Bab 17
Di dalam mobil.
Hans menatapnya tajam. "Aku sudah memberimu cuti untuk berobat, kenapa kamu malah datang ke tempat seperti ini?"
Julia tertegun.
Dia menggigit bibir bawahnya, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia datang ke sini untuk aborsi.
Dia menjawab dengan ragu-ragu, "Ada urusan."
"Urusan apa?"
Julia mengernyitkan dahi. "Nggak ada hubungannya denganmu. Kenapa kamu penasaran banget dengan urusan orang lain?"
Tatapan Hans langsung menjadi dingin.
Dasar tidak tahu diri!
"Aku sudah memperingatkanmu buat nggak cari masalah dengan Anita. Apa kamu anggap peringatanku itu cuma angin lalu?"
"Aku sangat mengingatnya, bahkan aku nggak berani melupakannya sedikit pun." Julia tersenyum sinis. "Lagi pula, kenapa kamu yakin banget kalau aku yang cari masalah dengannya, bukan dia yang sengaja datang untuk menggangguku?"
"Sok tahu!" Hans mencemooh sinis. "Inilah harga yang harus kamu bayar karena sudah merebut posisi yang seharusnya jadi miliknya."
"Aku tahu."
Julia menjawab dengan lemah.
Dia baru saja lolos dari maut. Sekujur tubuhnya masih terasa sakit dan lemah. Jadi, dia tidak punya tenaga untuk berdebat.
Biarkan saja Hans mau bilang apa.
Hanya saja dia tidak tahu bagaimana keadaan bayi di dalam perutnya. Apa bayi itu baik-baik saja?
Dia menunduk, tangannya terulur ke perutnya.
Hans merasa sangat marah tanpa sebab yang jelas.
Namun, saat melihat sudut bibir Julia yang sobek dan berdarah, wajahnya berubah menjadi agak suram. "Menoleh ke sini."
Julia merasa bingung.
Hans kehilangan kesabaran. Dengan kasar, dia menarik wajah Julia dan mulai membersihkan lukanya.
Julia sedikit terkejut.
Obat cair itu seperti api yang membakar lukanya, rasa sakitnya menusuk hingga ke ubun-ubun.
Dia pun mendesis, kemudian menahan napas dan langsung menghindar.
Hans melirik Julia sekilas, lalu mencengkeram dagunya. Dia menunduk dan perlahan-lahan mendekatkan wajahnya.
Jarak antara mereka menjadi sangat dekat.
Begitu dekat, sehingga napas panas Hans menyapu wajahnya.
Wajah Julia merona dan hatinya mulai merasakan sedikit kehangatan serta pandangan yang berbeda terhadap Hans.
Hans tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya lebih lama.
Meski wajah Julia bengkak dan penampilannya sangat kotor serta berantakan, dia tidak merasa senang atau terkesan. Sikap tenang dan dingin Julia ini justru membuat Hans merasa tindakannya tadi agak berlebihan.
"Kakek akan bertanya tentang lukamu nanti. Apa kamu sudah tahu harus menjawab apa?"
"Aku nggak sengaja jatuh."
Pantas saja Hans mau repot-repot merawat lukanya. Ternyata Hans takut kalau dia akan mengadu ke kakeknya dan merusak citra kekasih kesayangan Hans di mata sang kakek.
Dia memalingkan wajah dan berkata dengan tenang, "Terima kasih, tapi aku bisa sendiri."
Tak disangka, ternyata Hans menyukai wanita seperti Anita. Julia tidak bisa menahan tawa sinisnya.
Hans mengernyitkan dahinya. "Apa yang kamu tertawakan?"
"Nggak apa-apa. Aku cuma merasa kalau kamu beneran mirip dengan seekor udang. Kecil, tuli, dan buta. Kalau nggak, mana mungkin kamu bisa jatuh cinta sama Anita."
Tanpa sadar, Julia berkata jujur.
Setelah mengatakannya, dia baru sadar apa yang sudah dia katakan dan merasa takut.
Wajah Hans seketika berubah muram saat melihat Julia tampak panik dan ketakutan. "Apa katamu? Coba ulangi lagi."
"Nggak apa-apa." Julia menggigit bibirnya sambil menjawab, "Aku cuma merasa kamu terlalu sempurna dan Anita nggak pantas untukmu."
"Pantas nggaknya dia, itu urusanku." Dia menatap tajam pada Julia dan melanjutkan dengan nada dingin. "Satu lagi, jaga ucapanmu."
Julia mengangguk dan tidak bicara lagi.
