Bab 2
Setelah selesai mendonorkan darah, Sheila merasa sedikit pusing dan menopang dirinya pada dinding saat berjalan keluar. Di saat yang sama, dia melihat Diego berdiri di samping Saskia, yang baru saja keluar dari ruang operasi.
Diego menggenggam tangan Saskia dengan erat, berbicara pelan kepadanya dengan ekspresi penuh kelembutan dan tatapan penuh kasih.
Dari awal hingga akhir, Diego sama sekali tidak menanyakan kondisi istrinya, dan tentu saja, dia bahkan tidak menyadari bahwa Sheila telah pulang sendirian.
Sesampainya di rumah, Sheila langsung menuju dapur. Sebagai orang yang memiliki anemia, ditambah hari ini mendonorkan begitu banyak darah, wajah Sheila tampak semakin pucat.
Dia hendak menyeduh segelas air gula merah untuk memulihkan energi tubuhnya. Namun, karena terlalu lemas, gelas di tangannya meluncur jatuh ke lantai, suara pecah pun terdengar.
Sesaat kemudian, ekspresi datarnya, yang selama ini tak tergoyahkan, bahkan di tengah cemoohan dan hinaan, akhirnya retak. Mata Sheila memerah.
"Ian ... tanpamu di sisiku, aku sungguh nggak bisa melakukan apa pun dengan baik," gumamnya.
Sheila menatap cairan gula merah yang mengalir perlahan dari kakinya ke lantai. Saat matanya terpaku pada genangan pekat itu, kenangan lama tiba-tiba menyelinap kembali ke pikirannya.
Kenangan saat dia memiliki kekasih terbaik.
Kenangan saat kekasihnya itu masih hidup.
Dia memiliki tubuh yang mudah merasa dingin, dan setiap kali datang bulan, dia selalu mengalami nyeri perut yang tak tertahankan. Namun, Ian selalu penuh perhatian, membuatkan teh jahe gula merah hangat, meniupnya perlahan hingga suhunya pas, lalu menyodorkannya dengan lembut ke bibirnya.
Ada saat-saat ketika Sheila bersikap manja, dan Ian akan memeluknya erat, lalu menutupi perutnya dengan tangan yang hangat, sambil berkata bahwa ini adalah obat terbaik untuk menghilangkan rasa nyeri.
Saat suasana hati Sheila sedang buruk, Ian akan duduk diam di sampingnya, membiarkan dirinya dipukul dan dimarahi Sheila. Setelah itu, Ian dengan penuh perhatian meniup tangan Sheila, bertanya apakah dia merasa sakit setelah memukulnya.
Sheila berjongkok, memungut pecahan gelas satu per satu. Tiba-tiba, dia merasakan sakit di ujung jarinya. Saat dia mengangkat tangannya, dia baru menyadari bahwa pecahan itu telah melukai jarinya hingga berdarah.
Entah karena rasa sakit dari jarinya atau sesuatu yang lain, buliran air mata mulai berjatuhan ke lantai.
"Kenapa aku nggak menyadarinya dari awal? Kamu begitu mencintaiku, tapi Diego selalu dingin padaku. Jantung itu nggak pernah berdetak hangat untukku."
Sheila membuang semua pecahan gelas yang dipungutnya ke tempat sampah. "Nggak masalah, kita akan segera bertemu lagi," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Hari berganti, tetapi Diego belum juga kembali. Sementara itu, Sheila telah selesai bersiap dan berangkat menuju pertemuan dengan pengacaranya.
Sheila dan pengacaranya duduk berhadapan. Surat perceraian yang sudah disusun rapi tergeletak di atas meja.
"Nona Sheila, setelah kedua belah pihak menandatangani perjanjian cerai dan menjalani masa tenang selama satu bulan, perceraian ini akan sah secara hukum."
Saat mendengar itu, Sheila teringat bahwa Diego bahkan tidak pulang ke rumah hari ini. Dia kemudian bertanya, "Bisakah aku menandatangani atas namanya?"
