Bab 16
Dia diikat di atas tempat tidur.
Pria paruh baya mengenakan sarung tangan dan siap untuk memulai operasi.
Melihat situasi ini, Julia panik dan memohon padanya, "Tolong, jangan lukai anakku ... "
Pria paruh baya menjawab tanpa ekspresi, "Jangan buang-buang waktu."
Julia pun berontak.
Pria paruh baya langsung bertindak.
Julia merasa sangat ketakutan.
Melihat alat yang dingin akan masuk ke dalam tubuhnya, dengan panik dia segera berkata, "Tunggu sebentar, perutku sakit. Aku mau ke kamar mandi."
"Sialan." Pria paruh baya dengan tidak sabar mengutuk, melepaskan tali, menunjuk ke arah pot di tanah. "Selesaikan di tempat itu."
"Apa bisa kamu keluar dulu? Tunggu aku, kalau sudah nanti aku panggil kamu ... "
"Cepatlah!"
Setelah mengatakannya, pria paruh baya itu pergi keluar.
Julia menghela napas lega. Punggungnya melemas saat dia bersandar di dinding. Dia merasa hidup kembali.
Setelah beberapa saat sudah merasa tenang, dia memeriksa ruangan itu untuk mencari jalan keluar.
Seketika pandangannya jatuh ke jendela, mata Julia bersinar.
Dia mencoba membuka jendela, tetapi tanpa sengaja dia menemukan bahwa di luar jendela tidak terpasang kawat anti maling.
Melihat jendela dari lantai dua, Julia tenggelam dalam pemikirannya.
...
Di luar kamar.
Anita datang terlambat.
Sabila melihatnya dengan tidak puas. "Kenapa kamu nggak tinggal di kantor saja? Untuk apa kamu datang ke sini?"
"Tentu saja melihat dengan mataku sendiri keadaan mengerikan dari orang rendahan itu sambil memeriksa hasilnya." Anita antusias bertanya dengan ekspresi wajah yang jahat, "Bagaimana? Apa kandungannya sudah digugurkan?"
"Belum, katanya perutnya sakit. Tunggu dia selesai, dokter akan masuk lagi."
Anita merasa kecewa.
Tiga menit kemudian, Anita tidak tahan lagi. Dia menendang pintu, tetapi tidak berhasil membuka.
Dia mengernyitkan keningnya dan mengetuk pintu dengan keras. "Apa ada orang di dalam?"
Tidak ada respons di dalam ruangan.
Tiba-tiba Anita merasakan firasat yang tidak baik di dalam hatinya.
Herman dan Sabila saling menatap satu sama lain, lalu mendekat.
Beberapa orang bekerja sama menggunakan alat untuk membuka pintu.
Melihat ruangan yang kosong dan seprai putih terikat di jendela, senyum di wajah Anita menghilang.
Ekspresi wajah Herman dan Sabila juga tidak perlu ditanya seberapa tidak enak dipandangnya.
"Sudah aku bilang gadis ini licik, harus diawasi dengan baik. Kalian semua ini bagaimana sih, benar-benar nggak berguna!" Anita menangis dan marah dengan kesal.
Herman dengan suara dingin berkata, "Untuk apa menangis? Belum lama, dia nggak akan pergi jauh. Cepat kejar dia!"
Ternyata, mobil belum jauh berjalan. Namun, sudah terlihat Julia yang melarikan diri.
Melihat situasi ini, Anita menambahkan kecepatan mobilnya.
Julia tidak berani berbalik dan berlari sekuat tenaga.
Namun, bagaimana mungkin seseorang bisa berlari lebih cepat dari mobil.
Dengan cepat mobil berhenti di depan dan menghalangi jalannya.
Anita turun dan berjalan mendekat.
Julia terpaksa mundur satu langkah demi satu langkah.
Kemudian Herman juga mengejarnya dan berdiri di belakangnya.
Julia terjepit di tengah, tidak ada jalan keluar.
Anita berlari dengan marah dan menarik rambutnya. "Melarikan diri, hah? Kamu mau kabur, bukan? Kenapa nggak kabur sekarang?"
"Capek berlari, mau istirahat sebentar. Apa nggak boleh?" Julia tertawa dengan nada dingin.
"Hah, kamu masih saja bisa berdebat. Sebaiknya kamu bisa tetap keras kepala seperti ini nanti. Jangan pernah memohon ampun."
Sabila berkata. "Kenapa kamu masih banyak bicara? Dokter masih menunggu. Cepat bawa dia kembali!"
"Nggak perlu membawanya pulang, terlalu merepotkan." Anita melihat ke arah perutnya. "Cukup tendang saja, bukan begitu?"
Setelah mengatakannya, dia menghantam perut Julia dengan keras menggunakan kakinya.
Julia berusaha sekuat tenaga untuk mendorongnya menjauh.
Melihat situasi itu, Herman dan Sabila mendekat. Dia menekan Julia sehingga tidak bisa bergerak.
Anita dengan marah memukulnya dengan keras, lalu menendang Julia dengan kakinya.
