Bermandikan Keringat
Suasana rumah Lita begitu meriah saat ini. Ternyata benar dugaannya tepat sasaran sekali. Para suami bucin menyusul sang istri. Untungnya, kedua pasangan pasutri itu memiliki anak yang sudah beranjak remaja seperti dirinya.
Lita hanya tersenyum kecil. Dirinya jadi tidak kesepian lagi sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi, Daniel tak kunjung pulang juga.
‘Palingan dia pulang larut lagi. Sebenarnya Om Daniel di kantor apa berada di rumah kekasihnya itu ya?’
Dari kejauhan, Angela melihat Lita yang terus memperhatikan bunda persegi yang menempel di dinding dengan sempurna. Mereka semua saat ini tengah asyik menyaksikan pertandingan sepak bola. Kecuali Lita yang masih setia duduk di pojok dekat pintu.
“Mas, aku ke sana dulu ya,” pamitnya pada sang suami. Thomas hanya mengangguk kecil.
Terlihat sekali jika dua pria itu sangat bersemangat dan antusias karena pertandingan sepak bola tersebut. Berbeda dengan Aca yang begitu menikmati cemilan yang menurutnya enaknya itu. Ia bahkan tidak sadar, jika Angela sudah beranjak dari posisinya untuk menghampiri Lita yang terlihat gelisah.
“Lita,” panggil Angela lembut.
“Eh, Kak,” sahutnya sedikit gugup.
Angela pun akhirnya duduk di samping Lita. Sofa ini ukurannya tidak luas. Hanya cukup untuk dua orang saja. Angela bahkan sedikit keheranan, kenapa ada sofa di dekat pintu masuk. Seolah-olah hal itu dibuat khusus untuk menunggui seseorang saja.
“Nungguin Daniel?”
Lita mengangguk kecil. “Iya Kak,” jawabnya seadanya.
Angela tersenyum simpul. Semakin kesini, ia merasa jika Lita semakin dewasa saja. Gadis itu terlihat seperti seorang istri sepenuhnya. Padahal, usia Lita tidak jauh dari usia anak sulungnya itu. Hanya terpaut sekitar dua tahunan saja.
“Kakak bangga sama kamu,” kata Angela kagum.
“Kakak berlebihan,” sahutnya malu-malu.
***
Daniel memasuki halaman rumahnya. Suasana begitu sunyi mengingat sekarang sudah pukul dua dini hari. Ia tidak menyangka jika sampai ketiduran di rumah Zio sahabatnya.
Sebenarnya bisa saja dirinya menginap, namun Daniel tidak tega dengan istri kecilnya itu. Lita tidak bisa berada di rumah seorang diri terutama di malam hari. Setiap Daniel pulang di larut malam begini, ia selalu mendapati Lita menangis dalam tidurnya.
Bahkan, istri kecilnya itu sampai bermandikan keringat. Karena itu, Daniel selalu memeluk Lita saat tidur walau gadis itu tidak mengetahui sama sekali. Cara tidur Lita yang seperti orang mati menjadi keberuntungan tersendiri untuknya. Karena hal itu pulalah, dirinya bisa berbuat sesuka hati kepada sosok Lita tanpa ketahuan sama sekali.
Kini, ia sudah berada di depan pintu. Daniel mengerutkan keningnya kebingungan. ‘Kenapa pintunya tidak dikunci? Apa gadis itu lupa?’
Tiba-tiba saja rasa cemas melanda dirinya saat ini. Ia takut jika sampai terjadi apa-apa dengan Lita. Dengan begitu tergesa-gesa ia memasuki rumahnya dan menaiki anak tangga untuk menuju kamar mereka.
Entah sudah berapa kali dirinya tersandung karena keadaan ruangan yang begitu gelap.
“Cklek.”
Daniel langsung berlari ke arah kasur. Dihidupkannya lampu kamar.
“Huh.” Daniel bernafas lega tatkala melihat sang istri yang tertidur dengan pulasnya.
Senyum mengembang di wajah tampannya. Ia pun langsung naik ke atas ranjang dan memeluk istri kecilnya itu.
Aroma tubuh Lita selalu memabukkan baginya juga menjadi candu. Aroma strawberry yang selalu disukainya. Jika mengingat masa lalu, Daniel lah yang selalu membalurkan lotion rasa strawberry kepada Lita kecil.
Semua yang berbau strawberry menjadi kesukaan keduanya. Kamar ini saja, dihiasi dengan pernak-pernik strawberry yang menambah kesan manis.
