Bajingan
Perlahan, terlihat seorang wanita yang menggeliat pelan di atas kasur putih itu. Suasana begitu hening hanya terdengar suara kicauan burung yang menandakan jika malam kini sudah berganti dengan pagi.
Lita mulai membuka matanya yang begitu berat. Sekujur tubuhnya terasa begitu remuk redam akibat pergulatan panas antara ia dan suaminya tadi malam. Entah jam berapa tepatnya mereka baru bisa berhenti.
Kepalanya terasa sangat berat karena kekurangan tidur. Lita akui yang tadi malam itu sangat menyakitkan namun luar biasa. Hal itu adalah yang pertama kali baginya. Lita bersyukur karena mahkotanya jatuh ke orang yang tepat menurutnya. Daniel adalah suami dan orang yang paling ia cintai seumur hidupnya.
Kini, Lita menolehkan kepalanya ke samping. Tidak ada sosok suami tercintanya itu. Sontak saja, hatinya merasa begitu kecewa. Lita hanya bisa tersenyum getir. Sepertinya Daniel begitu menyesal telah melakukan hal seperti itu dengannya.
Tanpa sadar, air mata gadis yang masih setia berbaring itu terjatuh begitu saja. “Hiks… Hiks… Kamu memang bodoh Lita! Bisa-bisanya kamu berpikir dengan hal itu, suamimu bisa mencintaimu. Kamu naif,” isaknya. Lita memukul-mukul tubuhnya sendiri.
Bisa dikatakan jika dirinya saat ini tak lebih seperti para jalang yang setelah melayani langsung ditinggal begitu saja. Sama sekali tidak ada harganya.
Di sisi lain.
Daniel saat ini sedang berada di bandara. Ia akan kembali ke Jakarta seorang diri tanpa sang istri. Sebut saja jika dia adalah suami brengsek yang pernah ada. Dirinya begitu merasa bersalah karena sudah menodai seorang gadis yang masih di bawah umur.
Karena tak sanggup untuk berhadapan langsung dengan sang istri. Daniel memutusakan untuk pergi diam-diam. Ia akui jika dirinya memang seorang pengecut.
‘Maafkan aku Lita. Aku sudah merusakmu,’ batin Daniel merasa begitu bersalah.
Di usapnya wajahnya itu dengan kasar. Daniel terus merutuki kebodohannya itu. “Sebenarnya siapa yang sudah memberikan obat ke dalam minumanku. Jika sampai aku menemukan pelakunya, aku bersumpah akan membunuhnya di tempat. Orang itu benar-benar bajingan sekali,” geramnya.
Ponsel Daniel bergetar. Ia merasa begitu was-was. Dia sangat takut jika Lita yang menelepon. Dengan tangan gemetar, Daniel pun mengangkat panggilan telepon tersebut dengan menutup matanya. Saking takutnya.
“Halo,” lirihnya pelan.
“…”
Seketika alis Daniel berkerut sempurna. Ia juga merasa lega sekali karena yang menelepon bukanlah Lita, istri kecilnya.
“Tidak Pa. Nanti Daniel akan menemui Papa di rumah sakit. Kami tidak bulan madu sama sekali,” ujarnya gugup.
“…”
“Tentu Pa.”
Sambungan telepon pun terputus. Daniel menatap lurus ke depan.
“Sebenarnya Papa Dicky tau dari mana jika aku dan Lita pergi ke Bandung? Dan lagi, hal penting apa yang ingin dikatakannya nanti?” kata Daniel menduga-duga.
Entah mengapa, firasat Daniel mengatakan jika itu sesuatu yang buruk. Cepat-cepat, ia menggeleng membuang semua prasangka buruknya itu.
“Tidak! Semuanya akan baik-baik saja!” meyakinkan dirinya sendiri.
***
Hari sudah menjelang sore, namun Daniel tak kunjung kembali ke kamar mereka. Lita terus saja meremas jari-jarinya saking cemasnya. Lita takut jika suaminya itu pergi meninggalkannya seorang diri karena marah.
Hingga terdengar ketukan dari luar. Wajahnya langsung sumringah. Lita langsung bergegas menuju pintu.
“Om Zio?” ucapnya sedikit kecewa.
Pria yang dipanggil Zio itu tersenyum manis dan sedikit membungkuk. Dirinya tahu, jika gadis di depannya itu kecewa karena dirinya yang datang bukan sang suami.
