Bab 4
Mobil Jovan berhenti di depan restoran cinta.
Ketika mereka berdua turun dari mobil dan hendak masuk ke dalam restoran, Citra tiba-tiba memberikan ponsel Jovan yang sudah dibawanya. "Ini ponselmu, tadi aku nggak sengaja bawa."
Jovan mengangguk dan menatap layar sekilas.
Beberapa saat kemudian, suasana menjadi sunyi.
Citra yang merasa begitu kalut, bertanya, "Ada apa?"
Jovan mengantongi ponselnya, lalu berkata, "Tiba-tiba ada urusan di kantor, aku mungkin nggak bisa menemanimu makan. Kali ini, kamu makan sendiri dulu, ya. Lain kali, aku pasti akan temani."
Hatinya merasa gundah gulana, Citra mengangkat sudut bibirnya. "Urusan penting, ya? Nggak bisa ditunda dulu?"
"Iya, penting." Seperti merasa bersalah, Jovan mencium pipi Citra. "Citra, lain kali, aku pasti akan menemanimu."
Setelah mengatakan itu, Jovan langsung bergegas pergi.
Citra melihat sosoknya perlahan-lahan menghilang.
Melihat itu, hati Citra terasa seperti jatuh.
Begitu dalam.
Menyentuh dasar.
Sampai tak bisa ditemukan lagi.
Tak disangka-sangka, sore harinya dia melihat unggahan status Helen.
Di dalam koleksi foto itu, ada foto makanan dan foto saat pergi ke taman bermain.
Di atasnya ada foto tangan seorang pria yang tak Helen sunting.
Tak ada seorang pun dibanding dirinya yang familier dengan tangan itu.
Tangan itu sudah pernah membelai pipinya berkali-kali, memeluk ribuan kali, dan menggenggam tangannya berulang kali.
Tangan itu selalu mengingatkannya.
Pacar yang sudah dicintainya selama delapan tahun, menolak kencan dengannya demi menemani seorang gadis jalan-jalan ke taman bermain.
Kamar menjadi begitu sunyi.
Citra memejamkan mata, mungkin kali ini, mereka harus membicarakan hal ini baik-baik.
Namun, hingga malam tiba, Jovan tak kunjung pulang.
Selagi menunggu tiba-tiba sahabatnya menelepon.
"Halo Citra, Jovan sekarang ada di trek balap dan mau berlomba dengan seseorang sampai titik darah penghabisan. Cepat datanglah ke sini untuk membujuknya pulang."
Suara itu terdengar begitu cemas, Citra mengernyitkan dahi, lalu keluar rumah dengan gelisah.
Jovan sebelumnya juga pernah balapan, tetapi semenjak mereka bersama, dia berjanji takkan balapan lagi demi keselamatannya.
Citra pergi ke trek balap dengan kecepatan penuh.
Namun, dia menyadari dirinya sudah terlambat. Jovan sudah berada di trek balap.
Kerumunan orang berkumpul di sekitar dan Helen berdiri di samping trek sembari berlinang air mata.
Dia menggenggam tangan orang orang lain. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia tiba-tiba ingin balapan?"
Sahabat Jovan sempat melirik Helen dan agak ragu untuk menjawab.
Helen berkata dengan terbata-bata, "Semua ini salahku, aku memaksanya untuk datang ke trek balap, lalu Kak Jovan membawaku kemari. Aku bertemu dengan pria yang mengajakku keluar malam ini, tapi Kak Jovan nggak setuju dan mereka pun berantem ..."
Citra langsung paham.
Ternyata, Jovan melakukan semua ini karena tak ingin Helen pergi bersama pria lain.
Meski pernah berjanji kepada dirinya takkan pernah balapan lagi, Jovan sampai rela mengingkari janji tersebut.
Dia melihat mobil yang begitu familier di trek dan mendengar suara mesin yang begitu akrab seolah-olah kembali ke delapan tahun yang lalu.
Pada waktu itu, dia membuka hati dan menerima pengakuan cinta darinya.
Tahun itu, Jovan membawanya pergi ke trek balap, lalu mengangkat dagunya dengan percaya diri.
"Citra, kalau aku bisa memenangkan balapan ini dengan selisih dua putaran, kamu harus menjadi pacarku."
Citra tahu itu adalah hal yang mustahil, jadi dia setuju.
Alhasil Jovan balapan seperti orang yang siap mati. Akhirnya, dengan kecepatan penuh, dia pun menang, tetapi harus mengalami kecelakan yang menyebabkan luka parah.
Pada saat itu, Jovan tampak sekarat.
Dia terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan luka di sekujur tubuh, tetapi tetap menggenggam tangan Citra dengan erat.
"Aku menang, sekarang kamu harus jadi pacarku."
Jovan bahkan rela kehilangan nyawa demi dirinya.
Tak bisa diungkap perasaan apa itu.
Namun, mulai muncul sebuah pemikiran di dalam benak Citra.
Mungkin, dirinya ditakdirkan bersama dengan pria ini.
Hatinya sudah membeku, jadi dia membutuhkan seseorang yang mencintainya dengan tulus.
Tepatnya, Jovan adalah pria yang rela kehilangan nyawa demi bisa bersamanya.
Pada saat itu, Citra tak mengira.
Suatu hari nanti, Jovan akan melakukan hal yang sama kepada wanita lain.
"Jovan! Kamu sudah gila, ya! Kamu mengemudi terlalu cepat!"
Teriakkan kencang sahabat Jovan yang berada di sebelah, membuat Citra tersadar.
