Bab 14
Jason berhenti dari kesibukannya. Dia membawa ponselnya ke depan jendela untuk menjawab telepon.
Melisa terabaikan. Ekspresi Melisa menjadi suram ketika melihat sosok punggung Jason. Melisa diam dan menunggu Jason selesai bertelepon.
"Aku tahu. Aku akan pergi ke sana nanti."
Jason menutup telepon setelah berbicara singkat.
Melisa bertanya, "Aku dengar itu sepertinya dari sekolah. Apa terjadi sesuatu dengan Carla?"
Jason mengernyit dan wajahnya agak masam saat mengantongi ponselnya ke dalam saku celana. "Carla dapat peringkat terbelakang dalam ulangan kali ini. Masih ada ujian percobaan dalam dua puluhan hari lagi. Setelah ujian dan liburan, tinggal tunggu nilainya keluar, lalu ada rapat orang tua."
Jason adalah satu-satunya wali Carla.
"Peringkat terbelakang? Seingatku, nilai Carla seharusnya tak serendah itu. Apa ada masalah di sekolah?" tanya Melisa dengan prihatin. "Bagaimana kalau aku gantikan kamu untuk hadiri rapat orang tua? Aku ingat kamu harus melakukan perjalanan bisnis ke Kota Horus dalam dua minggu lagi. Jangan sampai waktumu tertunda. Bagaimanapun, aku kakak iparnya Carla."
Jason termangu sejenak, lalu mengangguk dan mengiakan, "Boleh juga."
"Oh, ya, bukannya ada jamuan keluarga di rumah hari ini? Kamu nggak pergi?"
Jason hanya menjawab, "Nggak sempat."
...
Begitu Carla selesai makan dan mengerjakan semua tugas, sudah jam setengah sembilan. Carla tiba-tiba bersin beberapa kali saat keluar dari mal.
Irvan menemani Carla menunggu bus di depan halte dan menatapnya. "Kamu flu?"
Carla menggelengkan kepala. "Nggak. Nggak tahu kenapa, mataku berkedut terus sejak keluar dari mal."
"Kamu hanya gugup, jangan terlalu dipikirkan. Kalau soal latihan sudah dikerjakan, pelajari lagi. Hafal semua yang kujelaskan padamu hari ini. Aku akan cek besok." Bus umum dengan kode 17 datang dan berhenti. Begitu pintu dibuka, Irvan menyodorkan tas kepada Carla.
Carla berdiri di anak tangga bus pertama dan menoleh pada Irvan. "Bagaimana denganmu? Kamu nggak pulang bersamaku?"
Irvan menjawab, "Aku masih harus kerja paruh waktu, pulang malam nanti. Kamu pulang dulu."
"Baik, aku kirim pesan kalau sudah sampai di rumah."
Irvan mengangguk.
Carla memasukkan koin dan duduk di tempat biasa.
Sekitar setengah jam kemudian, Carla memejamkan mata karena agak mengantuk. Setelah turun di tempat tujuan, Carla kembali ke rumah sewaan dan membuka pintu menggunakan kunci. Begitu masuk, Carla melihat sebuah kotak kue yang familier di atas meja ruang tamu.
Carla berjalan ke sana dengan heran. Siapa yang mengantarkannya?
Jika tidak salah ingat, bukankah ini kue yang dibelikan oleh Melisa untuk kakak?
Mengapa bisa ada di sini?
Hanya Jason yang tahu dia tinggal di sana atau Carlos yang mengantarkannya. Mungkinkah itu kakak?
Carla membuka kotak itu dan melihat isinya, memang adalah kue kastanye. Kue ini terlalu manis.
Setelah dipikir-pikir, Carla memutuskan untuk menaruh kue tersebut ke dalam kulkas, lalu dibawakan kepada Irvan besok.
Carla mengirim pesan kepada Irvan: "Aku sudah sampai, kamu? Masih berapa lama lagi?"
Irvan segera membalas pesan: "Kamu baca buku dulu. Kalau ada yang nggak dimengerti, aku ajari besok."
Carla mengirim pesan: "Baik."
Di sebuah kedai barbeku, Irvan yang memakai seragam koki putih sedang menuang seember air kotor ke tong sampah.
Tak lama setelah membalas pesan, Irvan ditelepon oleh kliennya.
Klien bertanya, "Aku dengar kamu sudah minta berhenti kerja dengan istriku? Kamu benaran mau berhenti jadi guru les? Kalau ada masalah dengan bayarannya, kita bisa bicarakan lagi. Lucy bilang kamu adalah guru les yang sangat baik. Nilainya sudah jauh lebih baik berkat bimbinganmu."
