Bab 3
Akhir-akhir ini, hubungan mereka agak renggang seperti perang dingin.
Jika mereka bertengkar, Jovan memang sering menggunakan cara ini untuk mencairkan suasana.
Citra melirik sekilas sembari memaksakan senyum di wajah. "Mungkin saja."
Tak lama berselang, Jovan datang dan duduk di kursi belakang.
Tahu bahwa Citra hari ini merasa tersinggung, dia langsung menggenggam tangannya. "Nggak usah dimasukkan ke dalam hati kata-kata ibuku."
Hangat tangan Jovan merambat melalui telapak tangannya, Citra juga tak ingin terus bertengkar dengan Jovan. Dia bersandar di bahu pria itu.
"Kalau gitu, bagaimana cara kita menjelaskan masalah pernikahan ini?"
Citra sengaja menunjukkan sisi lemah, membuat Jovan makin tak bisa menahan diri untuk mencium rambutnya. "Aku akan menanganinya. Kamu nggak usah khawatir."
...
Sejak mendengar perkataan asisten tentang pesta dansa, Citra sudah bersiap meluangkan waktu, bahkan rela membatalkan kompetisi.
Namun, sampai hari pesta dansa tiba, Jovan tetap tak membahas hal ini.
Melihat pria itu mengenakan jas rapi dan pergi, Citra tak mengatakan apa-apa, dia segera memakai mantel dan mengikutinya.
Setibanya di aula pesta dansa.
Tubuh Citra seketika memantung.
Jovan sebagai direktur ingin menampilkan dansa pembukaan. Tak jauh dari tengah panggung, terlihat Helen yang mengenakan gaun biru sedang berdansa dengan anggunnya di hadapan semua orang.
Gaun biru itu adalah gaun yang ditunjukkan oleh asisten.
Ternyata, Jovan bukan berniat untuk memberikan gaun itu padanya, melainkan pada Helen.
Wanita yang diinginkan Jovan untuk menjadi pasangan dansanya bukanlah dia, melainkan Helen.
Setelah dansa berakhir, seluruh lampu menyorot ke arah mereka.
Diiringi dengan tepuk tangan meriah, tak ada seorang pun yang memperhatikan Citra di pintu masuk.
Citra hanya bisa menatap Jovan, sorot mata pria itu begitu menggelora. Kemudian, matanya menatap lekat Helen, tampak ada perasaan yang bergejolak di matanya.
Helen yang telinganya memerah, tiba-tiba berkata, "Kak Jovan, bolehkah aku mencium pipimu sebagai salam perpisahan?"
Jovan terdiam seolah-olah setuju.
Kemudian, Helen mengumpulkan keberanian dan menjinjitkan kaki.
Sesaat sebelum bibir Helen menyentuh pipinya, pandangan Jovan tiba-tiba tertuju ke Citra yang berada di bawah panggung.
Sekujur tubuhnya kaku dan mendorong Helen yang berada di hadapannya secara refleks.
Citra diam menatapnya beberapa saat, lalu pergi begitu saja.
Sesaat keluar dari pintu hotel, pergelangan tangannya digenggam dengan erat.
Jovan terengah-engah mengejar dan menghentikannya.
"Citra!"
Citra memandangnya dengan acuh tak acuh. "Lepaskan!"
Dia selalu seperti ini.
Saat merasa tersakiti, takkan pernah menangis atau marah.
Malah sebaliknya, dia menyembunyikan rasa sakit hatinya dengan bersikap acuh tak acuh.
Karena kedua orang tuanya sudah meninggal, tak ada seorang pun yang bisa memberinya dukungan. Jadi, dia tak ingin menunjukkan perasaan terpuruk. Walau giginya patah dan harus menelan darah, dia akan tetap bilang baik-baik saja kepada semua orang yang ingin mencemoohnya.
Dulu, Jovan merasa iba melihat kepribadian Citra ini. Tetapi, ketika wanita itu menggunakan tatapan acuh tak acuh itu kepadanya, Jovan merasa panik.
"Dengarkan dulu penjelasanku, semua ini bukan seperti yang kamu lihat."
"Masa magang Helen akan segera berakhir, aku sudah pernah bilang kepadanya kalau bisa mendapatkan hasil yang luar biasa, aku akan mengabulkan satu permintaannya. Dia memintaku untuk mengadakan pesta dansa, ditambah akhir-akhir ini kamu sangat sibuk sampai larut malam. Karena aku khawatir kamu kecapean, jadi nggak memintamu untuk menjadi pasangan dansaku."