Secara refleks, pada awal Julia ia memeluk perutnya.
"Masih saja kamu berani melindungi anak harammu. Hari ini kamu akan melihat kehebatanku."
Anita tertawa dengan bangga dan dengan kejam menginjak-injak tubuh Julia.
Dengan memegangi perutnya, tubuh Julia meringkuk, dan wajahnya sangat pucat.
Namun, Anita makin bersemangat.
Julia memandang Herman dengan sedikit harapan terakhir. "Ayah, begitu delapan bulan berlalu, aku akan meninggalkan keluarga Septian dan nggak akan menyebabkan masalah apa pun bagi kalian. Kali ini, biarkan aku pergi, aku mohon."
Melihat putrinya yang kurus, Herman merasa ragu dan terharu.
Saat ini, Sabila memutar badan Herman dan berkata, "Dia sangat licik. Siapa tahu dia merencanakan sesuatu yang buruk dan berpikir tentang kekayaan ke depannya."
Herman dengan jahat berkata, "Lanjutkan!"
Mendengar kata-kata itu, tubuh Julia gemetar.
Setelah melihat kejamnya Herman, perasaannya juga terasa mati. Air matanya mengalir dan dia menutup matanya.
Maaf, sayang.'
Ibu nggak bisa melindungimu.'
Dia dan anak ini, tidak ditakdirkan untuk bersama.
Melihat ekspresi kesakitan, ketidakpuasan, dan keputusasaan di wajah Julia, Anita dengan bangga dan jahat menendangnya dengan lebih keras.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
Tiba-tiba suara pria terdengar dingin.
"Apa urusanmu?"
Anita tidak mengangkat kepalanya dan terus berbuat jahat.
Mendengar suara itu, Julia dengan gembira membuka matanya.
Terlihat seorang pria dengan tubuh yang tinggi dan langsing, berdiri tegak dengan wajah tampan dan terasa akrab.
Ternyata itu Hans!
Julia terkejut.
Setelah sadar, dia terlihat murung dengan mata yang suram. Dia menunduk tanpa berkata-kata.
Anita adalah orang yang ada di hati Hans. Dia juga adalah wanita yang paling dicintainya. Bagaimana mungkin dia akan membantu dirinya.
Sementara itu Herman dan Sabila juga terpaku di tempat. Dia tidak sadar selama beberapa saat.
Hans melihat pipi merah bengkak dan pucatnya. Dia menatap dingin ke arah Anita.
Anita tidak menyadari dan berkata dengan marah, "Aku sarankan untuk kamu nggak ikut campur dengan urusan orang lain. Cepat pergi! Kalau nggak, aku akan membuatmu nggak bisa berjalan dengan tenang."
Hans tidak menunjukkan ekspresi. "Benarkah? Kamu cukup hebat."
"Tentu saja. Aku adalah calon istri dari keluarga Septian ... Pak Hans."
Belum selesai bicara, saat dia berbalik dan melihat Hans, dia terkejut dan tidak melanjutkan ucapannya.
Anita terpaku.
Bagaimana dia bisa muncul di tempat yang terpencil ini?
Hans terus mempertanyakan dengan wajah yang dingin, "Apa yang sebenarnya kalian lakukan?"
"Aku, aku ... "
Anita ketakutan dan gemetar.
Hans berjalan cepat ke sana. Dia mengangkat Julia yang tergeletak di tanah dan membawa Julia ke dalam pelukannya.
Julia merasa terkejut.
Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Hans akan membantunya.
Dia merasa lega dan mengembuskan napas. Dia dengan erat menggenggam lengan bajunya.
Melihat adegan ini, Anita meledak marah.
Dia meraih lengan baju Hans. Dia ekspresi polos dan merasa tak bersalah, dia berkata, "Hans, ini bukan seperti yang kamu lihat. Dengarkan penjelasanku dulu ... "
Ekspresi wajah Hans terlihat muram dan dia mendorong Anita. "Pergi! Aku nggak mau melihatmu sekarang."
Setelah mengatakannya, dia menggendong Julia dan pergi dengan cepat.
Anita jatuh terduduk. Riasan di wajahnya luntur karena menangis.
Setelah sadar, Herman bertanya, "Bagaimana Hans bisa ada di sini?"
Anita menangis sambil terisak-isak dia berkata, "Aku dengar dari manajer kalau Pak Hans akan melakukan inspeksi hari ini. Jadi, aku mengajukan cuti. Siapa yang tahu dia akan datang ke tempat seperti ini untuk melakukan inspeksi."
Sabila menggertakkan giginya. "Sialan, orang rendahan itu sangat beruntung. Nyawanya hampir saja melayang."
Sementara Anita marah dan merasa takut.
Julia membuatnya marah, sedangkan Hans membuatnya takut.
"Ibu, Hans bilang nggak mau melihatku lagi. Aku sangat takut. Bagaimana kalau dia nggak mau aku lagi ... "
"Jangan khawatir, Ibu punya rencana ... "
Ada kilatan kejahatan di mata Sabila.