Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Jevin terkejut. Dia bertanya, "Enam belas tahun?" Di lingkaran sosial Jevin, alasan orang-orang begitu mengagumi Debby bukan hanya karena parasnya yang memikat, tetapi juga karena dia selalu unggul dalam prestasi akademik. Sebagai lulusan terbaik dari universitas ternama, itu adalah sesuatu yang membuatnya menjadi sorotan di kalangan wanita terpandang di Kota Hilton. Tidak ada yang bisa menyaingi keunggulannya. Dia memang pasangan yang sempurna untuk Hendry. Dalam dunia ini, kecantikan saja tidak cukup. Kecantikan yang dipadukan dengan kecerdasan, itulah kombinasi mematikan. Makin tinggi kelas sosial, makin penting pendidikan seorang wanita. Kekaguman Jevin terhadap Windy yang sempat muncul barusan, langsung sirna. Nada suaranya penuh dengan penghinaan, "Windy, kamu benar-benar berhenti sekolah waktu umur enam belas?" Windy menatap Debby yang berdiri dengan bangga, lalu tersenyum tipis. Dia menjawab, "Ya, aku memang berhenti sekolah di usia enam belas." Jevin tertawa sinis dan membalas, "Kebetulan sekali, kakakku juga berhenti sekolah waktu umur enam belas. Tapi bedanya, dia itu anak emas sejati. Di usia enam belas, dia sudah mendapatkan dua gelar master dari Handara dan mencatat sejarah. Sedangkan kamu? Enam belas tahun berhenti sekolah tanpa ijazah SMA. Hahaha!" Tawanya bergema keras, menggema di udara penuh cemoohan. Debby tetap berdiri angkuh, sementara pandangan semua orang merendahkan Windy. Hendry, dengan tubuh tinggi tegap, berdiri tak jauh dari situ. Cahaya lampu lorong memantulkan sinar ke wajah tampannya yang dingin dan penuh wibawa. Dia memandang Windy. Selama tiga tahun ini, Windy hanyalah seorang ibu rumah tangga yang selalu melayani dirinya. Wajar saja jika dia tidak memiliki pendidikan tinggi. Namun, Windy sama sekali tidak terlihat tertekan atau malu. Sebaliknya, matanya yang jernih dan cemerlang justru mengarah pada Hendry. Senyumnya lembut, tetapi penuh makna. Dia berkata, "Iya, kebetulan sekali." Iya, kebetulan sekali. Entah kenapa, hati Hendry tiba-tiba bergetar. Dia baru sadar, mata Windy sungguh indah, tatapan yang penuh kehidupan, seolah bisa berbicara. "Windy!" Tiba-tiba, Sofia berlari mendekat. Dia menatap Debby dengan geram dan menuduh, "Debby, kamu lagi-lagi mengganggu Windy, ya?" Debby mengangkat dagunya dengan angkuh dan mengelak, "Kami nggak mengganggunya. Kami malah ingin mencarikan pekerjaan untuk Windy." Sofia terkejut. Dia bertanya dengan heran, "Kalian mencarikan pekerjaan untuk Windy?" Debby melanjutkan nada "murah hati"-nya yang palsu, "Benar sekali. Walaupun Windy nggak punya ijazah dan pendidikan, kami tetap akan berusaha mencarikannya pekerjaan yang layak." Sofia terdiam. Namun, detik berikutnya, dia tertawa sinis saking kesalnya. Sofia berkata, "Kalian tahu siapa sebenarnya Windy? Windy itu ... " Windy buru-buru menarik tangan Sofia untuk menghentikannya. Dia segera berkata, "Sofia, ayo kita pergi." Sofia menggigit bibir, enggan melanjutkan. Namun, sebelum pergi, dia menatap Debby dengan pandangan seperti melihat badut sirkus. Dia berseru, "Tunggu saja, suatu hari nanti kamu akan menyesal!" Dia pun menarik Windy pergi, meninggalkan suasana penuh ejekan. Jevin masih merasa tidak puas. Dia bertanya, "Apa maksud Windy itu? Sudah berhenti sekolah sejak umur enam belas, tapi gayanya masih sok angkuh. Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah malu untuk keluar rumah!" Debby tidak terpancing emosi. Dalam hatinya, dia memang tidak pernah memandang Windy sebagai ancaman. Windy bahkan tidak layak untuk menjadi lawannya. Marah pada Windy hanya akan menurunkan levelnya. Debby tersenyum, memandang Jevin dengan tenang, dan berkata, "Sudahlah, Jevin. Sifat nggak tahu diri kadang membuat orang jadi nggak takut apa pun." Jevin mengangguk setuju, lalu beralih pada Hendry. Dia berkata, "Kak Hendry, kamu harus segera menceraikan Windy. Dia benar-benar nggak pantas untukmu." Wajah tampan Hendry tetap tenang tanpa ekspresi, seperti biasa. Dia hanya menatap Debby dan berkata singkat, "Ayo pergi." Debby mengangguk manis, lalu menjawab, "Baik." Ketiganya kemudian meninggalkan tempat itu bersama-sama. Di luar bar, tiba-tiba terdengar suara memanggil, "Pak Hendry?" Hendry menoleh dan mendapati sosok yang dikenalnya. Itu adalah Syahid, rektor UNH. Hendry melangkah mendekat dan menyapa, "Pak Syahid, kamu sedang apa di Kota Hilton?" Debby, yang berdiri di sisi Hendry, menunjukkan sikap penuh hormat. Meski selalu dikenal sebagai murid yang cemerlang, dia tahu dirinya belum cukup hebat untuk menembus gerbang universitas top seperti UNH. Syahid tersenyum ramah. Dia menjelaskan, "Pak Hendry, aku di sini untuk menghadiri seminar. Kebetulan sekali, adik tingkatmu juga ada di Kota Hilton." Hendry terdiam sejenak sebelum bertanya, "Adik tingkatku?" Syahid mengangguk dan mengiakan, "Benar. Di UNH, kami punya dua legenda besar. Yang pertama tentu saja Hendry, dan yang kedua adalah adik tingkatmu ini. Sama sepertimu, dia mendapatkan dua gelar di usia enam belas tahun. Dia benar-benar gadis genius dengan kecerdasan luar biasa. Sayangnya, kalian beda beberapa tahun, jadi kamu mungkin nggak mengenalnya." Jevin langsung terlihat penasaran. Dia berkata, "Wah, adik tingkat Kak Hendry ini sehebat itu? Kalau dibandingkan, siapa yang lebih hebat?" Syahid tersenyum sambil melirik Hendry, lalu berkata, "Seimbang." Alis Hendry sedikit terangkat. Seumur hidupnya, dia belum pernah bertemu seseorang yang benar-benar bisa seimbang dengannya. Debby, yang berdiri di samping mereka, baru pertama kali mendengar bahwa Hendry memiliki seorang adik tingkat yang dianggap sejajar dengannya. Awalnya, dia tidak pernah memandang Windy sebagai ancaman. Namun, mendengar tentang gadis genius ini, dia mendadak merasa tidak nyaman. Siapa adik tingkat ini? Kecemburuan dan rasa waspada mulai menyelinap dalam hatinya. Syahid mengeluarkan ponselnya dan berkata, "Pak Hendry, aku sudah mengirimkan nomor WhatsApp adik tingkatmu ini. Jika ada waktu, tambahkan dia. Kebetulan dia juga ada di Kota Hilton. Sebagai kakak tingkat, aku rasa kamu bisa membantunya." "Baik," jawab Hendry sambil mengangguk. Setelah Syahid pergi, Jevin tidak sabar. Dia berkata, "Kak Hendry, cepat hubungi nomor WhatsApp adik tingkatmu itu! Aku penasaran ingin tahu seperti apa dia." Hendry