Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Sheila membalikkan badan, menghadap ke sisi lain. Di bawah sinar bulan, Diego melihat siluet Sheila yang meringkuk, dan tiba-tiba muncul perasaan aneh di hatinya. Untuk pertama kalinya, dia terbebas dari ketergantungan Sheila terhadapnya. Seharusnya ini membuatnya merasa senang, lagi pula, dia tidak pernah menyukai Sheila. Namun, yang terasa dihatinya justru kehampaan yang sulit dipahaminya. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin dia hanya terbiasa dengan kehadiran Sheila yang selalu bergantung padanya. Keesokan harinya, Sheila bangun lebih siang dari biasanya. Usai bersiap, dia turun dan terkejut melihat Diego masih ada di rumah. Spontan, tanpa berpikir lebih jauh, dia pun bertanya, "Kamu nggak ke rumah sakit menemani Nona Saskia hari ini?" Biasanya, pertanyaan seperti itu akan membuat Diego merasa sedikit jengkel. Namun, entah mengapa, kali ini dia diam-diam merasakan kelegaan. Dia juga menyimpulkan bahwa sikap Sheila semalam pasti karena cemburu terhadap Saskia. "Saskia hanyalah temanku. Dia baru kembali dari luar negeri dan sempat mengalami kecelakaan, jadi wajar kalau aku lebih memperhatikannya. Sekarang, dia sudah keluar dari rumah sakit." Diego tidak seperti biasanya, memberi penjelasan kepada Sheila dengan sabar. Setelah hening sejenak, dia menambahkan, "Bukankah sebelumnya kamu ingin aku membawamu melihat matahari terbenam? Aku belum sempat menghabiskan waktu bersamamu selama beberapa hari ini. Jadi hari ini, aku ingin menebusnya." "Nggak perlu." Sheila tahu bahwa dia telah keliru soal penerima donor jantung, dan kini, dengan perceraian yang sudah di depan mata, dia tidak lagi ingin melakukan hal-hal yang menurutnya tidak bermakna bersama Diego. Tanpa ragu, dia menolak. Namun, Diego tidak menggubrisnya, merasa rencananya sudah tepat, dan langsung meminta orang-orangnya menyiapkan mobil. Setelah ditarik masuk ke dalam mobil, Sheila tidak lagi memikirkan banyak hal, hanya duduk diam. Mobil terus melaju menuju pinggiran kota. Tidak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di tujuan. Namun, tepat saat mencapai puncak gunung, ponsel Diego berdering. Diego meraih ponselnya dan segera menjawab panggilan. Sesaat sebelum itu, nama "Saskia" tampak jelas di layar. Percakapan di telepon itu tidak terdengar oleh Sheila, hanya suara Diego yang merespons singkat. Setelah panggilan berakhir, Diego tampak ragu sesaat sebelum akhirnya masuk ke mobil. Sebelum pergi, dia hanya meninggalkan satu kalimat, "Nanti aku akan kembali menjemputmu." Matahari semakin merendah di cakrawala, sinar senja perlahan memudar menjadi bayangan gelap. Sheila masih tetap di tempat, menunggu. Namun, tidak ada tanda-tanda Diego akan kembali, meski dia telah berjanji. Mendapatkan kendaraan di tempat setinggi ini tentu tidak mudah. Walaupun begitu, Sheila tidak berusaha menelepon Diego untuk memastikan apakah dia masih akan datang. Sebaliknya, tanpa ragu, Sheila mulai melangkah turun sendirian. Perjalanan menuruni gunung yang tinggi dan curam bukanlah hal mudah. Meski jalannya tidak berlumpur, rasa perih mulai menjalari kakinya yang lecet karena gesekan. Saat akhirnya sampai di bawah, dia merogoh ponsel untuk memesan taksi. Namun, sebelum sempat melakukannya, sebuah pesan dari teman dekat Diego masuk. [Ada urusan mendesak, datang ke Celos.] Sebagian besar teman-teman Diego tidak pernah benar-benar menghormatinya. Bagi mereka, dia hanyalah seorang bucin yang membutuhkan perjuangan dua tahun penuh sebelum akhirnya bisa menikah dengan Diego. Mereka jarang berbicara dengannya secara langsung, jadi saat pesan itu muncul, dia menerimanya tanpa keraguan. Tanpa pikir panjang, dia segera memesan taksi dan menuju ke kelab Celos. Bukan karena dia benar-benar mengkhawatirkan Diego, tetapi karena jika sesuatu terjadi pada pria itu sekarang, itu mungkin akan menyulitkan proses perceraian mereka. Setelah tiba dan menemukan ruangan mereka, Sheila pun membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, tanpa disadari, ada tali yang melintang di bawah kakinya. Dia tersandung, kehilangan keseimbangan, lalu jatuh dengan keras ke lantai. Kepalanya terbentur tepat pada bangku di sampingnya. Rasa sakit yang menghantam membuat kepalanya terasa berputar. Saat tangannya menyentuh bagian yang terluka, dia merasakan sesuatu yang lengket menempel di kulitnya. Orang-orang di dalam ruangan menatap keadaannya yang berantakan, tetapi tak satu pun dari mereka menunjukkan niat untuk melepaskannya. Dalam hitungan detik, pintu ditutup, dan tanpa peringatan, air dingin dari baskom meluncur deras. "Byur!" Suara gemuruh air memenuhi ruangan saat satu ember air dingin mengguyur kepalanya, dan seketika membuat tubuhnya basah kuyup. "Hahaha, lihat dia sekarang! Menyedihkan sekali, mirip seperti seekor anjing, 'kan?" "Kak Anton, deskripsimu memang tepat sekali!" Suara tawa keras memenuhi ruangan, diselingi kata-kata penuh penghinaan dan ejekan yang tak berbelas kasih. AC di ruangan itu terasa menusuk tulang, membuat Sheila menggigil saat pakaian basah menempel erat di tubuhnya. Tetesan air dari rambutnya mengaburkan pandangan, tetapi dia tetap tenang. Menyadari bahwa semua ini hanyalah lelucon kejam, Sheila hanya mengusap wajahnya dengan santai, tanpa menunjukkan emosi. Saat dia tetap diam, beberapa orang mulai kehilangan minat, tetapi ada juga yang merasa bahwa ini belum cukup. Mereka mengeluarkan ponsel dan, dengan penuh intensi, memutar rekaman CCTV di hadapannya. "Hei, Bucin, kami panggil kamu kemari cuma mau kasih tahu kalau cinta pertama Kak Diego sudah balik." Sheila mengangkat kepalanya tepat saat layar ponsel mulai memutar sebuah video. Di ruangan lain, Diego terlihat berlutut setengah, dengan lembut memijat pergelangan kaki Saskia. Ekspresi penuh kelembutan terpancar dari wajahnya. "Hari ini Kak Diego bikin pesta penyambutan untuk Saskia, makanya kamu ditinggalin. Saskia cuma keseleo, tapi Kak Diego langsung cemas dan gendong dia. Kamu pernah diperlakukan kayak begitu? Nggak, kan. Jadi, mending kamu tahu diri dan serahkan posisimu. Kalau nggak, bakal lebih malu kalau sampai diusir." Teman-teman Diego tidak berhenti menghinanya, suara mereka bergema di ruangan. Sheila berusaha berdiri, mengabaikan rasa sakit yang menjalari kakinya. Kemudian, dia menatap mereka dengan pandangan yang dalam. "Tenang saja, aku akan menyerahkan posisiku. Lagi pula, aku juga nggak menyukainya." Suaranya terdengar tenang, tanpa sedikit pun emosi.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.