Daniel semakin mengeratkan pelukannya. Ia bahkan belum melepaskan jasnya sama sekali. Perlahan, ia membalikkan tubuh sang istri agar menghadap ke arahnya.
Sekarang, bisa ia lihat dengan jelas wajah istri kecilnya itu yang begitu cantik dan imut. Daniel tidak tahu kenapa jantungnya berdebar cepat seperti ini hanya karena memandangi sosok Lita. Matanya saat ini fokus ke arah bibir ranum seorang Lita.
Tak ingin membuang kesempatan, Daniel langsung melahap habis bibir itu. Sedetik kemudian, matanya melotot sempurna tatkala sang istri membalas permainannya.
‘Apakah Lita terbangun?’ Daniel sedikit panik.
Namun, kepanikan itu sirna begitu saja tatkala permainan keduanya kian memanas. Lumatan kecil yang sekarang menjadi lumatan yang begitu buas.
Tanpa Daniel sadari, jika ada sesosok yang melihat perbuatannya itu.
‘Sepertinya, aku tidak yakin jika bocah itu tidak melakukan hal itu kepada Lita. Tapi, ya sudahlah. Bagaimanapun, mereka kan sudah menikah. Jadi, hal itu sebenarnya wajar.’
Sosok itu langsung melangkahkan kakinya tatkala melihat pakaian keduanya hampir terlepas. Ditelannya salivanya dengan susah payah.
‘Brengsek! Akunya kan jadi pengen,’ umpatnya dalam hati.
Di lain sisi.
Kaisar sedikit keheranan melihat anak semata wayangnya tengah tersenyum tidak jelas di ruang baca.
‘Ada apa dengan anak itu? Aku pikir dia sudah tidur. Ini kan sudah sangat larut.’
Kaisar berjalan dengan perlahan. Dia begitu penasaran apa yang sedang dibaca oleh anaknya itu.
“Arkan.”
Arkan yang begitu terkejut langsung menoleh. “Papa?!” jawabnya begitu shock.
“Sedang baca apa kamu? Ini kan sudah larut? Besok kamu kesiangan sekolahnya,” ingatkan Kaisar selaku papa Arkan.
Arkan hanya tersenyum kikuk dan langsung menyembunyikan buku yang sedang dibacanya tadi. “Tidak ada Pa. Cuma buku biasa aja,” ucapnya gugup.
“Itu, kenapa bukunya kamu sembunyikan? Kamu sedang tidak membaca novel dewasa kan?” Kaisar menatap tajam anaknya itu.
Sontak saja, Arkan langsung menggeleng. Apa yang dituduhkan Papanya itu tidak benar sama sekali. Tidak mungkin, dirinya yang masih di bawah umur ini membaca hal yang begituan? Yang doyan baca begituan kan cuma Lisna sepupunya bukan dia.
“Tidak Pa! Arkan bukan seperti Lisna,” belanya tak terima.
Kaisar menghembuskan nafas kasar. Sebenarnya dirinya juga tidak yakin jika anaknya itu sampai membaca hal yang begituan. Anaknya masih terlalu polos.
“Jadi, kenapa kamu sembunyikan bukunya dari Papa? Sini! Papa lihat.” Mengulurkan tangannya.
“Jangan Pa. Arkan malu. Ini privasi Arkan. Siapa pun tidak boleh melihat buku ini,” jelasnya.
“Termasuk Papa?”
Arkan mengangguk takut-takut. Buku ini sangat penting untuknya.
Lagi-lagi Kaisar menghembuskan nafas kasar. Anaknya itu memang selalu tidak pernah mau terbuka kepada siapa saja. Termasuk kepada keluarga sendiri. Sampai sekarang saja, dirinya tidak pernah tahu seperti apa bentuk kamar sang anak.
Jika pergi sekolah, kunci kamar selalu di bawa oleh Arkan bahkan kunci duplikatnya juga. Pernah sekali, ia dan sang istri membuka kamar sang anak yang tidak mencurigakan sama sekali. Tetapi, Arkan mengetahuinya dan marah besar kepada mereka.
“Ya sudahlah kalau begitu. Lebih baik kamu cepat tidur sana,” ucap Kaisar pasrah.
Arkan tersenyum simpul dan berpamitan dengan sang Papa. Kaisar hanya bisa melihat sosok itu dari kejauhan.
“Kenapa kamu begitu tertutup kepada orang tua kandungmu sendiri, Nak,” lirihnya pelan.