Hans menyandarkan diri di kursi sambil menutup mata untuk istirahat.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, ketika mobil melaju kembali ke kediaman keluarga Septian.
Harris tidak ada di rumah, jadi Julia terbebas dari sesi pertanyaan.
Julia memasuki kamar mandi dan berendam di bak mandi.
Aliran air hangat merendam tubuhnya, menghilangkan ketegangan, membuatnya benar-benar merasa lega setelah lolos dari maut.
Matanya tertuju pada perutnya kemudian dia berbisik pelan, "Sayang, aku percaya kamu masih ada di sini. Kamu pasti juga nggak mau meninggalkan Mama, 'kan?"
Besok, dia harus pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan!
Setelah mengeringkan rambutnya, dia keluar dari kamar mandi dan bertemu dengan Hans, yang langsung melemparkan salep ke arahnya.
Julia secara refleks menangkapnya.
Ketika dia hendak berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering. Ekspresi Hans langsung berubah dingin begitu melihat nomor penelepon dan dia pun menjawab panggilan itu, "Ada apa?"
"Hans ... " Suara Anita terdengar bergetar menahan tangis. "Aku ada di depan, bisakah kamu keluar sebentar menemuiku?"
Hans masih merasa marah. "Pulang sana!"
Mendengar itu, Anita menangis makin keras. "Aku nggak akan pulang sebelum kamu keluar menemuiku. Apa gunanya aku pulang kalau kamu nggak butuh aku lagi? Lebih baik aku mati di sini daripada pulang!"
Hans tidak menjawab.
Anita terisak. "Hans, kamu baru saja berjanji akan menikahiku, kenapa sekarang kamu tega sekali? Bahkan narapidana mati pun diberi kesempatan banding, kenapa kamu nggak bisa memberiku kesempatan terakhir?"
Tangisannya terdengar sangat nyaring dan mengganggu.
Hans dengan kesal memijat pelipisnya. Dia tidak ingin meladeni Anita, lalu langsung memutuskan sambungan telepon.
Dua jam kemudian, Hamid menelepon. "Pak Hans, acara malam ini akan segera dimulai. Saya sudah sampai di kediaman keluarga Septian."
"Hmm."
Hans menanggapi dengan dingin. Dia mengambil jasnya, lalu meninggalkan ruangan.
Begitu melihat pria itu muncul, Anita langsung berlari dan meraih lengannya. Dia menangis sekaligus tertawa. "Hiks ... Hans, akhirnya aku menemukanmu! Aku tahu kamu nggak tega meninggalkanku!"
Hans mengernyitkan kening. "Kenapa kamu masih di sini?"
"Aku sudah menunggumu sejak tadi." Anita gemetar kedinginan, tapi sangat bersemangat. "Syukurlah, kamu masih mau menemuiku!"
Hans meliriknya dengan ekspresi dingin. "Sudah kubilang aku akan memberikan posisi istriku padamu saat waktunya tiba. Aku paling benci wanita yang bermain di belakangku. Mengerti?"
Anita mengangguk berulang kali. "Mengerti, aku mengerti. Tapi kamu sungguh salah paham Hans. Aku bukan cemburu atau mengincar posisi istrimu. Aku cuma ... "
"Cuma apa?"
"Cuma kakakku hamil! Keluargaku merasa malu, makanya kami membawanya ke desa untuk aborsi. Siapa sangka dia malah berubah pikiran di tengah jalan dan kabur. Orang tuaku sangat marah dan kecewa padanya. Jadi, itulah yang kamu lihat tadi ... "
Hamil?
Nada suara Hans menjadi lebih berat. "Apa kamu bilang tadi? Ulangi!"
Meskipun Julia tidak tahu diri, dia tidak akan punya nyali untuk mengkhianatinya kecuali dia sudah bosan hidup.
Anita gemetar sambil memberikan laporan pemeriksaan. "Hans, ini hasil tesnya."
Hans membuka laporan itu.
Karena takut dia tidak mengerti, Anita pun mulai menjelaskan. "Dokter bilang kalau nilai normal HCG adalah 0 hingga 5 mIU/mL, tapi HCG kakak 800 mIU/mL, yang artinya dia mungkin sudah hamil tiga atau empat minggu."
"Diam!"
Anita ketakutan dan tidak berani bicara.
Hans menatap laporan itu dengan aura membunuh yang menguar dari tubuhnya.
Bagus sekali!
Julia benar-benar berani!
Berani-beraninya wanita itu mengkhianatinya!