“Maaf mengagetkanmu Lita. Om hanya ingin menjemputmu saja.”
“Menjemput? Tanya Lita sedikit keheranan.
“Benar. Om akan mengantarkan kamu ke Bandara,” jelasnya.
“Kenapa harus ke Bandara? Apa Lita harus pulang?” tanyanya memastikan.
Zio mengangguk membenarkan. Seketika dada Lita begitu sesak rasanya. Apa ini semua perintah suaminya itu? Tapi kenapa? Apa karena pria itu menyesal telah melakukan sesuatu kepadanya?
“Om Daniel kemana? Kenapa dari tadi pagi dia tidak muncul?” Lita menatap Zio lekat. Dia butuh penjelasan dari ini semua.
Zio menatap sendu ke arah Lita. Menurutnya, nasib Lita begitu malang sekali. Bisa-bisanya gadis muda itu ditinggalkan oleh sang suami. Benar-benar suami yang tidak punya hati nurani.
“Maaf Lita. Suamimu sudah kembali ke Jakarta. Om diutus ke sini menggantikan dirinya,” ucap Zio merasa tak enak hati.
Deg.
Bak tersambar petir. Lita langsung diam mematung. Hatinya benar-benar sakit. Kenapa suaminya itu tega melakukan hal seperti itu kepadanya? Jika tau dari awal akan jadi begini. Lita tidak akan pernah menawarkan diri menemani sang suami. Dan juga, dirinya tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi.
Di sini dirinya benar-benar hancur. Mahkotanya sudah hilang di usia yang begitu muda. Jika sampai Daniel menceraikannya nantinya. Akan seperti apa kehidupannya kedepannya.
Zio yang benar-benar iba hanya bisa mengusap-ngusap bahu Lita memberikan semangat kepada gadis muda itu.
Seandainya ia di posisi Lita. Ia pasti akan merasakan kesedihan yang mendalam sama seperti Lita. ‘Daniel benar-benar sudah jahat sekali dengan gadis kecil ini. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa mungkin sesuatu yang begitu besar?’ batin Zio bertanya-tanya.
“Baiklah kalau begitu Om. Lita akan berkemas sekarang juga,” lirihnya.
Pintu kamar tertutup lumayan keras. Zio yang masih setia berdiri sedikit kaget karenanya. ‘Astaga!’ Mengusap dadanya pelan.
Zio yang tidak ingin ikut campur dan ambil pusing langsung melangkahkan kakinya untuk berjalani sebentar. Daripada dirinya harus terus berdiri seperti orang bodoh begitu. Siapa tahu, dia bertemu dengan jodohnya di sini.
Dirinya terkekeh geli jika harus mengingat perihal jodoh. Umurnya sudah tidak muda lagi namun, dirinya sampai sekarang masih jomblo dan tidak pernah menjalin hubungan sama sekali seumur hidupnya.
Ia terlalu asyik dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Bisa dikatakan jika buku dan lembaran-lembaran berkas pekerjaan adalah belahan jiwanya.
Di tempat lain.
Terlihat seorang pemuda yang tengah berjalan gontai. Ia baru saja keluar dari rumah sakit menemui sang mertua yang bekerja di sana. Pemuda itu adalah Daniel Tanza Wiraatmadja.
Dirinya merasa bersalah sekali. Terutama kepada sang istri kecilnya yang ia tinggal begitu saja. Belum lagi, perkataan Dicky yang terus tergiang di kepalanya. Jika sampai mertuanya itu tahu apa yang sudah ia lakukan kepada Lita. Mungkin, dirinya akan dibinasakan saat ini juga.
“Arghhh!” erangnya frustasi.
“Daniel! Kamu tolol! Bedebah!” umpatnya kasar.
Daniel meremas rambutnya sekuat tenaga. Ia bahkan menjatuhkan dirinya ke tanah. Tidak peduli jika pakaiannya akan kotor. Pikirannya benar-benar kalut sekali.
“Aku harus memberinya obat pencegah kehamilan. Jika tidak, masa depannya akan hancur. Aku tidak ingin sampai hal itu sampai terjadi,” lirihnya.
Daniel langsung bangkit. Ia bahkan tidak melap baju dan celananya yang kotor dan berdebu. Yang ada di dalam pikirannya sekarang adalah, ia harus ke Apotek secepat mungkin.