mengeluarkan ponselnya, membuka kontak WhatsApp yang dikirim oleh Syahid. Nama di WhatsApp itu hanya satu huruf, "W". Latar belakang profilnya putih polos, tanpa foto atau petunjuk lain. Jevin mengerutkan kening dan bertanya, "Apa maksud dari 'W' ini?" Hendry juga tidak tahu. Dia mulai menulis pesan: "Hendry." Namun, pesan itu belum dibalas. Jevin makin antusias. Dia berkata, "Kak Hendry, kalau dia sudah balas, beri tahu aku! Aku benar-benar kagum sama dia." Debby, yang melihat seluruh perhatian mereka beralih pada adik tingkat ini, mulai merasa tidak senang. Di saat suasana terasa sedikit tegang, sebuah mobil Rolls Royce hitam mewah berhenti di depan mereka. Itu mobil bisnis pribadi milik Hendry, yang dikemudikan oleh sekretaris pribadinya, Intan Delila. Debby segera memanfaatkan momen ini untuk mengakhiri percakapan, "Hendry, mobil sudah datang. Ayo kita naik." Jevin melambaikan tangan dan berkata, "Kak Hendry, Kak Debby, sampai jumpa!" Mobil Rolls Royce melaju dengan mulus di jalan malam. Di dalam kabin yang sunyi dan mewah, Intan, sekretaris pribadi yang duduk di kursi pengemudi, melirik ke arah kursi belakang melalui kaca spion. Dengan nada hormat, dia bertanya, "Pak Hendry, kita menuju ke mana?" Hendry menjawab singkat, "Ke kantor." Debby menatap Hendry. Cahaya neon kota yang berkilauan menembus jendela mobil yang bersih mengilap, menerangi wajah tampannya yang tampak seperti adegan dari film hitam putih, begitu anggun, misterius, penuh daya tarik. Tatapan Debby dipenuhi cinta. Dia bertanya, "Hendry, barusan itu apa ceritanya kamu dan Windy? Kamu nggak mungkin tertarik padanya hanya karena dia kelihatan lebih cantik, 'kan?" Hendry meliriknya dengan tenang. Suaranya santai, tetapi ada nada acuh tak acuh di baliknya, "Dia istriku. Kalau memang ada sesuatu yang terjadi, bukankah itu wajar? Bukankah kamu sendiri yang menyerahkannya padaku?" Debby tahu Hendry masih menyalahkannya. Menyalahkan dirinya karena tiga tahun lalu, saat Hendry berada dalam keadaan vegetatif, dia malah pergi ke luar negeri dan membiarkan Windy menggantikan posisi istri dalam pernikahan itu. Debby mencoba membela diri, "Hendry, itu bukan salahku. Windy sendiri yang ngotot mau menikah denganmu. Aku nggak punya pilihan selain menyerahkanmu padanya ... " Hendry memotongnya dengan nada datar, "Kamu sendiri percaya pada omong kosong itu?" Debby terdiam. Dia menggigit bibir merahnya, tampak kesal. Dia pun mendengus pelan dan menjelaskan, "Baiklah, tiga tahun lalu aku memang meninggalkanmu. Kalau kamu masih mempermasalahkan itu, kita putus saja. Tinggal kamu buang aku." Setelah mengatakan itu, Debby langsung memerintah dengan nada tinggi, "Bu Intan, berhenti! Aku mau turun!" Dia berniat turun dari mobil, tetapi tangan Hendry yang kokoh dengan jari-jari panjangnya langsung terulur. Dia menangkap pergelangan tangan Debby yang ramping dan menariknya dengan paksa. Tubuh lembut Debby terjatuh ke dalam pelukannya yang kokoh. Dari atas, terdengar suara pria itu yang penuh kehangatan dan sedikit rasa kesal, "Debby, kamu selalu tahu cara memanfaatkan fakta bahwa aku memanjakanmu."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.