"Nona Sheila, itu sama sekali tidak diperbolehkan!" Pengacara segera menggelengkan kepala.
Melihat penolakan yang begitu tegas, Sheila pun menjelaskan, "Suamiku juga ingin bercerai, dia hanya nggak empat datang. Aku hanya menandatangani untuknya. Kalau nggak percaya, aku bisa meneleponnya sekarang."
Sheila segera mengeluarkan ponselnya, mencari nomor Diego, dan meneleponnya.
Setelah nada sambung yang panjang, akhirnya panggilannya diangkat. Tanpa berbasa-basi, Sheila langsung berkata, "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu ...."
Suara dingin yang terdengar dari ponsel memotong ucapannya, "Aku sedang sibuk. Kamu lakukan saja, nggak perlu dibicarakan lagi."
Setelah itu, terdengar suara wanita yang manja berkata, "Diego, obatnya pahit sekali. Aku nggak mau minum, boleh nggak?" Sheila tentu mengenali pemilik suara manja itu adalah Saskia.
Sebelum panggilan terputus, masih sempat terdengar jawaban Diego dengan suara lembut yang belum pernah ditunjukkan kepada Sheila. "Nggak boleh. Kalau nggak minum obat, bagaimana kamu bisa cepat sembuh?"
Sheila mengalihkan pandangannya ke pengacara di depannya.
Mendengar itu, pengacara akhirnya menyadari sikap tidak peduli dari Diego dan akhirnya setuju untuk mengizinkan tanda tangan pengganti.
Mendapatkan persetujuan itu, Sheila diam-diam merasa lega dan menandatangani nama Diego di surat perjanjian cerai.
Begitu keluar dari firma hukum, ia segera memesan tiket penerbangan ke Vatera, jadwalnya sebulan dari sekarang.
Diego baru kembali ke rumah seminggu kemudian.
Sudah larut malam saat dia pulang. Udara dingin masih menggantung di tubuhnya saat dia melangkah masuk ke kamar. Sheila, terbaring dalam tidur yang tak sepenuhnya lelap, tidak bereaksi terhadap kepulangannya.
Hingga akhirnya, ketika sisi tempat tidur sedikit tenggelam dan tubuhnya tiba-tiba ditarik ke dalam pelukan Diego, barulah Sheila benar-benar terjaga. Tanpa ragu, dia mendorong Diego menjauh dan bergeser ke sisi lain tempat tidur.
Untuk pertama kalinya, Diego ditolak, ekspresinya sedikit terkejut. Namun, detik berikutnya dia mengerutkan keningnya dan bertanya, "Bukankah kamu selalu butuh suara detak jantungku agar bisa tidur lelap setiap malam?"
Selama tiga tahun pernikahan mereka, Sheila jarang meminta sesuatu dari Diego. Namun, satu-satunya permintaan yang pernah Diego setujui adalah hal tersebut. Saat itu, mereka baru menikah, dan selain sertifikat pernikahan, Diego tidak memberikan apa pun padanya. Anehnya, Sheila sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Sejak mendapatkan persetujuan itu, setiap kali Sheila bersandar di pelukan Diego, dia akan mendekatkan telinganya, mendengarkan ritme jantung Diego.
Diego bertanya padanya, mengapa dia suka bersandar di pelukannya.
Sheila pun menengadah, sepasang matanya yang tersinari cahaya bulan terlihat penuh kasih dan cinta, dan menjawab, "Karena aku suka mendengar detak jantungmu. Aku boleh terus mendengarnya setiap malam, sampai aku terlelap?"
Mungkin karena saat mengajukan permintaan itu, tatapan mata Sheila dipenuhi dengan cinta yang begitu kuat hingga membuat Diego tidak mampu menolak dan menyetujuinya secara refleks.
Kebiasaan itu terus berlanjut hingga kini. Selama Diego ada di dekatnya, Sheila pasti akan secara naluriah menyandarkan kepalanya di dekat jantung Diego.
Namun, saat ini, Sheila tertegun sejenak sebelum menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Nggak perlu lagi."