gontai, Daniel pun mengikuti langkah sang Papa yang datang begitu tiba-tiba di kantornya.
Di ruangan.
Anton menatap sang anak dengan sangat intens. Ia rela jauh-jauh datang ke mari. Daniel terlihat begitu gelisah. Bukan karena kehadiran Papanya saat ini. Namun, ia masih begitu kepikiran dengan istri kecilnya itu.
‘Semoga Lita baik-baik saja.’
“Ada apa Daniel? Kenapa wajahmu terlihat begitu cemas?” tanya Anton menyelidik.
“Ah. Tidak ada Pa,” dustanya.
“Kamu tidak sedang berbohong kan?”
“Ti-dak, Pa.”
Anton mengela nafas. Ia sangat tahu jika anaknya itu tengah berbohong. Tapi, ya sudahlah. Mungkin hal itu begitu privasi sampai sang anak tidak ingin memberitahukannya kepada dirinya.
“Papa ingin kamu menikah,” ucap Anton pada akhirnya.
“Maksud Papa?”
“Daniel, kamu itu sudah hampir kepala empat. Kakakmu saja sudah memiliki anak yang begitu besar.”
“Tapi, Pa.”
“Tidak ada tapi-tapian. Papa sudah memikirkan ini matang-matang.”
“Kamu akan Papa nikahkan dengan Lita, anaknya Dicky.”
“Kenapa harus Lita Pa. Lita itu masih begitu kecil. Tidak cocok dengan Daniel.”
“Lita itu adalah gadis yang baik. Dia pasti bisa memberikan kebahagiaan untukmu.”
‘Kenapa semua orang begitu memaksakan aku menikah dengan Lita sich. Jika Papa tahu aku sudah menikah dengan Lita. Pasti dia senang sekali.’
“Pa,” panggil Daniel.
“Tidak ada penolakan untuk kali ini, Daniel. Lita itu masih muda. Papa yakin, dia pasti akan cepat memberikanmu keturunan. Mengingat kamu yang sudah TUA.” Anton menekankan perkataannya itu.
“Pa, Daniel ingin berterus terang.”
“Kenapa? Kamu sudah punya perempuan lain? Putuskan! Papa tidak akan merestuinya!” tegas Anton.
Daniel terlihat begitu frustasi. Kenapa Papanya itu semakin cerewet sejak bertambahnya usia. Jika diingat kembali, Papanya itu dulu tidak pernah banyak bicara apalagi cerewet seperti ini.
“Bukan.”
“Jadi apa? Kamu tidak ingin menikah untuk selamanya begitu?”
“Daniel dan Lita sudah menikah!!” teriaknya
Anton langsung terdiam. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipi Daniel. “Kamu serius??
Daniel mengangguk kecil.
Anton tertawa lebar. Ia begitu senang sekali.
“Kapan kalian menikah? Kenapa kami sampai tidak tahu?”
“Empat hari yang lalu. Kami menikah secara mendadak di rumah sakit.”
“APA??!” Pintu ruangan Daniel terbuka lebar.
Daniel mendengus sebal. Ia menatap kesal ke arah wanita cantik yang tengah mengaga itu.
“Kamu dan Lita sudah menikah?” Aca duduk di samping Daniel. Daniel mengangguk kecil.
“Kasiannya.” Aca terlihat sedikit sedih.
“Kenapa? Bunda kasihan sama Daniel karena mendapatkan istri bocah?”
“Pletak.”
Satu jitakan kuat mendarat mulus di kepala Daniel. “Tentu saja tidak!!”
Daniel mengusap-ngusap kepalanya yang begitu berdenyut. Matanya menatap tajam kepada Aca.
‘Kenapa dia suka sekali melakukan kekerasan kepada keponakannya sendiri sich!’ batin Daniel begitu dongkol.
“Aku begitu kasihan kepada Lita. Dia masih muda dan cantik. Pasti banyak pria di luaran sana yang menyukainya. Kenapa harus menikah denganmu.” Aca terlihat tidak rela. Ia sangat menyayangi sosok Lita.
“Memangnya aku kenapa?!” ucap Daniel tidak terima.
“Kamu itu udah tua, jelek. Ibaratnya nich ya, kamu itu sapi tua. Sedangkan Lita rumput muda. Kalian tidak cocok.”
Daniel mengepalkan tangannya. Rasanya ia ingin menghajar bundanya itu. Anton hanya mengulum senyumnya.
‘Mereka ini memang tidak pernah berubah. Selalu seperti anak kecil.’