Bab 4
Suara Sheila tidak besar, tetapi berhasil membuat mereka seperti ditekan tombol jeda, mematung di tempat. Pada saat bersamaan, pintu di belakang terbuka sekali lagi.
Diego keluar dari sana, dan saat melihat ruangan yang kacau serta tubuh Sheila yang basah kuyup, dia langsung mengernyit dan berseru dengan nada kesal, "Apa yang kalian lakukan!"
Tidak ada yang menyangka bahwa Diego akan marah demi Sheila. Setelah keheningan sesaat, seseorang tersenyum canggung sambil menjelaskan, "Kak Diego, kami hanya bercanda dengan Sheila, bukan masalah besar."
"Bercanda apaan ini!" Diego tidak langsung mengabaikan masalah ini meskipun telah menerima penjelasan. Hanya saja, dibandingkan dengan teman-temannya, Sheila lebih terkejut dengan reaksinya.
Diego selalu dingin terhadap Sheila selama bertahun-tahun, bahkan saat Sheila dicibir oleh teman-temannya.
Sheila sudah terbiasa dengan semua perlakuan tersebut. Makanya, dia terkejut melihat Diego membelanya kali ini.
"Kami pikir, karena orang yang kamu rindukan sudah balik, dia harusnya segera menyerahkan posisinya, dengan begitu ...."
Seseorang mencoba menutup-nutupi situasi sambil tertawa kecil, tetapi sebelum penjelasannya selesai, Diego sudah membentaknya.
"Diam!"
Mengabaikan kebingungan mereka, Diego yang terlihat masam segera menarik tangan Sheila dan hendak pergi. Namun, saat berbalik, dia melihat Saskia berjalan masuk.
Melihat itu, Saskia seketika cemberut dan berkata, "Diego, permainan masih belum selesai, aku juga baru pulang dari luar negeri, jarang-jarang bisa main sepuas ini, kenapa kamu sudah mau pulang?"
Mendengar itu, Diego seketika menjadi ragu untuk membawa Sheila pergi. Dia pun menoleh dan bertanya, "Sheila, kamu masih bisa bertahan, 'kan?"
Sheila menunduk melihat dirinya sendiri, lalu tiba-tiba tersenyum.
Pakaian basah kuyup di tubuhnya sangat mencolok, begitulah dengan darah di keningnya. Meski begitu, Diego masih bisa mengajukan pertanyaan seperti itu padanya.
Saat ini, Sheila sama sekali tidak ada energi untuk berdebat dengan Diego.
"Kalian lanjut saja."
Jawaban dari Sheila itu dianggap seperti pengampunan, membuat Diego langsung menghela napas lega. Setelah itu, yang lain segera mengajak mereka untuk duduk di sofa.
Mereka melanjutkan permainan sebelumnya, "Truth or Dare". Di putaran pertama, Diego langsung kalah.
"Kak Diego, kapan pertama kali kamu jatuh cinta?"
Beberapa orang mulai melirik ke arah Diego dan Saskia bergantian, dan Diego memberikan jawaban yang memuaskan mereka.
"Umur 15," jawab Diego dengan sangat tangan.
Mendengar itu, Sheila langsung teringat informasi yang dulu dia dapatkan, bahwa Saskia menjadi tetangga Keluarga Boris saat Diego berusia 15 tahun.
Mungkin karena sedang kurang beruntung, dua putaran berikutnya, Diego kalah lagi. Kartu pertanyaan yang dia dapatkan semakin berani.
"Kak Diego, usia berapa pertama kali mengalami mimpi basah?"
"Umur 17."
"Lalu, siapa orang yang ada di dalam mimpimu itu?"
Pertanyaan terakhir itu membuat suasana semakin heboh, tetapi Diego malah terdiam.
Ketika dia hendak menyerah dan menerima hukuman minum, seseorang menahan tangannya. "Ah, Kak Diego, kalau nggak mau sebut nama, sebut inisialnya saja!"
Sheila duduk di samping Diego, melihat tangan Diego yang melepaskan pegangan gelas.
"S," jawab Diego dengan suara pelan.
Huruf "S".
Saskia.
Nama tersebut langsung muncul di benak semua orang, bukan hanya Sheila. Suara bersorak seketika memenuhi ruangan, dan wajah Saskia makin memerah.
Di tengah hiruk pikuk itu, Saskia akhirnya mengangkat kepalanya, lalu dengan sedikit rasa puas, dia memandang Sheila yang duduk tidak jauh darinya.
"Sheila, duduk sendirian di sana pasti membosankan. Ayo ikut bermain!" seru seseorang.
Sheila tidak menolak ajakan tersebut, dan mereka melanjutkan permainan.
Keberuntungan berganti, kali ini yang kalah adalah Sheila.
Dia dengan santai mengambil satu kartu dari tumpukan, membaliknya, dan melihat satu baris kecil tulisan di atasnya.
"Orang yang paling kamu cintai ada di sini?"
"Eh, ini terlalu mudah!"
"Iya, siapa sih yang nggak tahu kalau orang yang paling dicintai Sheila adalah Kak Diego!"
Suara-suara tidak puas bergema. Di tengah tatapan semua orang, orang yang menjadi pusat pembicaraan perlahan menggelengkan kepalanya.
"Nggak ada."