Dia baru saja menengadahkan kepala, langsung melihat mobil balap Jovan melewati garis finis tanpa mengurangi kecepatan. Pada akhirnya, mobil itu langsung menabrak besi pembatas!
Duar!
Mobil terguling-guling beberapa meter, Helen menjerit histeris.
Seketika, Citra seperti melihat kecelakaan yang Jovan alami delapan tahun yang lalu.
...
Jovan dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi tak sadarkan diri.
Kaki kirinya terluka parah dan membuat setengah tubuh Citra berlumuran darah.
Citra hanya bisa melihat Jovan di dorong ke unit gawat darurat.
Dua jam kemudian, Jovan akhirnya keluar dari masa kritis dan dipindahkan ke ruang inap.
Sepanjang malam, dia selalu berada di sisi Jovan.
Citra tak tahu kapan Jovan akan siuman.
Pada keesokkan harinya, ketika sahabat Jovan datang menjenguk, dia melihat penampilan Citra yang begitu berantakan sembari mengenakan pakaian berlumuran darah, situasi itu membuatnya iba.
Citra adalah wanita yang cantik nan anggun, tak pernah terlihat berantakan seperti ini.
"Citra, kamu istirahat saja, mandilah dulu."
Cipratan darah di tubuh Citra sampai kering, dia mengangguk, lalu pergi dari sana.
Tanpa beristirahat, Citra hanya meminjam pakaian bersih dari perawat, mandi, lalu siap-siap kembali ke ruang inap.
Sesaat tiba di depan pintu, dia mendengar suara kesal sahabat Jovan.
"Apa yang kamu lakukan kemarin? Bisa-bisanya bertanding dengan orang lain sampai mempertaruhkan nyawa seperti itu demi Helen! Jovan, jangan pura-pura bodoh. Sebenarnya kamu menganggap Helen itu siapa?"
Citra meraih gagang pintu.
Namun, tak terdengar jawaban Jovan dari dalam ruang inap.
Sahabat Jovan menambahkan, "Bukannya kamu cinta mati sama Citra? Apa yang sebenarnya kamu lakukan?"
Kali ini, terdengar jawaban dari dalam.
Suara Jovan masih sedikit pelan dan sedikit parau.
Namun, setiap perkataannya masuk ke dalam hati Citra.
Dia menjawab, "Sudah delapan tahun, aku sudah bosan."
Citra mematung di tempat seakan darah di sekujur tubuhnya membeku.
Kemudian, dia tak bisa mendengar semua perbincangan yang terjadi di dalam ruang inap itu dengan jelas.
Sekujur tubuhnya terasa lemas.
Mungkin, dia seharusnya menendang pintu itu dengan kencang dan meminta Jovan untuk memberikan penjelasan.
Mungkin, dia seharusnya menangis histeris dan masuk ke dalam sembari mengacak-acak ruangan itu.
Namun, itu adalah hal yang akan Citra lakukan saat berusia 20 tahun.
Bukan untuk Citra yang sekarang berusia 28 tahun.
Alasan inilah yang mungkin membuat Jovan merasa bosan.
Meski hatinya terasa hancur berkeping-keping, tubuhnya terasa seperti menerima luka fatal dan bisa ambruk kapan saja. Dia tetap menjaga harga dirinya dan pergi dari sana.
Dia keluar sendirian dari rumah sakit dan pulang ke rumah.
Citra selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan sikap dingin Jovan sebagai perasaan normal setelah pasang surut rasa cintanya, dan menganggap perhatian istimewa yang diberikannya kepada Helen sebagai perhatian seorang kakak ...
Namun hari ini, dia mengungkap semua kebohongan itu.
Jovan adalah orang yang selalu mencari gairah, rasa cintanya tak mungkin bisa padam.
Hanya bisa berpindah.
Kalau tak memberinya pada Citra, maka akan dia berikan kepada orang yang lebih menarik.
Jadi ...
Sikapnya yang semakin menjadi dingin itu karena merasa bosan,
Tak ingin menikah juga karena merasa bosan,
Mencintai orang lain juga karena merasa bosan,
Dulu, Jovan selalu menganggunya sampai berhasil mendapatkan cintanya. Tetapi setelah delapan tahun berselang, dia malah merasa bosan.
Orang pertama yang menyatakan cintanya adalah dia dan orang pertama yang mengakhirinya juga dia ...
Citra, sudah dipermaikan oleh pria itu selama delapan tahun. Sungguh menggelikan!
Sesampainya di rumah, dia langsung mengemasi barang-barangnya.
Citra sudah tinggal selama delapan tahun di rumah ini, barang-barangnya begitu banyak sampai tak bisa dimasukkan ke dalam beberapa koper.
Jadi, Citra memilih untuk tak membawa apa-apa. Dia mengemasi semua barang itu dalam beberapa koper, lalu membuangnya.
Seperti berharap membuang lelucon yang sudah terjadi selama delapan tahun terakhir ini.
Hatinya terasa sangat sakit, walau seluruh tulangnya patah, dia takkan pernah bisa berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa lagi.
Akhirnya, melihat tak ada barang miliknya yang tertinggal di rumah ini lagi.
Dia mengambil ponsel dan mengirimkan pesan ke Jovan, lalu meninggalkan kunci dan menutup pintu rapat-rapat.
Di luar masih hujan dan berkabut.
Dia tak membawa payung, tak memanggil taksi, dan terlebih lagi, tak memiliki tujuan.
Hingga akhirnya, sebuah mobil berhenti di hadapannya.