"Selain itu, saat dia mengatakan permintaannya barusan, aku cuma kehilangan kosentrasi sebentar karena memikirkan bagaimana cara memberinya pelajaran."
Tak lama berselang, Helen juga keluar.
Dia menangis tersedu-sedu sembari menatap Citra. "Kak Citra, maaf … karena aku tumbuh besar di luar negeri, Jadi aku menganggap cium pipi itu adalah hal yang normal. Aku cuma ingin mengucapkan salam perpisahan baik-baik dengan Kak Jovan, aku benar-benar nggak memiliki maksud lain. Kumohon jangan marah."
Helen tampak menyedihkan, dia tak terlihat seperti merasa bersalah, tetapi justru seperti orang terzalimi.
Citra tiba-tiba merasa begitu lelah.
Dari awal, Helen selalu tersedu-sedu seperti orang yang terzalimi.
Citra yang tak ingin membuat seorang gadis bersedih, terlepas dari dia percaya atau tidak. Citra hanya bisa meyakinkan dirinya untuk mempercayai penjelasan Jovan.
Jovan berhasil menenangkan Citra, kali ini dia tak mengulurkan tangan untuk menyeka air mata Helen, hanya diam dan menjaga jarak darinya.
Tak lama kemudian, Hayden datang.
Hayden tak bertanya apa-apa, hanya melihat Citra sebentar, lalu membawa Helen pergi.
Karena kejadian ini, demi menghindari kecurigaan, Helen kembali ke universitas lebih awal tanpa menunggu waktu magang resmi berakhir.
Pada malam ketika Helen pergi, Jovan pulang sangat larut. Sesampainya di rumah dia melihat Citra dan berkata, "Helen sudah pergi lebih awal."
Suaranya begitu tenang.
Namun, Citra sempat merasa seperti Jovan sedang menyalahkannya.
Menyalahkannya karena terlalu berlebihan sampai membuat Helen pergi.
Setelah hari itu, hubungan meraka terjebak dalam situasi yang begitu canggung.
Meski tak ada yang berubah, seakan-akan semuanya sudah berakhir.
Setiap hari ketika pulang ke rumah, suasana hatinya menjadi semakin kacau. Bahkan saat mereka berdua berbaring di atas ranjang, tak ada obrolan apa pun.
Jovan tak lagi tidur sembari memeluknya seperti dulu, mereka berdua hanya saling membelakangi seolah-olah sedang pisah ranjang.
Hingga suatu hari, Jovan pulang larut malam.
Namun, Citra merasa suasana hati Jovan menjadi lebih baik.
Tak lagi menunjukkan ekspresi datar dan perlahan-lahan mulai tersenyum.
Pagi hari, Jovan bangun tidur dan langsung mandi.
Citra mendengar ponsel Jovan berdering di atas meja.
Mengira ada urusan kerja, dia ingin memberikan ponsel itu kepada Jovan yang berada di kamar mandi. Tetapi ketika melihat layar ponsel, Citra seketika mematung.
Karena itu adalah pesan masuk dari Helen.
"Kak Jovan, makasih sudah mau menemaniku menghadiri pesta sekolah minggu lalu."
"Aku sudah janji mau mentraktirmu makan, cepat kemarilah!"
"Gimana kalau hari ini kita pergi jalan-jalan ke taman bermain?"
Tubuh Citra membeku, lalu diam-diam membuka riwayat obrolan mereka.
Ternyata kamis lalu, dia pulang begitu larut karena menemani Helen menghadiri pesta.
Jadi, suasana hatinya menjadi baik karena Helen?
Dia meletakkan kembali ponsel itu, lalu menoleh ke kamar mandi, suara rintikkan air terdengar samar-samar dan hatinya merasa hampa.
Saat Jovan kembali ke kamar, dia melihat Citra sedang terduduk di tepi kasur.
"Ada apa?"
Citra berkata dengan tenang. "Ada waktu luang, nggak? Kita sudah lama nggak makan bareng. Kalau ada waktu luang, mau pergi kencan hari ini?"
Jovan juga menyadari dirinya begitu acuh terhadap Citra beberapa hari terakhir ini, dia menekan dahi, lalu menyetujui ajakan tersebut.
"Oke, akan kupesankan restoran."