Irvan menjawab dengan ekspresi tegas, "Selama dia nggak lengah, dia bisa masuk ke universitas yang unggul. Dia nggak butuh aku lagi."
Mendengar itu, klien juga tidak memaksakan. "Baiklah, kalau kamu mau lanjut jadi guru les, aku akan membayarmu tiga kali lipat dari sebelumnya. Biaya les setengah bulan ini akan kutransfer ke rekeningmu nanti."
Irvan menyahut, "Baik."
Setelah menutup telepon, Irvan melihat ada transaksi pemasukan berupa biaya les sebesar satu juta. Lalu, Irvan menyimpan ponsel dan melanjutkan kesibukannya.
Usai menghafal rumus matematika, Carla mulai menghafal kosakata bahasa Indrus. Tanpa disadari, Carla tidak sengaja terlelap di meja. Dia terbangun oleh angin musim kemarau dan melihat jam, sudah jam 12 malam.
"Brr! Brr!" Ponsel Carla bergetar.
Irvan mengiriminya pesan: "Sudah tidur?"
Carla dengan linglung mengambil ponselnya dan segera membalas pesan: "Belum. Kamu sudah pulang kerja?"
Irvan mengirim pesan: "Turun, aku bawakan camilan untukmu."
Irvan datang?
Rasa kantuk Carla lenyap seketika. Carla buru-buru mengambil ponsel, memakai jaket tipis, dan segera keluar rumah. Di tengah jalan, Carla teringat pada sesuatu. Lalu, dia pergi ke dapur dan mengeluarkan kue kastanye dari kulkas. "Aku turun sebentar lagi."
Carla berpegangan pada gagang di lorong. Begitu Carla sampai di bawah, tampaklah Irvan yang bertubuh kekar hanya memakai kemeja tipis dan berdiri di bawah lampu jalan sambil membawa sate barbeku.
Mereka duduk di bangku semen. Melihat bahwa Carla baru selesai mandi, Irvan melapisi bangku semen menggunakan jaketnya sebelum menyuruh Carla duduk. Carla makan dengan lahap, sedang Irvan duduk tegak di samping. Irvan memakai kemeja putih dan ada bau barbeku, tetapi Carla tidak keberatan. Dengan mulut yang berminyak, Carla makan sembari menatap Irvan. "Irvan, kenapa kamu kirim pesan malam-malam begini? Bagaimana kalau aku sudah tidur?"
"Nggak akan. Dengan semua tugas yang kuberikan padamu dan kecepatanmu, pas selesai di jam 12."
Carla termangu sejenak dan meletakkan tusukan sate di tangannya. Dengan tangan yang berminyak, Carla menimang wajah Irvan dan menatapnya seraya tersenyum girang. "Wah, Irvan, kenapa kamu hebat sekali? Bahkan bisa memprediksi semua ini."
Sekalem-kalemnya Irvan yang bersifat dewasa di usia muda, gerakan tangan Irvan telah mengkhianatinya. Tangan Irvan yang berada di atas lutut mencengkeram celananya erat-erat. Ketika bertatapan satu sama lain, Carla langsung menahan napas. Carla sering melakukannya pada Irvan di kehidupan lampau. Akan tetapi, Carla lupa ... hubungannya dengan Irvan sekarang hanyalah teman biasa yang saling kenal, tidak seakrab itu.
"Tanganmu berminyak."
Carla mengedipkan matanya kepada Irvan. "Ah, maaf, aku lap dulu."
Irvan menghentikan Carla dengan memegang pergelangan tangannya. "Jangan lap di baju, susah dicuci."
Melihat Irvan, hati Carla tergerak lagi. Carla tidak berani membayangkan, di kehidupan lampau ... jika dia menikah dengan Irvan, apakah ... apakah dia tidak akan mengalami penganiayaan seperti itu dan dikubur hidup-hidup pada akhirnya ....
Carla menatap lurus pada Irvan, seolah-olah ingin mengukir raut wajah Irvan di benak. Carla tidak berani membayangkan bagaimana jika Irvan yang berada di dalam penjara mengetahui kabar kematiannya.
Akan seperti apa reaksi Irvan?
Bulan ... ditutupi oleh awan yang terbang kemari.
Langit tampak agak gelap.
Untuk pertama kalinya, Carla bertanya dengan serius kepada Irvan, "Irvan, kamu ... kenapa kamu sebaik ini padaku?"